“Kebablasan Pers” dan Peran Media
Namun di sisi lain, ini juga menunjukkan peran media yang sudah semakin baik. Walaupun dalam indeks kebebasan pers tahun 2014 Indonesia masih berada di urutan ke-132 dari sekitar 194 negara dan masih lebih rendah dari kebebasan pers di Papua Nugini, namun keputusan KPK yang berani itu juga tidak lepas dari sumbangan media atau pelaksanaan prinsip kebebasan pers. Untuk tahun 2014 Freedom House yang berkedudukan di New York memberikan skor “sebagian bebas” (partly free) bagi Indonesia.
Kebebasan pers dinilai berdasarkan ukuran tertentu misalnya Indonesia mendapat nilai 49 untuk kebebasan pers dan nilai paling buruk adalah 100. Jaminan hukum terhadap kebebasan pers (legal environment) Indonesia mendapat nilai 16 dari 30 yang paling buruk; dan lingkungan politik (political environment) nilai Indonesia 18 dari 40 yang paling buruk; serta jaminan ekonomi (economic environment) nilai Indonesia 15 dari 30 yang paling buruk. Jadi walaupun ada yang merasa pers kita “kebablasan,” namun di mata dunia internasional kebebasan pers Indonesia masih jauh dari yang diharapkan.
Dalam laporan tentang Indonesia itu disebutkan bahwa ketentuan hukum dan konstitusi memang sudah menjamin kebebasan pers. Namun aktor pemerintah maupun swasta kadang-kadang menggunakan hak mereka untuk merusak kebebasan pers tersebut.
Kasus Budi Gunawan
Setelah peran media terutama majalah Tempo dan detikcom, maka kasus rekening tidak wajar Komjen Budi Gunawan itu kini semakin jelas. Ketika majalah Tempo tahun 2008 mengangkat kasus rekening gendut perwira kepolisan, nama Brigjen Budi Gunawan tersangkut. Tapi saat itu kasusnya belum begitu jelas. Sekarang dengan penelusuaran media khusunya detikcom terungkap bahwa putra Brigjen Budi Gunawan (saat itu masih Brigjen) bernama Muhammad Herviano Widyatama dan masih berusia 19 tahun entah bagaimana caranya dan menggunakan ilmu apa, berhasil mendapatkan kredit uang tunai dengan jumlah besar yakni Rp 57 miliar (ada yang bilang perlu 50 kardus indomie untuk menampung uang kertas pecahan seratus ribuan) dari perusahaan Pacific Blue International Limited (PBIL). Anehnya saat ini perusahaan yang “baik hati” itu sudah tutup.
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) rupanya mencium ketidakwajaran rekening perwira polisi itu. Kepada penyidik Bareskrim Polri, Budi Gunawan yang saat itu sudah berpangkat irjen mengaku memiliki rekening BCA dengan nomor 5520225520. Rekening itu dibuka tanggal 2 Agustus 2005 atau satu bulan setelah akad kredit anaknya dengan Pacific Blue International Limited (PBIL) ditandatangani.
Penyelidikan Polisi Tidak Objektif
Sebagaimana sering disampaikan Komjen Budi Gunawan bahwa hasil penyelidikan (Bareskrim) tidak terdapat transaksi mencurigakan. “Transaksi itu legal dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," kata Komjen Budi saat menjalani uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI. Budi pun mengaku bahwa semua harta kekayaannya diperoleh secara sah dan bisa dipertanggungjawabkan.
Namun seperti sudah bisa diduga bahwa kalau polisi yang menangani kasus itu tentu saja mereka tidak akan menyalahkan sesama korps sendiri dan sudah pasti bahwa mereka itu akan berupaya agar mereka semua dianggap bersih, termasuk Brigjen Budi Gunawan. Tapi seandainya yang memeriksa bukan sesama polisi tetapi lembaga independen, tentu hasilnya akan lebih objektif.
Masyarakat sekarang lebih kritis dan setelah mengetahui perusahaan Selandia Baru yang baik hati itu sudah tutup, dan kredit itu diberikan kepada anak berusia 19 tahun dalam bentuk tunai (Rp 57 miliar lagi), masyarakat awam pun menganggap itu tidak wajar.
Anggapan orang asing bahwa masyarakat Indonesia itu terlalu permisif, nampaknya ada benarnya. Karena penjelasan Irjen Budi Gunawan saat itu diterima saja oleh masyarakat.
Penutup
Kompolnas sudah mengajukan satu nama yakni Komjen Budi Gunawan (dari lima calon) kepada Presiden Jokowi dan Presiden menerima saran Kompolnas tersebut dan mengajukannya kepada DPR untuk diproses. Namun KPK kemudian menetapkan status tersangka kepada Komjen Budi Gunawan, calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden itu.
Dari kasus ini masyarakat Indonesia perlu belajar agar kebebasan pers perlu terus ditingkatkan, dan hasil penelusuran media atas rekening pejabat negara yang tidak wajar tidak boleh dibiarkan atau ditangani dengan setengah hati, karena dampaknya di kemudian hari bisa lebih sulit.