KRISIS KEJUJURAN PADA tubuh kepolisian menginspirasi Gus Dur (Alm) membuat sebuah lelucon. Mantan Presiden Indonesia yang super lucu itu bilang, di Indonesia ini hanya ada 2 polisi jujur—yang tak korup; pertama Hoegeng almarhum, dan yang kedua patung polisi. George Junus Aditjondro, penulis Gurita Cikeas yang bikin heboh itu, dalam kesaksiannya di sampul buku “Hoegeng, Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa” menyempurnakan lelucon itu dengan menambahkan: polisi tidur.
Ya, polisi tidur. Polisi tidur sendiri tak ada hubungan dan sangkut pautnya dengan institusi kepolisian. Dan tulisan ini memang tak hendak membahas soal suap-menyuap di tubuh kepolisian itu. Ia, polisi tidur, tak lain adalah penghalang berupa gundukan yang melintang di jalan; sengaja dibuat untuk mengurangi laju kendaraan; terbuat dari coran semen, ban mobil yang direntang dan dipaku, semprengan batang pohon kelapa, dlsb. Karena fungsinya mirip salah satu fungsi polisi lalu lintas itu, orang-orang kemudian menamakannya dengan polisi tidur—tapi walau tidur, dia siaga (dan siap melayani) 1 x 24 jam.
Dan beginilah hingga 7 polisi tidur berdinas di komplek kami.
Awalnya kami, saya dan para tetangga saya, tinggal aman dan nyaman di komplek itu. Tak ada yang bikin onar. Sampai kemudian, jalan di komplek kami itu, dipakai orang juga sebagai jalan pintas. Mobil dan sepeda motor orang-orang yang tidak tinggal di komplek pun berseliweran. Celakanya, mereka biasanya ngebut—terlebih pengendara sepeda motor. Gas-gasan. Tak pelak seperti Valentino Rossi di sirkuit moto GP.
Satu kali, karena memang sudah memakan korban—seorang anak ditabrak sepeda motor—pengendara motor yang masih ngebut di komplek mendapat teguran.
“Pelan-pelan, Lae! Banyak anak-anak di sini,”
Bukan terima malah nantang.
“Kalau gak pelan kenapa rupanya? Kan bukan jalan nenek moyangmu?”
Bah, memang jalan nenek moyangnya juga? Adu mulut pun terjadi. Hampir saja baku hantam. Karena melihat jumlah warga komplek yang banyak, pengendara motor itu berlalu sambil terus ngebut—tanda masih tak senang. Benar saja, beberapa bentar kemudian pengendara motor itu balik lagi bersama gerombolannya. Ia belum puas. Dan pukul-pukulan pun terjadi. Masalah ini kemudian sampai ke polisian. Selesai. Damai, saling maaf. Tapi soal ngebut di komplek belum juga selesai.
Tak mau terulang, seorang warga berinisiatif memasang tulisan di papan yang ditancapkan dipinggir jalan. Isinya dengan huruf kapital: BANYAK ANAK-ANAK! PELAN-PELAN!! NGEBUT BENJOL!!! Tulisan ini dibuat beberapa rangkap, dan dipasang di beberapa titik. Tapi tak ada gunanya. Ancaman model tulisan ini tak mengurangi laju kendaraan yang melintas di komplek kami, bahkan menjadi-jadi.
Akhirnya, warga sepakat “mempekerjakan” polisi tidur. Warga gotong royong.. Bahan-bahan dibeli secara urunan. Jalanan yang sudah dipasang paving block itu, dibongkar dibeberapa titik. Setelah itu dicor menggunakan semen. Pembuatan 7 polisi tidur ini selesai dalam seminggu, karena harus dibuat setengah-setengah antara lajur kiri dan kanan agar kendaraan tetap bisa melintas.
Hasilnya lumayan. Sejak itu laju kendaraan yang melintas di komplek berkurang—dengan terpaksa, karena kalau tidak bisa-bisa pengendaranya jatuh. Tapi sialnya, kami yang biasanya tak ngebut juga harus rela kehilangan kenyaman saat berkendaraan. Harus melewati polisi tidur yang kami buat sendiri: kletak! kletak! kletak!
***
DARI MANA ASAL-USUL POLISI TIDUR? Saya kurang pasti. Tapi biasanya berawal dari pengalaman yang kurang-lebih sama dengan pengalaman yang dialami orang-orang dikomplek kami; gara-gara ada yang ngebut.
Kebudayaan berkendaraan di negeri ini memang timpang—kalau tak mau dibilang kurang beradab. Orang bisa membeli kendaraan bagus, tapi tak bisa mengendarai sesuai aturan. Rambu lalu lintas tak pernah jadi acuan. Lampu merah artinya berani; siapa berani tabrak. Dan anehnya tampak perasaan bangga pada pengendara kalau-kalau saja ia berhasil menabrak lampu merah. Tanda 20 KM per jam ketika masuk komplek dianggap angin lalu saja, orang NGEBUT BENJOL! saja tak diambil peduli.
Dan akhirnya, polisi tidur pun dipakai—mungkin orang baru bisa pelan kalau efeknya langsung terasa kepada mereka—kepada kendaraan mereka (atau kita).
Setiap hari, setidaknya, ada 25 polisi tidur yang harus saya lewati ketika berangkat bekerja—dari rumah ke tempat kerja—itu tak termasuk hitungan yang 7 dikomplek kami tadi. Kalau jarak rumah-tempat kerja saya 10 KM, artinya tiap 1 KM saya harus berurusan dengan lebih dari 2 “orang” polisi tidur. Jumlah itu bisa bertambah—penambahan “personil”—tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Dan begitulah kemarin, ketika saya dan seorang kawan berboncengan pulang kerja. Tau-tau sepeda motor yang dipacu di jalan aspal dengan lari 50 KM per jam melompat. Brak! Untung dia awas, sehingga kondisi kendaraan stabil.
“Apa itu tadi?” tanya saya.
“Polisi tidur!” jawabnya.
“Bah! Pagi tadi belum ada di situ!”
“Kek tak tahu saja!”
JEMIE SIMATUPANG, kompasianer asal(-asalan,) Medan.