Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Yuk Mengurangi Konsumsi Nasi Putih!

16 Juni 2012   14:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:54 1117 4
Oleh Bude Binda

Baca statistik tentang beras: Indonesia pengimpor beras terbesar di dunia. Data September 2011 1,62  juta ton. Devisa tersedot Rp8,5 triliun. Triwulan pertama 2012 impor 770,3 ribu ton beras senilai Rp3,8 triliun (420,7 dollar AS).

90 % beras dunia dikonsumsi orang Asia. Rata-rata konsumsi Asia 86 kg beras/tahun. Amerika 9 kg/tahun. Eropa 4 kg/tahun.

Orang Indonesia 168,9 kg/tahun. Thailand 153,1 kg/tahun. Filipina 111,1 kg/tahun. Cina 107,4 kg/tahun (Suara Merdeka Minggu 10 Juni 2012).

Pada tahun 1986 Indonesai pernah swasembada beras hingga Presiden Suharto mendapat penghargaan dari FAO badan pangan PBB.

Namun sayang swasembada beras itu tak terulang lagi, bahkan kita jadi importir beras yang rakus. Maklum penduduk bertambah sementara lahan sawah kian berkurang beralih menjadi perkantoran, perumahan, perdagangan dan keperluan lain.

Sebenarnya ada andil kesalahan pemerintah hingga kita menjadi terbiasa makan nasi sehari 3 piring hampir sepanjang tahun. Ironisnya sebenarnya kita kaya bahan pangan penghasil karbo hidrat non beras. Makanan pokok sebagian dari rakyat Indonesia dulu tidak melulu beras, ada ubi jalar di Papua, tepung sagu Ambon, ketela/thiwul di Gunung Kidul. Sebagian contoh. Namun kebijakan memberi beras jatah untuk rakyat miskin di seluruh Indonesia dituding jadi biang keladi penyebab ketergantungan  kita pada beras. Beras juga dijadikan komoditas politik. Pada masa orde baru pula orang yang makan selain beras (nasi jagung, thiwul, ubi jalar, sagu) dianggap tidak makmur. Sehingga makan beras jadi simbol kemakmuran dan keberhasilan ekonomi.

Ternyata akibat masyarakat yang dulu pengonsumsi non beras beralih jadi beras sangat  membebani  di masa kini. Dengan angka ekspor yang tinggi, penguras devisa yang jumlahnya luar biasa sekaligus kita menjadi kian jauh dari kedaulatan pangan.

Mungkinkah pola makan makanan pokok beras dapat divariasikan dengan pangan non beras yang diproduksi lokal? Mengingat sedemikian kaya hasil pertanian non beras yang ada di sekeliling kita. Ada jagung dengan nasi jagung yang bahkan kian populer dinyanyikan Trio Macan "Iwak Peyek Sego Jagung" (ikan rempeyek nasi jagung). Ketela pohon yang dapat diolah jadi thiwul atau tepung mocaf, keladi, sukun, ubi jalar, iles-iles/suweg, ganyong. Bahan makanan ini tumbuh dengan mudah, dapat ditanam di pekarangan, tidak memerlukan perawatan khusus. Lahan yang tidak luas pun cukup untuk membudidayakan jika akan dikonsumsi sendiri.

Saya optimis kalau masing-masing individu mau memvariasikan makanan pokoknya  tak melulu  beras  ketergantungan kita dengan impor beras dapat berkurang. Syukur-syukur suatu saat dapat berhenti impor. Kita akan swa sembada makanan pokok (karena kalau swa sembada beras tapi impor gandum kian meningkat ya  masih belum seperti yang diinginkan).

Ada satu desa di Wonogiri yang sukses melaksanakan program swasembada pangan dengan cara melakukan kegiatan hari Senin dan Kamis konsumsi thiwul. Semua warga desa taat pada aturan desa untuk tak makan nasi pada dua hari seminggu. Ternyata kegiatan ini berhasil menghemat konsumsi beras. Alhasil mereka meraih predikat desa mandiri pangan.

Nah ada kemauan ada jalan kan? Demikian  juga gerakan sehari tanpa nasi di Kota Bekasi, walau baru berjalan untuk kantor pemerintah dan anak sekolah setidaknya wali kota sudah punya inisiatif dan memulai sebuah langkah yang berarti bagi kebiasaan makan nasi. Sehari tanpa nasi ini akan berhasil jika yang dikonsumsi pangan berbahan baku lokal bukan malah diganti mi dan roti. Mi dan roti gandumnya diimpor nanti tak beda dong dengan nasi yang berasnya impor!

Alasan lain untuk mengkonversi nasi putih adalah kesehatan. Ini kutipan artikel di Kompas di halaman Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Hasil penelitiaan terbaru menunjukkan, orang-orang yang makan 3-4 piring nasi putih sehari berpeluang mengidap diabetes tipe 2 dibandingkan dengan orang-orang yang makan 1-2 piring seminggu. Semakin banyak nasi putih dimakan, semakin   tinggi resiko diabetes tipe 2. Peneliti memperkirakan risiko diabetes meningkat hingga 11 persen jika masing-masing meningkatkan  konsumsi nasi putih setiap hari. Peneliti dari Harvard School of Public Health di Boston. (Kompas)

Nah kalau sudah tahu  ada keterkaitan kesehatan dengan konsumsi nasi putih kita yang berlebihan (sehari 3 piring itu termasuk berlebihan) apakah kita masih akan terus mempertahankan pola makan yang tak sehat ini?

Saya sudah menerapkan program  mengurangi konsumsi nasi putih ini pada pola makan saya. Jika biasanya sehari 2-3 piring, sekarang sekali makan hanya 2-3 sendok makan saja. Kalau hanya ada nasi putih. Di hari lain saya sempatkan ke pasar untuk membeli nasi jagung. Nasi jagung seharga dua ribu rupiah cukup untuk makan sehari ( 3 kali makan).

Kali lain saya akan masak nasi beras merah yang lebih tinggi serat dan indek glikemiknya rendah dibanding nasi putih atau saya masak thiwul/leye. Beras merah dan thiwul ini dapat saya beli di pasar di penjual beras. Menurut si pedagang banyak orang yang membeli beras merah dan thiwul. Alasan mereka demi kesehatan. Trend yang baik untuk tubuh yang lebih sehat mau pun untuk penghematan devisa negara sehingga keuangan negara lebih sehat.

Wah ternyata apa yang kita makan di meja makan keluarga dapat berdampak tak hanya untuk kesehatan kita namun juga menyangkut devisa negara.

Yuk mari kita mulai mengurangi konsumsi nasi putih divariasikan dengan  pangan lokal yang lebih sehat dan ekonomis!

Salam.

Sumber : Suara Merdeka

Kompas

BUDE BINDA

Banjarnegara, Sabtu 16 Juni 2012

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun