Oleh JEMIE SIMATUPANG “INI BAGUS BRO!" “Yang mana?” “Ini!” “Wah, ini Tan Malaka. Hati-hati, Bro! Nanti bisa jadi atheis kita!” “Iya pulak ya!” KEDUA PEMUDA yang saya taksir umurnya 20-an tahun itu lalu bergegas meletakkan lagi buku tebal putih bertitel Madilog ke rak buku. Mereka lalu beringsut ke rak buku lain di toko buku yang ada di jalan Gajah Mada Medan itu. Saya dan seorang kawan—yang tak saya sebutkan namanya—tersenyum-senyum saja melihat tingkah pemuda itu. Heran. Kok bisa pula baca buku terus jadi atheis? Kawan saya, yang kadar usilnya lebih tinggi dari saya, mendekati dua pemuda tadi, dan mencoba memulai pembicaraan. “Kok tak jadi dibeli buku tadi, kan bagus?” “Gak lah, Bang! Takut jadi atheis kami!” “Kok bisa atheis?” “Tan Malaka itu kan pengajar atheis, Bang!” “Terus apa baca bukunya kita langsung jadi atheis?” Tak terjawab—mereka saling berpandangan satu sama lain. “Kelen (Medan: kalian) tahu dari mana rupanya Tan Malaka atheis, tapi belum baca bukunya?” “Senior kami di gerakan mahasiswa yang bilang, Bang!” “Oo..!” Pembicaraan itu sebenarnya lebih panjang lagi, tapi demi tak menyebut nama universitas dan nama gerakannya, saya potong sampai di situ saja. Saya cuma membathin, kok ya masih ada orang berpikiran begitu takut dengan pengaruh buruk sebuah buku. Padahal, dia sendiri belum pernah membacanya, dan hanya tahu buku itu dari orang lain. Benar memang dalam Madilog, Tan Malaka menawarkan cara berpikir materialisme, dialektika, dan logika, yang pada beberapa tesa menolak akan adanya eksistensi Tuhan. Tapi dalam Madilog, bukan tentang itu saja, Tan Malaka mencoba menawarkan sebuah cara berpikir dan bertindak bagi bangsa Indonesia (teristimewa pada masa itu) bagaimana agar bisa keluar dari penjajahan (apa pun bentuknya) yang terjadi selama ini. Merdeka 100 %. Keluar dari dogma-dogma yang selama ini sebenarnya menyesatkan, dan sengaja dipelihara oleh status quo demi langgengnya kekuasaan. Tapi kalau tak dibaca, bagaimana bisa diketahui isi lain dari sebuah buku, semisal Madilog, kecuali mitos-mitos sesat yang kadang dibangun oleh orang-orang yang kontra dengan pemikiran itu—yang bisa jadi juga tidak membacanya. Tentang sakwasangka ia seorang Atheis (yang semasa hidupnya pun sudah menjadi perdebatan), Tan Malaka menulis dalam sebuah bukunya sbb (baca saja es-be-be): Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik, Apakah Anda Muslim - ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! Jadi harus menjadi atheis kah kita membaca Tan Malaka? Membaca sebuah buku? Hm, macam-macam saja! [*]
JEMIE SIMATUPANG ayahnya sophie (2 tahun) tinggal di Medan.