Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Rahasia Seorang Suami

2 Maret 2015   19:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:16 170 1
Aku berpacu dengan waktu. Semuanya akan berakhir bila aku datang terlambat. Kedua pasangan ini akan berakhir di pengadilan perceraian kalau motor yang membawaku tidak sampai tepat waktu. Entah sudah berapa lampu merah kuterobos. Beberapa pengguna jalan lain terlihat mencaci maki akibat ulahku tersebut. Tapi demi sebuah keutuhan rumah tangga, aku harus menerima itu semua dan berharap segera sampai ke tujuan. Karena kesalahpahaman antara kedua pasangan ini harus segera dihentikan.

Seminggu yang lalu, sang istri, Tika Subarkah, seorang wanita dari kalangan terhormat datang masuk ke kantorku. Ia memintaku - yang diam-diam membuka agensi detektif swasta - untuk menyelidiki kecurigaan dirinya terhadap suaminya, Anton Subarkah yang dianggap telah selingkuh dengan seorang wanita yang tidak dikenal. Menurut sang istri, ia menemukan kejanggalan akan sikap suaminya akhir-akhir ini. Ia terkadang mulai pulang terlambat dengan alasan karena harus meeting. Selain itu, tercium aroma parfum di setiap kemeja kerjanya yang tentunya berbeda dengan parfum yang biasa ia pakai. Semua kecurigaan ini dibawa ke hadapanku. Nyonya Subarkah ingin aku mencari bukti perselingkuhan suaminya dan mencari tahu siapa sosok wanita lain selingkuhannya tersebut.

"Saya akan usahakan," ujarku kepada Nyonya Subarkah. "Tapi apa pun yang nanti, maksud saya, bukti yang nanti saya temukan, saya harap Nyonya tetap bisa berpikir jernih. Saya tidak berharap menemukan nama suami anda, atau bahkan nama anda sendiri di berita besok pagi dalam keadaan tak bernyawa akibat pertengkaran rumah tangga."

"Itu urusan saya! Kamu dibayar hanya untuk mencari bukti," Nyonya Subarkah berkata dengan ketus sambil melempar tumpukan uang. "Ini uang mukanya. Sisanya akan kutambah begitu kau sudah mendapatkan bukti."

Gapura pintu masuk kawasan elit Perumahan Alam Sutera sudah mulai nampak. Aku segera terbangun dari lamunanku dan menyadarai aku sudah hampir tiba. Rumah besar di deretan keempat adalah tujuanku. Dari luar saja, nuansa kekisruhan sudah mulai terasa saat aku mematikan starter motorku sambil terus meringsek ke halaman rumah. Beberapa asisten rumah tangga terlihat cemas saat ku mulai masuk dan menyapa mereka.

"Nyonya dan Tuan ribut besar, den. Semua barang-barang dipecahin. Anak-anak mulai pada menangis," celoteh seorang pembantu yang berusia setengah baya dengan tampang memelas. Ia dan para PRT lainnya nampaknya tak berani masuk ke dalam rumah.

Aku langsung membuka pintu dan masuk melewati ruang tamu menuju ruang keluarga, tempat terjadinya peperangan rumah tangga.

Suasana ruang keluarga mulai porak-poranda. Di sudut ruangan, Nyonya Subarkah terlihat sedang mengintimidasi suaminya. Tangan kanannya sedang memegang sebuah laptop berwarna hitam. Dari gelagatnya, laptop tersebut akan berakhir di lantai dan pecah berantakan. Sebelum semua itu terjadi, aku langsung melesat maju dan menahan tangan Nyonya Subarkah. Sang istri pun kaget melihat kedatanganku, begitu pula dengan sang suami.

"Nah ini dia! Tukang ikut campur urusan orang lain! Kamu tidak tahu apa-apa, malah akhirnya memfitnah" teriak Tuan Subarkah yang langsung menyemprotku. Sebelum ia melanjutkannya, sang istri sudah memotong kalimatnya.

"Kau sudah tertangkap basah! Bukti-bukti foto darinya telah membuktikkan kau selingkuh dengan seorang gadis itu. Pokoknya aku nggak mau tahu, aku minta cerai!"

Aku harus segera mengakhiri kekisruhan ini. Memang harus kuakui, akulah sumber pertikaian hari ini. Karena kemarin malam, aku telah memberikan beberapa lembar  foto kepada Nyonya Subarkah yang akhirnya membuat ia naik pitam. Namun aku tak menyangka kalau ia langsung berasumsi dan menghakimi secepat ini.

"Tenang, Tuan dan Nyonya. Kalian berdua harus mendengarkan semua penjelasanku. Tuan Anton, tolong dengarkan dulu. Dan untuk Nyonya, saya harap anda mau mendengarkan bukti baru yang baru saya dapatkan," ucapku untuk menenangkan keduanya. Aku sempat melihat kedua putri mereka yang sedang menangis berpelukan di lantai atas.

"Bukti baru apa? Foto yang kau berikan kemarin sudah cukup jadi bukti bahwa pria tak tahu malu ini tak pantas menjadi seorang suami! Dasar tua bangka!" semprot Nyonya Subarkah berapi-api.

"Nyonya langsung berasumsi begitu melihat foto yang kuberikan tanpa menyadari bahwa foto itu hanyalah bukti yang tidak bisa bergerak. Selain itu, Nyonya khan tidak hanya meminta saya untuk mencari bukti perselingkuhan suami anda, tapi juga menyelidiki siapa wanita itu, bukan?" mataku melihat tak enak ke arah Tuan Subarkah, tapi aku segera melanjutkan kalimatku. "Aku telah mendapat sebuah jawaban. Kebenaran yang hakiki perlu dicari dan dibuktikan. Asumsi Nyonya harus diuji dengan pembuktian yang lebih akurat. Untuk itulah saya datang kesini untuk membawa kebenaran itu."

"Kenaran apa? Apa sebenarnya maksudmu?" nampaknya Nyonya Subarkah kali ini sudah lebih tenang. Tuan Subarkah yang tadinya senewen, juga mulai duduk di sofa sementara aku melanjutkan penjelasanku.

"Selama mengikuti suami anda, saya memang telah beberapa kali melihat suami anda menemui seorang wanita. Saya mengikutinya dari kejauhan yang saya yakin suami anda tidak menyadari keberadaan saya. Namun setelah saya amati lebih jauh, ternyata yang ditemui suami anda bukanlah seorang wanita dewasa, melainkan seorang gadis muda yang mungkin baru berusia 16 atau 17 tahun."

Tuan Subarkah menunjukkan rasa keterkejutannya. Kali ini tampangnya lebih mirip seperti orang memelas yang seraya memohon kepadaku. Sementara Nyonya Subarkah terlihat sedang meremas rok biru yang dipakainya sambil melotot kepada suaminya. Aku buru-buru melanjutkan ceritaku sebelum peperangan ini pecah kembali.

"Saya sempat berasumsi bahwa ada kemungkinan suami anda ini terlibat affair dengan daun muda. Tapi ada yang janggal dari sikap suami anda dan sikap gadis itu. Sikap yang mereka tunjukkan tidak terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang memadu kasih terlarang. Tapi lebih terlihat seperti rasa kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Hal ini yang membuat akhirnya saya mencari latar belakang sang gadis, termasuk latar belakang Tuan Subarkah yang mungkin selama ini tidak pernah diceritakan kepada Nyonya."

"Tuan Subarkah ini terlahir dari keluarga sederhana. Orang tuanya sudah lama meninggal waktu Tuan Subarkah masih muda. Sehingga di usia muda, ia harus bekerja untuk menafkahi dirinya, dan seorang adik perempuannya yang saat itu masih berusia belasan tahun. Namun sayangnya, sang adik terpengaruh dengan kehidupan bebas. Pergaulannya dengan banyak pria, membuat sang adik akhirnya mengandung. Malu dengan kehamilannya, sang adik berusaha mengugurkannya dengan berbagai macam obat-obatan yang akhirnya diketahui oleh sang kakak. Tuan Subarkah saat itu marah besar kepada sang adik. Bukan hanya karena dia hamil, tapi juga karena percobaan aborsi yang sedang dilakukannya. Tuan Subarkah berupaya sekuat tenaga agar bayi yang dikandungnya tetap bisa dilahirkan. Dan sampai pada waktunya, proses persalinan pun terjadi yang tampaknya harus dibayar mahal. Nyawa sang adik tidak terselamatkan dan akhirnya meninggal saat operasi persalinan. Tapi, Tuhan tetap memberi nafas kehidupannya kepada sang jabang bayi. Seorang bayi perempuan yang cantik," tuturku sambil menarik nafas.

"Tuan Subarkah menyayangi sang keponakan yang cantik ini dan harus merawatnya secara diam-diam karena khawatir dengan cemohan orang-orang sekitar. Itu semua terjadi sekitar 16 atau 17 tahun yang lalu." Aku berhenti sebentar sebelum melanjutkan.

"Dan gadis itulah yang seringkali ditemui suami anda. Dalam arti gadis itu adalah keponakan suami anda yang saat ini sudah beranjak remaja. Tapi sepertinya keponakan suami anda berbeda dengan gadis remaja lainnya. Ia ..."

"Mohon jangan diteruskan. Saya mohon," potong Tuan Subarkah sambil memelas. Matanya terlihat berkaca-kaca. Sang istri pun mulai bereaksi.

"Apa anda punya buktinya kalau dia adalah keponakan Tuan Subarkah?" tanya Nyonya Subarkah dengan nada dingin tanpa emosi.

"Oooh buktinya itu...."

"Saya bawa buktinya!"

Sebuah suara muncul memecahkan keheningan. Aku memalingkan wajahku ke arah sumber suara. Dua sosok wanita berdiri dihadapan kami semua. Yang satu sudah cukup dewasa berusia 25 tahun. Aku kenal dia, karena dia adalah Risa Riana, sekertarisku. Dialah sumber suara yang memecahkan keheningan barusan. Sedangkan yang satu lagi adalah seorang gadis remaja, gadis yang sedang menjadi bahan pembicaraanku dengan Nyonya dan Tuan Subarkah. Tadi sebelum aku meluncur kemari, aku telah mengingatkan sekertarisku untuk menjemput gadis itu dan segera mengantarkannya ke rumah ini. Aku langsung kembali memalingkan wajahku kepada suami istri tersebut.

"Ya betul. Gadis inilah buktinya," seraya menyambung perkataan sekertarisku sebelumnya. "Nyonya Subarkah yang terhormat, perkenalkan, ini Angelina, keponakan Tuan Subarkah yang baru datang dari Singapura dua bulan lalu."

Gadis itu maju ke depan. Jalannya agak pincang. Nampaknya gadis ini menderita sindrom LLD (Leg Length Discrepancy), atau gampangnya, gadis ini memiliki kaki kanan yang lebih pendek dari kaki kirinya. Mungkin akibat obat-obatan yang diminum ibunya saat ingin mengarbosinya dahulu yang akhirnya mengakibatkan cacat lahir tersebut. Tuan Subarkah pun mulai meneteskan air matanya. Perkiraanku, ia merasa bersalah dan sedih karena telah lama menyimpan rahasia tentang keponakannya dari istrinya. Nyonya Subarkah pun terdiam.

"Angelina dilahirkan memang dalam keadaan tidak seperti anak kebanyakan. Ia menderita sindrom kaki pendek sebelah. Selain itu..." aku berhenti sebentar untuk menguasai emosiku. "Angelina juga terlahir sebagai Tuna Rungu."

Kedua putri Nyonya dan Tuan Subarkah yang tadinya mendengar semua peristiwa dari lantai atas kemudian menuruni tangga dan menghampiri ibunya yang saat ini sedang berhadapan dengan gadis itu.

"Tapi Tuhan Maha Adil, meski ia cacat, Angelina memiliki otak yang cemerlang. Ia sempat mendapat beasiswa sebagai siswa terbaik dan dikirim di sekolah bergengsi di Singapura."

Nyonya Subarkah sekarang terlihat berbeda. Kemarahannya yang tadi ditunjukkan telah mereda dan berganti dengan perasaan iba melihat sosok gadis di depannya. Angelina mencoba berkomunikasi dengan Nyonya Subarkah dengan menggunakan isyarat tangan dan jarinya. Nyonya Subarkah terlihat bingung tak mengerti apa yang dilakukan Angelina. Aku segera maju dan mengambil alih sebagai penerjemah Angelina.

"Angelina ingin Nyonya memaafkan dirinya dan pamannya, suami anda,"

Suasana pun terdiam. Beberapa detik berlalu dengan kehampaan sampai akhirnya dengan gerakan kilat, Nyonya Subarkah mulai memeluk gadis tersebut. Keduanya sama-sama bersimbah air mata. Tuan Subarkah pun kemudian mendekat. Ia memandang istri dan keponakannya.

"Maafkan aku, sayang!" Tuan Subarkah pun terlarut dalam suasana.

"Aku tidak berniat menceritakan semua ini kepadamu. Dulu saat kita masih berpacaran, kau dan keluargamu adalah keluarga terhormat. Ayahmu adalah seorang pejabat penting. Ia tidak berkenan punya menantu dengan asal usul yang kelam, karena memiliki seorang adik yang ...." ia melirik Angelina. "Cemohan akan kuterima bila aku bercerita tentang keadaanku saat itu dan keberadaan keponakanku yang malang ini," ucap Tuan Subarkah terbata-bata. Air matanya berlinang membasahi kemeja putihnya.

Nyonya Subarkah pun kini melepaskan pelukannya dari Angelina dan berganti memeluk suaminya.

"Maafkan aku telah meragukanmu," ungkap sang istri. "Seharusnya kita bisa berbagi dengan kisah ini. Tak perlu kau tutupi. Aku bangga kepadamu atas semua yang kau lakukan kepada keponakanmu. Kau adalah pria dengan hati yang mulia. Maafkan aku sekali lagi, sayang."

Keduanya pun saling berpelukan mesra. Angelina dan kedua putri Subarkah pun ikut bergabung berpelukan hangat. Melihat kondisi ini, aku pun mulai mundur, karena sepertinya semuanya sudah terkendali. Bersyukur aku bisa sampai sebelum semuanya terlambat. Tidak akan ada perceraian di rumah tangga Subarkah. Aku pun langsung menggandeng sekertarisku yang terlihat sedang mengelap air mata dengan tisunya. Aku ingin menggodanya, namun terdengar suara Nyonya Subarkah memanggilku.

"Terima kasih Tuan Sofyan. Apa jadinya bila tidak ada anda. Anda benar-benar detektif jempolan," ucap Nyonya Subarkah diikuti dengan senyuman hangatnya.

"Sama-sama, Nyonya. Ini memang sudah tugas saya, dan mungkin tugas semua orang. Kita semua adalah bagian dari masyarakat yang mendambakan sebuah kebenaran yang hakiki dan sebuah solusi dari setiap masalah. Kemampuan deduksi dan investigasiku hanya merupakan hasil latihanku bertahun-tahun, tapi kemampuan untuk mencari kebenaran dan solusi dari setiap masalah sudah dimiliki semua orang yang dianugerahkan Sang Khalik kepada kita semua. Semoga anda dan keluarga bisa kembali mengatur rumah tangga anda dengan baik," ucapku sambil mengundurkan diri dengan perasaan lega.

Yang kutakutkan dari masalah ini bukan hanya perceraian mereka. Perceraian itu masih belum seberapa. Aku lebih takkut bila mereka bertengkar dengan emosi tinggi dan sampai terjadi tindak kriminal. Ya, seperti pembunuhan misalnya. Bagiku, tugas detektif itu tidak sekedar menyelidiki peristiwa kriminal saja. Tapi juga mencegah sebelum peristiwa kriminal tersebut terjadi. Itulah kenapa aku menerima kasus ini dan karena itulah aku merasa benar-benar lega.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun