Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Awal

9 Maret 2011   16:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 81 0
Hm, ini terinspirasi dari tweet rusuh @PetronellaLau dan @rezanufa. Di tengah ingar bingar (?) ngedit naskah drama, jadi kepikiran buat bikin ini.

***

Awal. Permulaan.

Awal tahun lalu, aku memulai awal hidupku yang baru dan ibuku juga mengakhiri hidupnya.

Ini bukanlah awal yang kumau. Ini bukan prolog cerita yang kuinginkan. Tapi siapa yang bisa memilih mana yang ia mau mana yang tidak? Semuanya sudah diplot dengan baik oleh Tuhan.

Awal tahun ini, dia datang kesinii.

Dalam balutan gaunnya yang mahal dan glam itu, ia bergabung dengan Ayah dan aku di meja makan.

Dia duduk di kursi yang dulu sering ibu tempati. Dengan angkuhnya, dia mencoba akrab denganku. Sekali lagi aku tegaskan, mencoba.

Kurasa, dalam kamusnya, mencoba dan berusaha itu tindakan yang berbeda.

Mencoba artinya hanya berpura-pura bersikap manis namun masih dengan angkuhnya, dan itu hanya saat awal pertemuan kami.

Berusaha adalah pantang menyerah untuk menghasut Ayahku.

Awal Juni ini, dia menikah dengan Ayahku.

Aku ingin menyusul ibuku saja! Kemarahan ini terus memuncak jika mendengar nama dia atau tentangdia.

Dia yang baik, dermawan, ramah, dan bla bla bla.

Bull! Alibi. Kedok. Penyamaran. Topeng. Kamuflase.

Aku yang beranjak dewasa, mulai dihancurkan dengan 'halus' olehnya.

Ia menghasut Ayahku yang bukan-bukan, bilang bahwa aku ini sering pulang pagi, pergi dengan beberapa lelaki, minum minuman keras, dan sederet lagi kejelekan yang tidak melekat padaku.

Ayahku yang bagai remaja dimabuk cinta, lantas percaya dengan kata-katanya. Aku dimarahi, dicaci, dihina.

"Kamu itu sama seperti ibumu! Dasar perempuan jalang!"

Kalau aku sudah tidak ingat dengan Tuhan, sudahh kubunuh Ayah kandungku itu dengan mata pisau yang kini kugenggam hingga membuat tanganku mengucurkan darah.

Ia mengatai aku dan ibuku jalang, tapi lihat, siapa yang jalang?

Ayahku sendiri!!

Kenapa ibu meninggal?

Karena di malam itu, aku menyaksikan sendiri, ibuku dibunuh olehnya.

Aku, dengan bodohnya, tak bisa berbuat apa-apa lagi. Hanya bisa menangis seperti  orang bodoh.

Aku. Memang. Bodoh.

Tapi. Aku. Tidak. Jalang. Seperti. Dia.

"Aku tau, remaja sekarang ini lebih labil dari yang kita bayangkan. Mereka selalu penasaran dan ingin coba-coba. Tidak ada masalah, kalau hal ini terjadi dalam konteks yang positif.Tapi, ia sudah melewati batas."

Labil? Orang dewasa selalu mengatai kami--remaja--labil. Sebenarnya, itu memang fakta. Tapi, kalau yang sudah masuk ke lingkaran setan, itu bukan labil namanya, tapi imannya goyah!

Seperti aku kini.

Karena semua tuduhan yang terus dihadapkan padaku setiap harinya, aku mulai berubah.

Gonna be a liar!

Aku lakukan apa yang dia fitnahkan kepadaku. Tapi aku juga masih menjadi diriku yang dulu.

Aku pakai dua kepribadian ini. Dan aku berhasil.

Menjadi liar dan manis dalam satu waktu.

***

Aku memasuki ruangan ini. Gelap dan lembap. Cahaya yang masuk hanya secuil yang dapat menembus ventilasi yang sebenarnya sangat kecil itu.

Aku menatap dengan sinis ke arah orang yang meringkuk di pojokan dengan seragam pasien rumah sakit jiwa ini. Tubuhnya menggigil, giginya bergemeletuk, rambutnya yang panjang dan awut-awutan--yang jelas beda sekali dengan rambutnya di awal pertemuan kami--menghilang warna cokelatnya dan menutupi wajahnya yang ketakutan.

Aku senang melihatnya.

"Ini awal yang bagus bukan? Menghabiskan masa senjamu di tempat yang tak bisa melihat senja... Sungguh masa yang tak akan terlupakan."

Awal hidupmu yang takkan terlupakan.

***

Aku memandangi nisan ini. Dengan tatapan dingin, tanpa ada rasa sedih sedikitpun.

Yang ada hanyalah penyesalan.

Kenapa bukan dia yang lebih dulu mati? Kenapa harus ibu yang pulang lebih dulu?

Selingkuh. Ketahuan selingkuh. Membunuh ibuku. Tidak mengakuinya. Menikah dengan selingkuhannya. Dibunuh istrinya sendiri karena sang istri yang tamak akan harta.

"Ha-ha, tragis sekali hidupmu, Yah."

Hidup kita sama, sama-sama rumit. Aku juga jahat, sama sepertimu. Kau Ayahku, jelas saja, darah 'jahat'-mu mengalir dalam tubuhku.

Tapi aku tak sebodoh itu, Ayah.

Aku berhasil bertahan di sini. Dia kubuat gila dengan berbagai macam cara setelah kau mati.

Aku hebat kan? Kau harus bangga padaku.

Inilah awal dari segalanya. Keluarga yang "harmonis''.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun