Oleh JEMIE SIMATUPANG
INI CUMA SEKEDAR ISTILAH MEDAN. BAHASA MEDAN. Apa itu belah jengkol, belah duren, dan potong atas? Yakh, kalau Anda orang Medan mungkin tak perlu membaca “cerita berak” awak ini, pastilah sudah tahu belaka apa-apa yang dimaksud dengan istilah itu, yakin awak tak akan mendapat pengetahuan baru dengan membaca tulisan ini. Tapi kalau Anda memaksa juga ya tak apa—jangan bilang saya tak mengingatkan
Jengkol adalah buahan yang banyak tumbuh di dataran tinggi sumatera utara. Dari Tapanuli sampai Tanah Karo sana. Buah ini, walaupun berbau menyengat, bisa diolah menjadi makanan yang lezat (kalau tak percaya tanya saya!). Macam-macam olahan makanan dari jengkol itu: sambal teri + jengkol (mendiang Benyamin bisanya bilang trijengki), sate jengkol, semur jengkol, kalio jengkol, rendang jengkol, gulai jengkol, lalap jengkol, dan di tingkat wacana sudah ada yang mau mengembangkannya ke manisan jengkol (data yang terakhir ini diperoleh dari nekcoyo.com)
Buah jengkol tergolong bijian berkeping dua. Dikotil. Persis seperti (banyak) kacang-kacangan. Jadi apabila dibelah, maka jengkol menjadi dua bagian yang besarnya sama persis.
Nah, istilah belah jengkol itu berasal dari bisa dibagi duanya buahan itu sama besar. Setengah-setengah. Inggrisnya: fifty-fifty. Istilah itu kemudian dipakai untuk pendapatan yang dibagi dua. Tentu saja bukan pembagian yang halal, pembagian yang busuk, seperti busuknya kencing dan kentut orang yang makan jengkol.
Tut! Tut! Tut!
Misalnya saja, sebuah lembaga sosial mendapatkan bantuan dari APBD (baca: pemerintah). Sebelum bantuan itu dicairkan kepada si penerima, biasanya oknum pemerintah akan bernego dulu dengannya, kalau uang itu akan dibagi dua dengan si oknum. Di bagi dua denganya. Dibelah jengkol. Ya, kalau lembaga itu mau, maka dana akan dicairkan, kalau tidak ya dana itu akan beku saja di APBD menuggu lembaga lain yang mau berbelah jengkol.
Lembaga itu kemudian, kalau track-record-nya sering menerima dana maka bisa dicap sebagai lembaga belah jengkol.
Parahnya lagi, kadang dana itu tidak sekedar dibelahjengkolkan belaka, ada yang juga yang sampai belah durian (duren). Jangan berpikir jorok dulu, walaupun ini selamanya memang tingkah laku jorok. Apalagi ini bulan puasa. Kalau belah jengkol dibagi dua; fifty-fifty, maka belah duren bisa jadi pembagiannya tak sama berat, bisa 60 : 40 atau 70 : 30 (yang besar tentu untuk sang oknum pemerintah). Ibaratkan buah durian, yang memang kalau dibelah tak bisa sama persis; sama rasa, sama rata.
Lalu apa hal potong atas itu?
Istilah ini merujuk pada bagaimana uang itu diambil oleh oknum pemerintah itu. Uang itu akan diambil untuk bagiannya (kelompoknya) dan sisanyalah yang diserahkan kepada si penerima. Tentu tak lupa menyodorkan kwitansi yang angkanya sebesar jumlah uang yang belum dibelahjengkolkan atau dibelahduriankan tadi. Dan si penerima harus membubuhkan tanda-tangannya di sana, sebagai bukti formil, kalau uang itu bulat-bulat diterimanya, tanpa dipotong sepeser pun.
Inilah Medan, Bung!
Banyak jengkol. Banyak durian. Sepanjang tahun musim jengkol, sepanjang tahun juga musim durian. Datang, datanglah. Jangan khawatir tak ada belah jengkol apalagi belah durian di sini. Bersih semua. Tak ada mereka yang korupsi. Kalau tak percaya, tanyakan sama Syamsul Arifin (Gubernur), Panda Nababan, Abdillah (mantan walikota), Gayus Tambunan, dan Nazaruddin.
Salam potong atas! [*]
JEMIE SIMATUPANG untung saya warga kompasiana di sini, bukan warga medan, hehehe…