Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Artikel Utama

Jika MK Setuju, Maka Akan Ada Partai yang Rontok

23 Januari 2014   08:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:33 786 13

Siang ini MK akan memutuskan judicial review (JR) yang diajukan Effendi Gazali agar pemilu legislatif dan pemilu Presiden dilakukan serentak. JR yang diajukan Effendi Gazali pada Januari 2013 ini sebetulnya, menurut mantan Ketua MK, sudah diputus oleh MK secara internal namun belum diumumkan hingga kemarin.

Beberapa minggu belakangan, JR menimbulkan pro-kon dengan argumentasi masing-masing yang mendukungnya. Dari kalangan partai yang mendukung JR dimotori oleh Partai Bulan Bintang (PBB). Sedangkan yang menolak diwakili oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Tulisan ini bermaksud membahas implikasi dari disetujuinya gugatan Effendi dan belakangan juga diajukan olehYusril karena banyak hal, terutama teknis penyelenggaraan pemilu akan terganggu, seperti yang dikhawatirkan oleh partai-partai yang menolak diselenggarakannya pemilu serentak.

Kekhawatiran yang diungkapkan partai-partai dapat kita ikuti dengan melihat penjelasan-penjelasan mereka yang telah beredar di media. Sejatinya, secara eksplisit partai-partai tidak berkeberatan pemilu dilakukan serentak. Hanya saja mereka menghendaki pelaksanaannya jangan pemilu 2014 ini. Paling cepat, menurut mereka adalah pada pemilu 2019.

Namun, satu hal yang “tertinggal” atau “ditinggalkan” ketika mereka menjelaskan kekhawatiran partai-partai adalah implikasi terhadap partainya masing-masing. Argumentasi yang tidak muncul dari kalangan partai-partai ini justru penting diketahui oleh rakyat karena rakyatlah yang menjadi subjek pemilu, bukan partai-partai.

Perilaku pemilih di bilik suara

Pemilu yang diselenggarakan serentak berarti rakyat akan memilih Presiden dan anggota DPR (partai politik), dan anggota DPD dengan sekali masuk ke bilik suara. Begitu mereka keluar dari bilik suara, mereka sudah memilih sekaligus Presidennya, anggota DPR-nya, dan anggota DPD-nya.

Dengan demikian, melihat fenomena politik hari ke hari rakyat diyakini akan memfokuskan pilihannya kepada Presiden, setelah itu baru kepada anggota DPR dan DPD. Hal ini terlihat dari beberapa hal.

Pertama, lebih banyaknya perhatian rakyat kepada hasil-hasil survei elektabilitas calon presiden daripada perhatian kepada survei partai. Antusiasme rakyat sangat tinggi bila memberikan komen, dukungan, penolakan, opini mendalam, atau tulisan di media sosial tentang capres.

Kedua, media massa yang selalu mengikuti selera pasar di alam demokrasi lebih sering menonjolkan berita hasil survei elektabilitas capres daripada partai. Judul berita media massa lebih sering menyebut nama capres daripada nama partai.

Ketiga, terus merosotnya tingkat kepercayaan rakyat kepada partai. Hasil survei yang diselenggarakan Riset Cirus Surveyors Group sekitar 2 minggu yang lalu memperlihatkan sebanyak 40 persen responden tidak percaya terhadap partai politik. Sedangkan 39,2 persen kurang percaya. Hanya 9,4 persen reponden yang percaya terhadap partai politik. Sementara 11,4 persen tidak tahu atau tidak menjawab (TribunNews, 5/1/2014).

Keempat, rakyat sulit membedakan mana partai yang bersih dari korupsi, mana partai yang kadernya banyak yang korupsi. Sehingga, mereka menggeneralisasikan bahwa partai apa pun memiliki kader yang terlibat perkara korupsi. Inilah yang menjadi salah satu sebab banyaknya rakyat yang memilih golput. Dengan pemilu serentak, golput akan berkurang karena capres menarik mereka untuk mendatangi bilik suara.

Akan ada partai yang rontok

Keempat fakta di atas akan berpengaruh terhadap perilaku politik pemilih di bilik suara. Dampaknya adalah rontoknya beberapa partai, bahkan partai besar yang pada pemilu 2009 lalu meraup jumlah kursi yang signifikan di DPR.

Perilaku pemilih di bilik suara diyakini diekspresikan dalam bentuk konsistensi pilihan terhadap calon Presiden dan partai. Pemilih cenderung memilih partai yang merupakan pengusung dari capres tertentu. Artinya, bila pemilih memilih si A sebagai Presidennya, maka ia akan memilih partai yang mencalonkan A sebagai Presiden.

Selain itu, secara psikologis rakyat akan memilih capres dan partai yang konsisten karena waktu yang sangat singkat untuk memilih beberapa pilihan (capres, anggota DPR (partai), dan anggota DPD). Mereka memiliki prioritas pilihan pada capres sehingga untuk memilih partai yang berbeda dengan pilihan capres-nya kemungkinannya kecil.

Partai-partai yang akan rontok itu dapat diprediksi berdasarkan capres yang diusungnya. Jika capres yang diusung partai memiliki elektabilitas yang rendah, maka partai tersebut akan banyak kehilangan suara. Partai-partai yang sudah merosot elektabilitasnya akibat kasus-kasus korupsi akan diperparah bila mereka mengusung capres yang tidak menarik minat pemilih.

Barangkali karena kecemasan terhadap implikasi ini, ada partai yang ngotot ingin mempertahankan pemilu terpisah. Memang partai ini tidak secara gamblang mengungkapkannya. Mereka hanya memberikan argumen bahwa pemilu yang serentak akan mengacaukan persiapan penyelenggaraan pemilu, anggaran akan membengkak, dan sebagainya.

Sedangkan partai-partai lain yang dengan santai menanggapi judicial review ini, barangkali disebabkan masih kuatnya rasa percaya diri bahwa rakyat masih mendukung partainya. Atau, bisa juga karena mereka telah memiliki capres yang dianggap potensial akan banyak dipilih rakyat sekali pun nanti pemilu dilaksanakan serentak.

Adapun Partai Bulan Bintang yang bermain sendirian melalui Ketua Umumnya, Yusril, dengan mengajukan JR, orang sudah yakin karena Yusril memiliki kepentingan untuk dirinya sendiri. Karena, jarang terdengar suara partai-partai lain akan mencapreskan Yusril. <<>>

------------

CATATAN: Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan Ada Apa Partai Nasdem Minta Pemilu Tidak Serentak?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun