Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Plato, Aristoteles dan Ancaman Orang yang “Tidak Pernah Menjadi Murid”

6 Mei 2011   10:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 1121 2

Ada banyak nasihat atau kata-kata bijak seputar guru, hubungan guru – murid, atau tentang bagaimana pandangan masyarakat mengenai guru. Kita tahu apa maknanya ketika orang mengatakan bahwa “guru” itu “digugu dan ditiru”. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendeskripsikan kata “gugu” sebagai “mempercayai; menuruti; mengindahkan”. Jelas, “guru” artinya sosok yang “dipercayai, dituruti, ditaati”, dan akhirnya “ditiru”. Wajar kalau kita keberatan pada pemahaman yang memosisikan “guru” pada posisi nyaris sempurna, mungkin setengah dewa, persis ketika ada banyak guru di sekitar kita yang gagal menjadi panutan. Meskipun demikian, ungkapan “guru” sebagai “digugu dan ditiru” mencerminkan pemahaman masyarakat pada kurun budaya tertentu ketika “guru” memang sungguh-sungguh menjadi panutan, contoh, dan teladan. Orang seusia saya atau beberapa tahun setelahnya mungkin masih mengalami betapa guru memainkan berbagai berbagai peran dalam masyarakat, terutama di desa, tidak hanya mengajar di sekolah, tetapi juga tokoh agama, imam masjid atau pemimpin ibadah di gereja, wakil masyarakat untuk urusan ke luar desa, dan sebagainya.

Gambaran guru semacam ini tidak seluruhnya benar, demikian juga sebaliknya. Kenyataan bahwa “guru juga manusia” yang bisa salah membuat kita menerima pemahaman yang lebih realistis, bahwa “guru” bisa saja salah, dan karena itu tidak harus mengikuti atau mentaatinya secara buta. Dalam arti itu, kita juga setuju bahwa akal sehat dan rasionalitas serta independensi dan kebebasanlah yang memampukan seseorang memilah-milah dan memutuskan manakah ajaran dan perbuatan gurunya yang tetap dijaga dan harus diteladani, dan ajaran atau perilaku apa saja yang harus ditolak.

Aristoteles – Plato: Relasi Guru dan Murid

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun