Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Tren Mahasiswa ke Luar Negeri: Terus Apa?

18 Agustus 2013   21:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:09 476 1
Malam itu malam deep sharing, saya menceritakan bagaimana perjuangan saya hingga bisa sampai ke Konya, Turki seminggu lalunya. Didukung dengan setting lampu yang padam dan lilin di tengah-tengah, mereka memperhatikan dengan saksama. Dapat saya lihat pasang-pasang mata yang kagum dan dalam penuh penghayatan. Seusai cerita, saya malah ‘ditampar’. ‘Alhamdulillah, terima kasih WiratifMuda’, singkat saya.

Fenomena Mahasiswa ke Luar Negeri

Di semester ketiga, saya baru menyadari bahwa ternyata banyak sekali fenomena mahasiswa khususnya S1 berbondong-bondong ke luar negeri, baik mengikuti kompetisi, konferensi, summit, paper presentation, summer school, atau short study. Namun yang sering terpampang adalah konferensi, perlombaan, dan paper presentation mengingat ada kontraprestasi standar yang mewajibkan penerima sponsor untuk memasang logo perusahaan atau sponsor yang bersangkutan untuk tujuan branding. Alhasil, hampir tiap minggu saya memperhatikan ada saja foto-foto berpenampilan ‘necis’ dengan logo-logo perusahaan dibawahnya. Karena terlalu sering, saya pun sudah tidak terpana lagi dengan simbol-simbol tersebut.

Hingga muncul pertanyaan? Apa sebenarnya yang mereka, para achiever itu memaknai keberangkatan mereka ke luar negeri? Apakah membawa idealisme yang diniatkan untuk mengharumkan nama bangsa dan pembuktian bahwa SDM muda Indonesia berkualitas? Atau hanya sebuah gaya hidup dimana ke luar negeri merupakan sebuah aktivitas umum yang cukup bergengsi? Struktur pun mendukung mahasiswa untuk ke luar negeri. Dalam Pedoman Mahasiswa Berprestasi Nasional 2013 dapat dilihat jika syarat untuk menjadi seorang Mapres adalah memiliki Curriculum Vitae yang baik dengan penilaian prestasi pencapaian dan pengakuan yang dikuantifikasi berdasarkan tingkat wilayah. Terhitung yang paling rendah provinsi hingga  internasional yang tertinggi. Memang hal tersebut adalah cara termudah membuat indikator.

Dulu, saya berpandangan ‘apa sih enaknya ke luar negeri? Buang-buang waktu dan uang saja. Lebih baik uang puluhan juta untuk diputarkan sebagai modal bisnis’. Hampir dua semester saya mempertahankan opini tersebut, didukung dengan lingkungan organisasi kewirausahaan saya yang notabenenya sangat perhitungan dalam menggunakan uang. Toh, nyatanya banyak juga teman-teman saya dan mahasiswa yang pernah ke luar negeri setelah mereka pulang tidak banyak memberikan perubahan. Konteks perubahan disini menurut saya, paling minimal adalah menginspirasi. Ibarat angin yang datang dan berlalu begitu saja. Belum lagi ratusan foto-foto yang diunggah ke media sosial yang berisi dokumentasi perjalanan mahasiswa di luar negeri baik foto main event-nya atau foto jalan-jalannya. Padahal ada dua kemungkinan opini viewer, pertama, ia terinspirasi lalu bersemangat untuk ke luar negeri juga. Kedua, ia tertegun dan minder lalu menggumam ‘saya lebih butuh kisah insipratif dibanding gambar-gambar ini’. Maka semakin apatislah saya terhadap mahasiswa yang ke luar negeri.

Namun, semua perspektif itu berubah ketika saya menjadi bagian dari ‘santri asrama’. Hampir di tiap Rabu malam ketika family meeting, kami membentuk kultur sharing ketika ada salah satu dari kami pulang dari luar negeri, kami harus membagi ilmu dan pengalaman logis hingga absurd selama di perjalanan. Saya pun merangkum hasil pemikiran-paradigma dan diskusi para pelancong tersebut. Saya pun akhirnya setuju dengan pemahaman ketika kita di luar negeri lalu ditujukan untuk mencari ilmu, memperkaya perspektif, dan menambah pengalaman kehidupan (tidak hanya akademis saja, apalagi menambah daftar CV) tentu akan menjadi sebuah investasi pendidikan di masa yang akan datang. Jangan pula kita membenturkan antara kebutuhan organisasi dengan kebutuhan aktualisasi diri. Dosen saya pun waktu itu berujar bahwa rasa nasionalisme kita dapat dirasakan ketika kita berada di luar negeri. Sungguh alasan yang logis ketika kita ingin mengukur dan memperbandingkan sesuatu tentunya kita harus berada di luar framework dan realitas yang ingin diuji. What a statistics effect!

Akumulasi prinsip-pengetahuan tersebut akhirnya memutuskan saya untuk mencoba ke luar negeri. Dengan pertimbangan negara yang akan saya kunjungi harus memiliki struktur sosial, budaya dan sejarah yang unik agar saya memperoleh banyak ilmu dan perspektif ketika pulang. Allah pun merestui niat tambahan saya yang ingin mencari link bisnis dan berjejaring dengan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di sana.  Mata saya tertuju pada sebuah negara yang pernah menjadi pusat peradaban, mayoritas muslim, sempat bersturktur otoriter-sekuler, dan memiliki batas teritorial gabungan benua Eropa dan Asia. Dan kebetulan kota tempat konferensi yang saya datangi ber-brandingCity of Civilization’ karena terdapat makam Jalaluddin Rumi, seorang sufi romantik dari Konya. Sungguh, saya mau bercerita pengalaman saya di Turki di lain kesempatan :)

Perspektif Lain

Sepulangnya saya dan teman saya dari Turki, mengingat perjuangan kami yang sangat dimudahkan oleh Allah, menginspirasi adalah harga mati minimal yang harus dilakukan. Entah dalam tulisan, buku, atau sekadar diskusi. Sumpah saya kepada diri saya sendiri yang berucap ‘lihat saja, malam Rabu depan saya yang akan presentasi di family meeting’ akhirnya terwujud. Hampir satu setengah jam saya bercerita bagaimana saya bisa menuju negara Erdogan tersebut. Sampai suatu malam, saya juga diminta untuk bercerita kepada lovely team saya WiratifMuda Indonesia, di salah satu kontrakkan teman saya. Dengan rentang waktu yang sama –sekitar satu setengah jam juga, mereka memuji dan bertepuk tangan atas paparan saya. Hingga saudari saya, Yunia Vivi Kartika, memberikan sebuah insight lain atas fenomena mahasiswa yang ke luar negeri.

Kurang lebih kalimatnya berbunyi ‘Subhanallah Jhane, saya mendukung kamu ke luar negeri tapi kalau untuk urusan research dan presentasi paper lebih baik tidak usah’. Sontak saya kaget mengapa dia berpendapat demikian, tidak adakah sedikit rasa pengertian atas usaha  dan sharing yang lakukan tadi? Saya sadar, ‘benturan’ opini adalah sebuah nikmat menjadi seorang mahasiswa dan calon intelektual. Saya mendengarkan alasannya meski saya tahu penjelasannya kadang terlalu general, konspiratif, dan lemah elaborasi. Dia berkata kita harus sadar bahwa research dan inovasi adalah karya mahal yang seharusnya tidak dirilis begitu mudahnya.

Vivi pun mendapatkan insight ini hasil dari berdiskusi dengan pihak Kementrian Luar Negeri (saya lupa namanya) ditambah pihak dari DIKTI. Sangat disayangkan jika research yang dibuat oleh mahasiswa khususnya yang menjelaskan struktur dan kultur bangsa Indonesia lalu dengan mudahnya dipresentasikan di luar negeri. Tentunya ini adalah strategi bagaimana negara lain dapat dengan mudah mengetahui kekurangan dan kelebihan bangsa kita dengan cara yang dicitrakan seprestise mungkin. Apalagi kalau bukan dengan menyelenggarakan international conference, call for paper, summit, dan research meeting bertemakan ranah strategis seperti ekonomi, politik, pariwisata, bisnis, dan lainnya. Mengapa saya tidak memikirkan ya, padahal ini amat sosiologis?

Mengingat cerita dari dosen saya, kira-kira Lab Sosio pernah mendapatkan proyek dari CIA untuk mengadakan penelitian pemetaan keadaan sosial hingga tingkat RT dan kelurahan namun ditolak dengan asumsi akan membahayakan keamanan negara. Mirisnya, para mahasiswa dengan mudah dan bangga jika telah berhasil mempresentasikan hasil riset mereka di luar negeri. Padahal tanpa disadari ini adalah salah satu strategi bagaimana pihak asing mendapatkan informasi gratis, akuntabel, dan relevan ditambah kita harus membayar sejumlah fee untuk operasional acara tersebut. Lengkaplah sudah ‘paket’ strategi bisnis intelektual dimana kita memberikan income kepada hotel, lembaga pendidikan, dan devisa bagi negara asing. Jangka panjang yang terburuk mungkin saja kita mereproduksi istilah sophisticated colonialism dimana negara asing menggempur Indonesia dengan produk-produk mereka karena kita dengan mudahnya membeberkan informasi bahkan riset terkait celah pasar dan demand masyarakat Indonesia.

Setelah kami presentasi pun ada yang bertanya mengenai bagaimana pemaknaan mahasiswa Indonesia ketika mereka pergi ke luar negeri, misal ke Turki, apakah sama dengan rihla. Kami menjawab ‘ya’. Sebuah pertanyaan yang bisa saja bermakna politis karena mungkin saja kedepannya para akademisi tersebut akan memberikan rekomendasi kebijakan pariwisata tentang cara menggaet turis dari Indonesia, yang notabenenya negara muslim terbesar di dunia yang akhir-akhir ini (hasil observasi kilat saya) fenomena paket umroh plus jalan-jalan, khususnya ke Istanbul sedang marak.

Pantas saja proposal saya ditolak oleh pihak DIKTI terkait keberangkatan saya dalam International Religious Tourism and Tolerance di Turki, dengan agenda utama konferensi dan presentasi paper yang kami buat dengan metode kualitatif berjudul, Rihla: sebuah gaya hidup aktivis lembaga dakwah kampus di area urban. Vivi bercerita bahwa ia mendapatkan pengakuan dari salah satu pihak DIKTI mengapa kadang (atau bahkan sering) menolak proposal mahasiswa yang hanya presentasi paper, konferensi, atau summit di luar negeri karena menurut beliau lebih baik para mahasiswa berkontribusi untuk negaranya melalui perlombaan dalam negeri seperti PKM dan lainnya, bukan ramai-ramai mempresentasikan riset untuk negara lain. DIKTI ternyata cenderung akan menerima proposal yang konteks acaranya terkait dengan kompetisi atau pencapaian yang lebih strategis dan mengharumkan nama bangsa, menurut Vivi. Meskipun kenyataannya, konteks kompetisi sekelas internasional pun berbau ‘bisnis’. Seperti kompetisi ajang sociopreneur, innovation, atau kompetisi adu ide lainnya yang diusung korporasi besar lalu mensyaratkan mereka boleh mengklaim karya tersebut jika lolos seleksi. Semakin tersadar dan bersyukur bahwa aset termahal adalah ide di kepala kita :)

Terus Apa?

Saya tidak mau uang, tenaga, pikiran, dan waktu yang telah dihabiskan untuk ke Turki lenyap begitu saja. Lebih lagi saya banyak dibantu orang-orang baik sewaktu keberangkatan dan ‘ditampar’ sahabat-sahabat saya sepulang dari Turki. Rasanya harga mati minimalnya harus dinaikkan. Jika tadinya hanya menginspirasi melalui tulisan atau diskusi, mungkin desakan atas pengorbanan dan tamparan itu harus dibayar dengan sebuah buku (colek lagi Nur Aida Mardhatilla :P ). Bukan hanya karena ingin membalas ‘tamparan’ dengan hal yang konkret, namun juga saya butuh untuk mensurpluskan kembali kantong kami. Mohon doanya :D Specially, my lovely team.

Kembali ke topik. Menurut saya, solusi atas segala pandangan mahasiswa yang ingin atau akan ke luar negeri adalah niat dan aksi yang multi-purpose. Maksudnya, kita tidak hanya ke luar negeri atas dasar idealisme saja karena dibalik ke-idealisme-an kita, bisa saja hal tersebut adalah bahan bakar negara asing untuk mendapatkan informasi dan riset dengan cara yang terlihat bergengsi dan menyenangkan. Apalagi jika meniatkan ke luar negeri hanya untuk ‘jalan-jalan’ dan pencitraan diri.

Kedua, kita harus lebih hati-hati dalam memilih kompetisi, summit, presentasi paper, dan konferensi yang diadakan oleh negara lain. Terutama jika tema yang diangkat adalah tema-tema terkait kebijakan makro seperti ekonomi, politik, budaya, dan pendidikan. Lebih lagi kita harus melihat siapa penyelenggara acara, apakah mereka akademisi, pemerintah, atau swasta lalu perkirakan asumsi yang kemungkinan terjadi kedepannya, baik dampak di tingkat individu, instansi, bahkan negara.

Saran titipan dari sahabat-sahabat saya di WiratifMuda adalah sebaiknya tidak hanya sebatas mengharumkan nama bangsa, namun juga memamerkan nama bangsa. Kita harus berlomba-lomba ‘menjajakan’ produk dalam negeri. Salah satu bentuknya adalah mengikuti expo atau pameran produk Indonesia di luar negeri. Cara ini menurut saya cukup menarik dan strategis karena kita secara tidak langsung juga berupaya menggaet turis untuk datang bahkan menjadi konsumen produk Indonesia. Kalau perlu, mengapa tidak mahasiswa Indonesia membuat acara konferensi tingkat internasional dengan format pengumpulan paper dan sebagainya. Atau mungkin sekarang saatnya mengganti semangat, kalau yang tadinya kita menuliskan mimpi ‘go abroad for paper presentation’ lalu diganti menjadi ‘go abroad for joining expo’. And I really wished WiratifMuda to turn it into reality! :)

--

Catatan asli di FB + komen: https://www.facebook.com/notes/jhane-pebyana-wilis/tren-mahasiswa-ke-luar-negeri-terus-apa/10151664645600409

@jhanewilis

00.49 a.m.

at Blue Dorm, June 10, 2013

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun