Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Piknik ke Pantai Teluk Penyu dan Widara Payung Cilacap

23 Desember 2010   16:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:27 690 1
Tadi Kamis 23 Desember 2010 kami piknik ke Cilacap.  Saya dengan teman-teman kantor yang Ibu-Ibu dan keluarganya  sudah lama merencanakan untuk berwisata mengobati kejenuhan dan rutinitas kerja yang bikin penat badan dan pikiran. Mengapa Ibu-Ibu? Habis Bapak-Bapak tidak mau diajak piknik, mereka sudah sibuk dengan keluarga mengisi liburan semester satu. Jadilah  setelah sekian lama tertunda piknik jadi dilaksanakan. Yang berangkat  teman-teman perempuan dengan anak-anak mereka. Yang pria hanya Mas Warjo dan Mas  Tuwarno, pramu kantor kami.

Para suami hanya mengantar saja. Kami berkumpul di alun-alun pukul 7.00. Namun saya terlambat beberapa  menit dan Bu Ir sudah menelpon sejak pukul 07.01 , saya katakan sedang naik angkot di perjalanan. Benarlah saya smapai alun-alaun Banjarnegara di depan masjid An Nur pukul 07.15 menit.  Terlambat 15 menit dari  perjanjian,  teman-teman sudah berkumpul semua di tepi alun-alun. Ternyata mikrobusnya belum datang. Kami pun menunggu mikro sambil ngobrol dan Mbak Nea datang nimbrung ngobrol karena ternyata Mbak Nea yang paling semangat merencanakan piknik tapi tidak bisa ikut , sibuk mengerjalan SPJ yang harus selesai hari ini.

Pukul 8.00 barulah mikro tiba, kami bertepuk tangan karena gembira. Naiklah kami satu persatu ke bus. Karena banyak yang tak jadi berangkat bus terasa lega.  nak-anak bisa duduk sendiri.

Alhamdulillah perjalanan lancar, sampai di Mandiraja, bus berhenti menjemput Bu Indri yang mengajak Aulia anaknya dan Ibunya.

Akhirnya pukul 10.30  kami sampai di Teluk Penyu. Sejak di bus ketika laut sudah bisa terlihat dari kejauhan kami sudah sangat senang. Rasanya sejuk, senang, indah, terpesona lihat laut. Maklum kami biasa hidup di pegunungan yang jauh dari laut.

Turun dari bus satu persatu kami menghambur ke laut. Wow indahnya, ombak bergulung-gulung memecah pantai. Angin yang bertiup memberi kesejukan, dan langit cerah matahari bersinar namun tak sepanas biasanya. Cuaca benar-benar bersahabat.  Kami pun berfoto-foto,  menceburkan diri ke laut, anak-anak bermain pasir.

Sesudah memotret dan dipotret, kebetulan hanya saya yang bawa kamera, saya berjalan -jalan menyusuri pantai sambil memunguti kulit kerang yang terhempas ombak. Wah kulit kerangnya bagus . kebanyakan berwarna putih gading walau ada yang kecoklatan. Bosan memunguti kulit kerang saya dengan Mas Warjo , Ipul dan Anggit serta Mas Tuwarno  berjalan menyusuri pemecah ombak.  Dulu saya pernah juga jalan di atas pemecah ombak namun agak takut dan berpegangan tangan dengan teman, eh ajaib sekarang berani  jalan sendiri pula. Rupanya rahasianya biar tidka pusing jangan lihat ke bawah! Puas juga akhirnya samapi ke ujung pemecah ombak dan berfoto-foto di sana.

Agak siang, matahari kian tinggi, saya pun menepi , duduk di bangku bambu di bawah pohon Waru. Sambil makan keripik pisang buatan Ibu saya yang enak dan renyah kami menikmati indahnya ombak dari kejauhan.  Tak bosan-bosan mata memandang lautan luas , di kejauhan nampak pulau Nusa Kambangan. Memang sih banyak tukang perahu yang menawarkan tour naik perahu ke Nusa Kambangan, agak ingin namun melihat perahunya yang mungil saya ngeri dan takut. Hemm  bagaimana kalau di tenagh laut dihantam ombak, padahal saya tak bisa renang. Dari pada ragu dan lebih dominan takutnya kami menggelengkan kepala tiap ditawari naik perahu, walau membayarnya murah hanya Rp10.000,00 saja.

Saya  sempat ngobrol dengan Pak Jumadi tukang parkir perahu yang bercerita tiap perahu yang parkir dan dapat penumpang pulang pergi ke Nusa  Kambangan bayar uang parkir Rp12.500,00.   Wah kalau dipikir-pikir pendapatannya banyak tukang parkirnya ya!

Saat duduk-duduk itu lihat penjual pecel, saya pun beli murah sepincuk harganya tiga ribu rupiah. Saya makan dengan ketupat sangunya Bu Indri. Ingat saya juga bawa nasi dengan tahu bacem dan oseng tempe , bekali itu pun saya makan sebagian. Makan sambil lihat laut, enak banget!

Puas makan, bermain dengan air laut, potret, kami pun beranjak dari pantai. Apa lagi sudah saatnya sholat Dhuhur.  Kami  naik mikro lagi, namun  mikro macet mesinnya jadi para Ibu dimintai bantuan untuk mendorong mikro. Ha...ha....kami pun turun , tapi Bu Nunik bilang " Bu Tuti, motret saja saat kami mendorong!". " Nanti saya

nggak ndorong dong?". Mereka kompak menjawab "Nggak apa-apa Bu". He...he...jadilah saya tidak ikut dorong bus  tapi motret mereka yang sedang  bekerja keras mendorong bus.

Akhirnya setelah didorong bus mesinnya bisa hidup,   bus berjalan dan berhenti di tempat penjualan oleh-oleh dan ikan segar.

Kami pun sibuk memilih ikan asin, serta hasil laut lain yang segar sambil tawar-menawar dengan seru. Maklum ibu-ibu, paling pintar kalau nawar. Saya beli terasi, teri yang 1/2 kg Rp10.000,00, ikan asin bawal, udang yang langsung dimasak 1 kg dua puluh lima ribu, cumi-cumi sekilo sama.

Eh masih belum puas, beli juga kerupuk kakap di kios sebelahnya, satu plastik sekitar setengah kilo harganya tujuh ribu rupiah.  Ada pula ikan asin yang tipisnya seperti kerupuk,  beli 1 ons delapan ribu rupiah.

Sambil menanti udang dan ubur-ubur masak saya sholat di Mushola di belakang kios dengan Mas Warjo dan Bu Indri. Musholanya bersih, air untuk wudlunya lancar mengalir deras dari kran. Bahkan seusai sholat saya ganti baju, setelah pintu masjid ditutup dan dtunggui di luar oleh Bu Indri. Aman, saya pun ke luar masjid dengan baju yang sudah berganti, maklum celana panjang  basah  terkena air laut dan banyak pasir yang menempel.

Sampai di kios  udang dan ubur-ubur sudah masak, baunya sih enak. Belanjaan pun dihitung saya bayar, lumayan sudah dapat oleh-oleh untuk yang di rumah.

Setelah usai belanja dan sholat , bus siap berangkat dan   lagi-lagi gotong royong mendorong bus, saya sih motret lagi mereka yang sibuk mendorong bus.

Perjalanan dilanjutkan ke  pantai Widara Payung sambil pulang karena Widara Payung letaknya di Kroya, sebelah timur Cilacap.  Sampai di pasar Adipala ada yang lihat tulisan pantai Widara Payung 8,5 km, maka beloklah kami ke selatan, namun ternyata kami kesasar ke Proyek PLTU Buton.  Kami pun akhirnya balik lagi ke ajlan semula. ternyata dari pasar Adipala masih ke  timur 3 km, baru ke selatan.  Sekitar  15 menit kemudian sampailah kami ke apntai Widara Payung. Baru dengar deburan ombak dan lamat-alamat pantainya terlihat kami sudha bertepuk tangan, gembira karena akhirnya sampai ke pantai ini.

Membayar retribusi yang di pantai Widara Payung lebih mahal dari Teluk Penyu, satu bus Rp80.000,00. Namun pantainya sangat indah, ombaknya lebih besar karena memang laut lepas. Smentara kalau di Teluk Penyu ada Pulau Nusa Kambangan yang menghalangi dari laut lepas Samudra Indonesia.

Pantai Widara  Payung ternyata  lebih luas dari  Teluk Penyu. Mirip pantai Parang Tritis, termasuk ada kuda dan andong yang bisa disewa. Ada pula penyewaan papan surfing. Rupanya ombak yang besar menarik minat para peselancar.

Duduk  di pantai  yang ada payung dan bangku kayunya ternyata ditarik sewa bangku lima ribu rupiah. Akibat disuruh membayar Bu Sri sampai tidka mau mendekati pantai dan duduk-duduk terus di bangku....Ha...ha...ha..katanya sayang sudah bayar lima ribu.

Saya mendekati laut yang gelombangnya berdebur lebih keras, seperti menantang pelaut untuk mengarunginya. Di kejauhan nampak beberapa perahu nelayan sedang mencari ikan. Pasirnya halus, apnati banyak dikunjungi wisatawan, sayang pantainya kotor Banyak sampah bertebaran, padahal banyak tempat sampah dari ban bekas yang tersedia.

Setelah lelah berkeliling memotret, saya beli lotis yang harganya tiga ribu rupiah, sempat ngobrol dengan penjual lotis /rujak yang bernama Riwin. Katanya penghasilannya tak tentu, kalau  sednag ramai pengunjung ya lumayan. Rumahnya dekat pantai dan tidak punya sawah, hingga mengandalkan jualan  rujak kelilingnya untuk nafkah keluarga.

Saya kembali ke bangku yang sudah disewa Bu Sri, ngobrol dengan penjual asongan tentang tsunami, mereka bilang saat tsunami banyak yang meninggal dan dibuatkan monumen tsunami. Rupanya Bu Sri penasaran dan mengajak saya untuk melihat monumen tsunami. Kami pun berjalan ke monumen itu, saya merinding membaca nama-nama korban yang tertulis di dinding monumen, di sama disebutkan jumlah total yang meninggal ada 157 orang. Tsunami terjadi tanggal 26 Mei 2006, bersamaan dengan gempa Yogya dan tsunami di Pangandaran. Semoga bencana itu tak terulang. Beberapa poster tentang cara menghindari atau menyelamatkan diri saat tsunami dan peringatan akan bahaya tsunami juga saya lihat di pantai.

Lihat arloji ternyata telah menunjukkan pukul 4 sore, saya pun cari mushola dan sholat Ashar. Sayang

musholanya kecil, sangat mungil hanya muat 3 orang.

Pukul 5 saat kami sudha merasa puas menikmati keindahan pantai, menghirup udaranya yang sejuk , menginjak pasirnya uyang halus, kami pun pulang. Sekali lagi kami bersiap mendorong bus, lagi-lagi saya disuruh motret perempuan-perempuan perkasa yang mendoorng bus dengan Mas Warjo, Mas tuwarno, dan mas kernet yang lupa tak tanya namanya serta dibantu dua pria baik hati mau iktu menolong mendorong busa yang lumayan alot didorong karena tempat parkirnya di atas pasir.

Hup ..satu dua tiga dorong....akhirnya mesin mau juga berbunyi, legalah hati. Perjalanan pulang pun dimulai.

Sepanjang jalan di kanan kiri sawah luas terbentang. Jalan pulangnya ternyata mengambil jalur yang berbeda, memang lebih dekat namun banyak yang berlubang. Rupanya Cialcap kabupaten terkaya di eks karesidenan Banyumas ini juga nggak beda jauh dari Banjarnegara dalam hal kerusakan jalan.

Begitulah piknik ke pantai yang berkesan. Kami sampai ke Banjarnegara, kembali turun di alun-alun dekat masjid An Nur pukul tujuh malam. Alhamdulillah suami saya sudah menjemput , mobilnya terparkir di depan BRI selatan alun-alun.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun