Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi Artikel Utama

Tikam Cantik Bu Sri

30 Juli 2011   04:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:15 636 6


Buat: Kak Sri Eni Purnamawati dan Mbak Sri Wulandari

Dua guru saya


Oleh JEMIE SIMATUPANG

ORANG-ORANG MENAMAI KAMPUNG itu Sei Mati. Sungai Mati. Apa hal dinamakan begitu? Tak jelas! Memang perkampungan kumuh di Kota Medan itu dilewati oleh sebuah sungai, tapi itu Sungai Deli. Bukan Sungai Mati. Dan Sungai Deli adalah sungai yang hidup, mengalir airnya dari zaman Putri Hijau nan rupawan dari Kerajaan Deli mandi di dampingi dayang-dayang yang montok-montok di sungai itu sampai anak-anak Sungai Mati mandi telanjang di sungai yang sama.

Tapi karena namanya itu, banyak juga orang yang memetik manfaat. Dapat untung. Orang-orang Sungai Mati yang karena keadaan terpaksa jadi bandit, jadi preman, jadi tukang kompas, menggunakan nama sungai itu untuk sekedar menge-mop korban.

“Lae, bagi uang kau dulu!”

“Tak ada, Bang!”

“Bohong kau ya!? Belum tahu kau siapa yang bunuh Sei Mati!?”

Yang sudah ketakutan biasanya langsung menyerahkan sejumlah uang kepada orang ini, takut nasibnya sama dengan sungai itu; tewas dibunuh Sang Preman.

Orang-orang tua di sana, yang suka berkombur di kedai kopi seharian bermodalkan pesan kopi separoh (½ gelas) juga suka menggunakan Sei Mati untuk menunjukkan senioritasnya.

“Wak, kapan uwak lahir!?”

“Lupalah uwak kapan tepatnya, tapi yang jelas waktu uwak sudah bisa menghitung sampai 10, Sungai Mati itu masih sekedar batuk-batuk!”

“Bah!”

Bu Sri (nama KTP: Sri Wulandari), walaupun bukan warga sana, sudah hapal semua cerita begini. Bahkan cerita-cerita lain—yang acap dibilang sebagai “cerita berak”—dari kampung kumuh ini. Ia tak bisa lain dari geleng-geleng kepala, terlebih kalau diceritakan cerita sama yang oleh orang yang berbeda. Tapi tetap saja ia, demi rasa hormat, sebagai baru sekali itu mendengar cerita itu. Kagum-kagum. Terlebih ditambah dengan ucapan-ucapan: “lalu?” dan “Oh, begitu ya?” dan akhirnya “Gila!” plus “Hahaha....”

Tiga tahun yang lalu, perempuan tak pala cantik (setidaknya menurut Bang Tigor yang sering menyapa Bu Sri dengan “Sri Jelek!”) berusia 20-an tahun ini jatuh cinta dengan Sei Mati, terutama dengan anak-anaknya, yang menurutnya “anak-anak merdeka”. Ia lalu memutuskan mendedikasikan hidupnya pada kampung itu—meninggalkan kemewahan hidup yang disediakan oleh orang tuanya. Bermodalkan sumbangan dari kawan-kawan di kampus, ia membuka sebuah TK untuk anak-anak di Sungai Mati, dan ia sendiri yang menjadi pengajar di TK tak berbayar itu.

Sejak itulah namanya resmi menjadi Bu Sri disapa oleh anak-anak yang menjadi murid-muridnya.

Awalnya Bu Sri dengan seorang kawannya, Bang Tigor (anak-anak tetap memanggilnya abang walaupun usianya sama dengan Bu Sri dan sama-sama mengajar di TK itu, tak lain karena dia sendiri yang meminta, alasannya: biar tak mati BK) melakukan penelitian di Sei Mati untuk kepentingan penyelesaian tugas akhir kuliah mereka di sebuah perguruan tinggi kenamaan di Kota Medan. Penelitian antropologi prihal kebudayaan masyarakat yang hidup di pinggir Sei Deli. Hampir 3 bulan mereka melakukan penelitian secara intens di sana, menyebarkan kuisioner, mewawancarai tokoh-tokoh kunci, sampai bermain dengan anak-anak yang ada di sana, untuk mendapat gambaran yang lebih utuh tentang kehidupan orang-orang yang ada di pinggir sungai tua tersebut.

Dari pergaulan ini, Bu Sri jatuh hati kepada masyarakatdi sana. Ia berempati kepada orang-orang di sana, terlebih kepada anak-anaknya, yang walaupun dalam kehidupan yang serba kekurangan, tapi tetap semangat menjalani hidup; cerdas dan enerjik. Bahkan, seperti tak ada masalah saja.

“Andai mereka mendapat pendidikan yang layak, pastilah mereka menjadi orang-orang besar di negeri ini,” pikir Bu Sri.

Tapi semangat Bu Sri tak bisa dibilang datang begitu saja. Dalam pergaulannya di organisasi mahasiswa, Bu Sri dkk., banyak membahas persoalan-persoalan sosial yang terjadi di di negeri ini—teristimewa Kota Medan. Mereka melacak akar-akar permasalahan yang ada di Kota Medan, termasuk membaca literatur-literatur yang bisa memperkaya khasanah pemikiran mereka, untuk memecah persoalan-persoalan itu.

Mereka berdialog dengan pemikiran Paulo Freire, Ivan Illich, Peter L. Berger, dan Everet Reimer untuk menganalisa situasi pendidikan dan kaitannya dengan keadaan masyarakat. Mereka juga akrab dengan pemikiran-pemikiran Tan Malaka yang memang pernah menjadi guru bagi anak-anak kuli kontrak di Tanah Deli pada tahun 1920-an. Tiga buku dari Penjara ke Penjara adalah buku wajib yang selalu saja ada di ransel Bu Sri—walaupun kadang buku itu berpindah dari tangan ke tangan.

“Mengajari anak-anak Indonesia saya anggap pekerjaan tersuci dan terpenting!” ulang-ulang Bu Sri selalu mengutip Tan Malaka, bapak bangsa yang dianggapnya paling macho itu.

“Akh, ini Puan Malaka van Java!” kata kawan-kawannya menyindir.

“Jangan iri ya, dari garis ibu masih mengalir darah minang dalam tubuh awak: darah Datuk Ibrahim Tan Malaka,” katanya sekedar membangun mitos pada dirinya—walaupun sebagai seorang berpikiran merdeka, Bu Sri tak percaya dengan trah-trahan.


***


“Bu Sri, Bang Tigor, main Tamtam Buku, yok!”

“Cemana mainnya?”

“Gampang, Bu! Nanti tahu sendiri. Sekarang Bu Sri sama Bang Tigor yang jaga dulu!”

Anak-anak itu menjelaskan bagaimana permainan itu. Bu Sri dan Bang Tigor berdiri berhadapan, kedua tangan mereka saling berpegangan, membentuk sebuah gerbang. Anak-anak lalu berbaris berbanjar, saling berpegangan bahu, dan berjalan melewati gerbang yang dibuat Bu Sri dan Bang Tigor. Mereka pun bernyanyi.

Tamtam buku

Celeret tanda lima

Patah pentil patah paku

Anak belakang

Tangkap satu!

Seorang anak yang posisinya paling belakang ditangkap dengan menurunkan gerbang yang terbuat dari tangan Bu Sri dan Bang Tigor. Si anak lalu ditanya.

“Mau pilih mana? Bulan apa bintang?”

“Bulan!”

Anak itu lalu berada di belakang Bu Sri. Jika memilih bintang, maka anak itu berdiri di belakang Bang Tigor. Setelah itu anak-anak yang lain mengulangi permainan yang sama, sampai seluruh anak belakang tertangkap satu per satu. Dan permainan ini menjadi berubah seperti permainan tarik tambang tanpa tali antara kelompok Bulan dan Bintang—Bu Sri dan Bang Tigor. Tali yang digunakan adalah tangan Bang Tigor dan Bu Sri yang saling tarik-menarik, anak-anak yang lain berada di belakang mereka, berbaris, dan saling memegang pinggang, membantu menarik pemain lawan melewati garis demarkasi yang sudah di sepakati. Yang kalah, wajib menggendong yang menang.

Bang Tigor menang, dan Bu Sri wajib mengendongnya. Anak-anak anggota Bu Sri juga harus menggendong anggota Bang Tigor. Tentu saja mendapati Bu Sri menggendong Bang Tigor di belakangnya, warga menjadi meriah, di sorak-sorai sepanjang jalan. Bu Sri harus menggendong Bang Tigor sampai ke pinggir Sungai Deli. Sesampainya di tempat yang disepakati, Bu Sri melemparkan Bang Tigor ke sungai.

“Byuurr!”

Bang Tigor marah-marah dengan, “Pantat kau Sri!”. Bu Sri tertawa-tawa. Tapi, “Byur!” Bu Sri gantian di dorong oleh anak-anak anggota Bang Tigor ke sungai. Bu Sri kuyup. Anak-anak dan Bang Tigor tertawa puas. Byur! Byur! Byur! Satu-satu anak-anak itu melompat ke dalam sugai setelah mempreteli pakainnya. Telanjang bulat. Jadilah akhirnya hari itu pelajaran di tutup dengan mandi-mandi di Sungai Deli yang sudah tercemar limbah dan sampah itu.

Begitulah Bu Sri melalui hari-hari dengan 12 murid-murid TK-nya. Bu Sri tak mengenal belajar harus di kelas. Mereka lebih sering belajar di alam, di bawah pohon duku, di bengkel Wak Leman, atau kadang ya dipinggir Sungai Deli. Lagi pula apa yang mereka sebut sebagai kelas hanyalah sebuah musholla tua tak terpakai—warga tak menggunakannya lagi untuk beribadah karena di sana sudah dibangun mesjid sumbangan dari seorang tokoh partai yang akan mengikuti pemilu pada waktu itu dengan wanti-wanti: “coblos partai saya ya!”

Yah, karena urusan partai ini jugalah Bu Sri dkk (seperti biasanya, bacanya tetap: de-ka-ka) tertimpa masalah. Melihat rendahnya tingkat kesadaran politik di kampung itu, terlihat misalnya mereka memilih siapa yang memberi sumbangan atau uang, bukan berdasarkan visi dan misi orang bersangkutan, seperti terpilihnya orang yang menyumbang mesjid itu padahal setelah itu sekali pun ia tak pernah datang lagi ke Sungai Mati, Bu Sri berniat mengadakan pendidikan politik. Ia tak mau kejadian pemilu musim lalu terulang lagi. Usul ini disetujui oleh kawan-kawannya di kampus, juga oleh warga di Sei Mati.

Maka tiap malam kamis, mereka melakukan pelatihan pemilihan umum (voter education). Mereka belajar apa itu demokrasi, partai, pemilu, dan terutama bagaimana memilih wakil rakyat yang benar. Setelah itu, mereka baru sadar akan kesalahan selama ini, yang juga membawa pengaruh mengapa nasib mereka tak berubah dari pemilu ke pemilu selama ini.

“Kalau gitu, kita ambil uangnya, soal coblos, nanti dulu!” kata seorang warga.

Ada yang setuju dengan usul ini ada juga yang tidak. Tapi Bu Sri dkk menganggap pilihan begitu tak baik, prinsipnya: kalau sudah bagi-bagi uang, pastilah partai dan orangnya sudah tak benar. Nanti kalau terpilih, tugas nomor wahidnya adalah bagaimana mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan ketika kampanye berlangsung.

Pemilu semakin dekat, semakin banyak juga uang bertebaran di mana-mana. Sebagian orang-orang Sei Mati menolak uang itu. Tapi sebagian pragmatis saja, mereka terima, tapi tidak memilih orangnya kalau saja visi misinya tak ada signifikansinya bagi kehidupan mereka.

Pemilu berlangsung tapi tak seorang pun yang menebarkan uang dan bantuan mendapat suara dari orang-orang Sei Mati. Mereka marah-marah. Sebagian meminta kembali bantuan yang sudah diberi.

“Tak tau terimakasih ya, saya ambil lagi ini,” kata seorang tokoh partai sambil menggulung sajadah dari mesjid.

“Bawa saja sana, Tuhan pun tak menerima sholat kami kalau pakai sajadah itu!” kata nazir mesjid.

Bu Sri dan Bang Tigor tertawa saja ketika melihat orang yang berjas lengkap dan berdasi itu ngos-ngosan menggotong sajadah di pundaknya menuju mobilnya yang di parkir di pinggir jalan raya karena tak bisa masuk ke gang sempit kampung itu.

“Sales sajadah ya, Bang!?” kata Bu Sri.

Orang itu hanya melirik sinis ke arah Bu Sri dan Bang Tigor.

Dua hari kemudian TK tempat Bu Sri mengajar terbakar. Bangunan itu habis dilalap api tanpa ampun. Buku-buku dan alat-alat praga milik TK itu habis menjadi abu. Tak ada yang melihat siapa yang telah mengendap malam-malam dan menyiram minyak dan menyulut gedung itu dengan api. Bu Sri sudah menduga siapa orangnya, tapi karena tak ada bukti, dan menghormati azas praduga tak bersalah, Bu Sri tak menceritakan orang yang disangkanya. (catatan penulis: nama itu juga tak disebutkan kepada penulis ketika membuat cerita ini; biar pembaca saja yang menyimpulkan sendiri, kata Bu Sri waktu itu)

Tapi Bu Sri, Bang Tigor, dan anak-anaknya tak mati semangat. Haram putus asa. Besoknya, mereka tetap belajar seperti sedia kala—seperti tak ada masalah sama sekali. Semakin keras mereka menyanyikan lagu-lagu anak merdeka yang diciptakan seorang rekan mereka dari Jawa.

Belajar sama-sama

Bertanya sama-sama

Senang sama-sama

Semua orang itu guru

Alam raya sekolahku

Sejahteralah bangsaku!

Akan tetapi soal terbakarnya TK mereka itu, tentu saja Bu Sri dan Bang Tigor tak tinggal diam. Ia bersama warga dan rekan mahasiswanya membentuk tim khusus yang menginvestigasi kejadian itu—salah satu tugasnya: membuat laporan ke polisi. Sebuah tim lain juga dibentuk, untuk mengumpulkan dana untuk keperluan membangun kembali TK yang kini rata sama tanah.

“Kita tak boleh menyerah terlebih pada orang-orang pengecut yang telah membakar milik kita, TK itu harus berdiri lagi,” kata Bu Sri.

“Benar, Bu!” ujar warga.

Tit! Tit! Tit! Sebuah SMS masuk ke HP Nokia seri lama Bu Sri. Lansung ia membuka inbox. Sebuah pesan singkat terbaca: “Awas! Jangan pengaruhi warga lagi!! Kalau tidak nyawa melayang!!!”

Bu Sri membacakan SMS itu kuat-kuat. Warga kelihatan tegang. Begitu juga Bang Tigor yang gelagatnya beberapa bulan belakangan menaruh hati dengan perempuan itu, terlihat dari panggilannya yang dulu bilang “Sri jelek” sekarang menjadi “Sri say!”

“Jangan tegang begitulah!” kata Bu Sri.

“SMS-nya sudah saya balas lagi, kok!” sambungnya.

“Cemana kau balas, Sri!” Bang Tigor yang paling tegang pertama-tama bertanya.

“Ya, cemana!” warga lain juga bertanya.

“Jangan khawatir!! Cari mampus kau, ya!!! Belum tahu kau siapa yang membunuh Sungai Mati!!!!!!”

Bu Sri sengaja melipat gandakan tanda “!” dari yang dikirimkan oleh Si Peneror, “pikirnya awak kalah gertak!” gumam Bu Sri.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun