Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sandal Jepit Reformasi Bang Kasmin

21 Juli 2011   04:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:31 584 2

Oleh JEMIE SIMATUPANG TAK ADA ORANG YANG tak punya atau tak pernah menggunakan sandal jepit. Pasti punya dan pernah. Dari para priyayi yang ada dalam novelnya Umar Kayam, yang tinggal di rumah-rumah mewah dengan fasilitas wah pula sampai orang kere yang tinggal di gubuk; membutuhkan apa yang di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan sebagai sandal jepit. Dan bisa digaransi: dari presiden RI, wakil rakyat yth. sampai rakyat jelata juga menggunakan sandal jepit. Masak sih anggota dewan yth. itu pakai sepatu pansus kalau ke WC? Mesti sandal jepit juga. Tak terkecuali kalaupun mereka suka bikin pansus-pansusan. Tapi sandal jepit yang ada dalam cerita ini, pastilah tidak dimiliki dan digunakan semua orang. Pak presiden yang terhormat juga tidak. Bukan karena mereknya yang Swallow—yang juga hampir sama dengan sandal jepit orang lain—bukan juga karena nomernya yang 10½ , tapi lebih karena usianya yang sudah tua. Kalau ditilik-tilik dari buluknya penampakannya, bisa ditebak usianyas lebih dari 10 tahun, paling tidak 13 tahun. Tak bisa dibayangkan sandal jepit yang usianya lebih dari itu, 2 tahun saja sudahlah sangat-sangat tua dan wajib—sebagai militer ataupun PNS—dipensiunkan. Bagaimana bisa lain. Warnanya aslinya yang kombinasi antara putih dan biru itu sudah tak jelas lagi. Buram—kalau tak mau dibilang absurd. Telapaknya sudah menggerundel, tergelupas, sehingga menampakan isi dalamnya yang biru. Dan ketuaan itu diperparah lagi dengan talinya yang sudah diikat dengan kawat pada bagian jepitan agar masih menyatu. Yang unik dari sandal ini juga ukiran huruf “K” di telapak sandal itu, yang warnanya sudah menghitam, kalau ini barang arkeologi tentu perlu dikuas-kuas dulu sebelum bisa membaca benar huruf apa gerangan yang terukir di sana. Tapi sebagai lazimnya sandal jepit,  bisa dipastikan “K” itu adalah inisial dari Sang Pemilik agar tidak tertukar dengan milik orang lain, dan sebagai awas-awas kalau saja ada yang berniat jahat mencuri sandal itu. Itu adalah sandal jepit milik Bang Kasmin. Atau yang dikenal orang sebagai Kasmin Becak, becak yang melekat pada namanya itu tak lain karena profesinya sebagai tukang becak di Kota Medan ini. Dan “K” di sandalnya itu, tentu saja untuk “Kasmin”! Ya, Bang Kasmin memang selalu memakai sandal jepit kemana-mana. Narik becak pakai sandal jepit, ke tempat keluarga sandal jepit, ke mesjid apa lagi, dan juga buang hajat ke Sungai Deli yang berada tepat di belakang rumahnya, mesti pakai sandal jepit. Bisa dipastikan ke tempat tidur sajalah dia melepaskan sandal jepit buluk dengan simbol “K”-nya itu. “Ini sandal bertuah,” kata Kasmin satu kali, “bersejarah. Paling tidak dia telah menyaksikan 4 kali pertukaran presiden di negeri ini.” Itu kalau kita percaya cerita Bang Kasmin yang alhamdulillah jarang berbohong—paling ya sekedar berkombur. Konon,  menurut Bang Kasmin, waktu dengung reformasi digelorakan oleh mahasiswa di negeri ini, sandal jepit Bang Kasmin turut menjadi saksi. Bahkan turuk aksi pula. Waktu itu sandal ini masih baru. Masih bersih. Kinclong. Sandal ini dipakai  Bang Kasmin mendayung becak ke gedung DPRD, bergabung dengan mahasiswa meneriakkan yel-yel “Turunkan Harto!” Entah alasan apa Bang Kasmin ikut aksi, mungkin karena merasa mahasiswa-mahasiswa itu juga memperjuangkan nasibnya, tukang becak yang tak bisa lagi membeli apa-apa waktu itu karena harga-harga yang melambung tinggi tak terkendali. Sandal jepit itu tercabut juga jepitannya ketika mereka harus kejar-kejaran dengan polisi anti huru-hara yang membubarkan demonstrasi. Sandal itu copot sebelah kanan. Sadar-sadar ketika selamat dari pentungan PHH, Kasmin hanya bersandal sebelah kiri. Tak rela kehilangan, ketika demo sudah mereda, Kasmin mencari kembali sandalnya sebelah kanan, dan menemukannya tercampak ke got yang untung saja tak berair—karena waktu itu sudah lama tak turun hujan—kalau tidak pastilah sudah hanyut terbawa air ke Sungai Deli dan akhirnya terdampar di Belawan sana. Aksi mereda ketika akhirnya Soeharto turun. Lengser ke prabon. Sandal jepit itu diajak bang Kasmin melonjak-lonjak ketika menyaksikan pidato pengunduran diri Soeharto dari puncak kekuasaan orde baru waktu itu, untuk kemudian digantikan dengan Habibie. Zaman segera berubah. Tapi Bang Kasmin tak berubah sedikit pun. Masih mendayung becak. Harga-harga sembako masih juga menjadi barang mahal baginya. Tapi tak ada jadi peduli Bang Kasmin, yang penting ia bisa ikut dalam agenda perubahan sejarah, dan yang penting ia masih bisa nyaman menggunakan sandal jepit, tidak lupa daratan sebagai banyak mahasiswa yang dulu bersandal jepit dengannya di DPRD tapi sekarang latah memakai pansus dan duduk di kursi tempat yang mereka demo dahulu. Dan beberapa kali ketika Bang Kasmin bertemu di jalan, mereka sudah pura-pura tak kenal lagi dengannya. “Aneh!” pikir Bang Kasmin. Sandal jepit itu juga masih eksis ketika Habibie turun dan digantikan dengan Gus Dur, lalu digantikan Megawati, dan digantikan lagi dengan SBY sekarang ini. “Cemana awak bilang tak bersejarah sandal jepit ini?” kata Bang Kasmin, mengelus-elus sandal jepitnya yang sudah tak jelas lagi warnanya itu. Bagi Bang Kasmin sandal jepitnya itu sudah bagai saudaranya saja baginya. Kembar siam malah. Tak bisa dipisahkan lagi. Bahkan pun kalau ada yang menawarnya dengan harga mahal—yang Bang Kasmin tahu pastilah tidak ada (kalau ada entah juga, kan Bang? Hehehe…)—Bang Kasmin tak merelakannya. Sandal ini bagian dari hidup saya, katanya. Pada tahun bulan dan tanggal yang Bang Kasmin lupa—Bang Kasmin hanya ingat harinya: Jumat—sandalnya hilang waktu dia sholat Jumat di Mesjid Raya. Ia sudah cari kemana-mana, tak ketemu. Tanya jamaah lain, tapi tak satu pun yang tahu dimana sandal jepitnya itu berada. Tanya anak-anak penjaga sepatu jamaah--anak-anak yang sama bergotong royong menorehkan huruf "K" pada sandalnya--, mereka geleng-geleng. Bang Kasmin putus asa, dia sudah berniat ngumpulin duit beli sandal baru. Apalagi sudah lima hari sandal itu dicari-carinya, tak ketemu juga. Tapi keajaiban terjadi pada hari ke-6, ketika ia tertidur di atas becak, beristirahat karena lelah, bangun-bangun, bagai mimpi, sandalnya yang bertanda huruf “K” itu tak kurang satu apa pun sudah berada di kakinya. “Wah, apa malaikat yang mengantarkan?” takjub Bang Kasmin waktu itu. Ia pun langsung sujud syukur mencium tanah Deli, akh, bukan tanah, tak lain dari aspal yang bopeng sana-bopeng sini. Rupanya, yang tidak diketahui Bang Kasmin, sandal itu dikembalikan orang Sang Pencuri sendiri. Awalnya Sang Pencuri kehilangan sandal selesai berjamaah, lalu dia mengambil sandal orang lain, tak disangka itu adalah sandal Bang Kasmin yang bertanda huruf “K” itu. Sang Pencuri kasihan demi tahu Bang Kasmin tiada hari tanpa menanyakan keberadaan sandalnya itu kepada jamaah yang ada di Mesjid Raya. Dan satu kali ia bertanya tepat dengan Sang Pencuri, “Bang, ada nampak sandal jepit tua dengan huruf ‘K’ di tapaknya?” Pencuri itu pun, karena terenyuh hatinya, mengembalikan sandal Bang Kasmin secara diam-diam—ketika Bang Kasmin ngorok di atas becaknya di bawah rerimbunan pohon di samping Mesjid Raya. Dan betapa senangnya Bang Kasmin waktu itu, setelah sujud syukur, ia berlari-lari di halaman mesjid dan mengabarkan kepada semua orang di sana kalau-kalau sandalnya telah bertemu—tak pelak seperti Archimedes yang berteriak di bak mandi ketika menemukan dalil fisikanya. “Eureka! Eureka! Eureka!” Pernah juga satu kali Bang Kasmin diberi sepatu bagus oleh seorang kenalan. Mereknya Adidas. Tapi Bang Kasmin tak ada seleranya memakai sepatu itu, selalu disimpannya di atas bufet hartanya paling berharga di rumah. Sampai satu kali seorang anak tetangga meminta sepatu itu untuk dipakainya ke sekolah, Bang Kasmin langsung mengiyakan. “Awak lebih senang pakai sandal jepit,” kata Bang Kasmin. Bagi Bang Kasmin, pakaian itu ya bagaimana enaknya saja. Yang penting nyaman. Tak mau ia diperbudak, memakai segala pakaian karena tuntutan situasi atau pun kondisi. Pakai sepatu, pakai jas, pakai dasi, atau pakai apa lagi? Bang Kasmin memang lebih suka pakai sandal jepit dengan celana pendek dan kaos oblong kemana-mana. “Tak habis pikir awak, kok ada ya orang bikin aturan nanti kalau datang ke acara ini pakai stelan jas, terus yang hadir pada pakai jas, lah kalau yang diundang saya, pastilah saya pakai sandal jepit ini juga,” kata Kasmin. Tapi banyak juga yang protes kepadanya. “Sandal jepit ya sandal jepit, Bang! Tapi janganlah sampai bulukan dan tak jelas warnanya gitu!” Bang kasmin hanya terkekeh, mempertontonkan barisan giginya yang sudah tak rapat lagi, sporadis di sana-sini karena berguguran satu per satu dimakan usia. Kalau percaya lifestyle, maka inilah lifestyle-nya Bang Kasmin. Gaya hidupnya. Sandal jepit. Gaya hidup yang memebedakannya dengan seorang presiden, menteri, guru, atau pun orang-orang lain. Bang Kasmin bersandal jepit kemana-mana, sementara yang lain, pakai sandal jepit juga—paling tidak ke WC—untuk kemudian menukarnya dengan sepatu, sandal kulit, atau pun sandal gunung, tergantung kepada kebutuhannya, yang mereka buat-buat demi lifestyle juga itu. Isterinya, Kak Butet, sebenarnya tak kalah stres dengan sandal jepit Bang Kasmin ini. Walaupun sadar betapa miskin, tapi untuk membeli sepasang sandal yang lebih layak pastilah dia mampu. Dia bisa menyisihkan hasil upah nyuci pakaian tetangga semisal pun Bang Kasmin tak mampu membelinya. Tapi tiap kali ditawari, selalu saja Bang Kasmin menolak. Bahkan satu kali ketika dibelikan selop crocodile buatan Ajo Sukarame, Bang Kasmin malah memberikannya kepada saudara jauhnya. Apa tak kesal Kak Butet itu? Berbagai usaha telah dilakukannya untuk menyikirkan sandal itu, dari yang lunak sampai yang ½ vandalis, tapi selalu saja tak berhasil. Satu pagi, ketika Medan masih diselimuti kabut, sandal itu dihanyutkan Kak Butet, isterinya ke Sungai Deli—tentu saja tanpa sepengetahuan Bang Kasmin yang sedang tertidur. Bangun-bangun Bang Kasmin kecarian sandalnya. Ia tanya ke Kak Butet, tapi Kak Butet bilang tidak tahu. “Mungkin digigit anjing,” kata isterinya, karena memang pernah juga sandal itu digigit anjing dan dibawa kemana yang sebelah kanan. Tapi tak lama kemudian seorang anak tetangga  membawanya pulang ke rumah Bang Kasmin. “Gigit anjing kok dua-duanya,” tak percaya Bang Kasmin. Karena tak ketemu juga, akhirnya Bang Kasmin berkaki ayam ke sana-ke mari. Ia bernazar tak pakai sandal sebelum ketemu sandal itu. Isterinya jatuh kasihan juga melihat ulah Bang Kasmin ini. Tapi tak berani ia mengakui kalau-kalau dia yang membuangnya ke sungai. Takut nanti Bang Kasmin marah, walaupun belum pernah dia tahu dalam sejarahnya Bang Kasmin marah, bahkan ketika ia tak sengaja satu kali membakar surat cinta yang dikirimkan kepadanya, untuk menjerang air, karena tak tahu kalau itu surat cinta Bang Kasmin. Tapi sekali ini keajaiban terjadi di hari ke-7, seseorang dari kampung sebelah, yang kebetulan kenal Bang Kasmin, yang kampungnya juga dilewati Sungai Deli, datang pagi-pagi ke rumahnya. Tanpa basa-basi, dia menyerahkan sepasang sandal jepit dengan huruf “K” yang semakin tak jelas saja warnanya. Sandal abang nyangkut di WC saya, katanya. Bang Kasmin berterimakasih sangat pada orang itu, dan berjanji akan mengantarkannya naik becak kemana saja, gratis, tapi kawannya itu menolaknya, dan bilang: “saya tidak mau pergi kemana-mana.” Kenalannya itu pun pulang, dilepas Bang Kasmin dengan takjub, “Wah, Tuhan selalu mengirimkan malaikat untuk mengembalikan sandal ini.” “Kok bisa hanyut awak? Apa di bawa anjing ke sungai ya!?” kata Kasmin menimang-nimang sandalnya itu. Isterinya hanya tersenyum saja dari dapur, menyiapkan kopi untuk suaminya, mendengar simpulan Bang Kasmin. Tak ada Bang Kasmin curiga dengan dirinya. “Sudah ketemu sandalmu, Bang?” tanya Kak Butet ketika menyuguhkan kopi pada Bang Kasmin, pura-pura tidak tahu kejadian barusan dan kejadian sebelumnya. “Sudah!” jawab Bang Kasmin, sandal itu masih ditimang-timangnya. “Muach! Muach! Muach!” terdengar ciuman dari rumah Bang Kasmin. Akh, syukur, bukan sandal yang diciumnya, tapi kening Kak Butet, isterinya, sebagai raya syukur karena sandal buruk rupanya telah kembali! Begitulah! Zaman berganti, presiden bertukar, dan SBY sampai menjabat dua kali, tapi sandal jepit Bang Kasmin belum juga bertukar. Begitu juga dengan nasibnya. Tapi ia tak peduli, ia tak prihatin. Bahkan ketika presidennya kerap prihatin terhadap nasibnya sendiri, Bang Kasmin tak pernah bilang prihatin ketika sandalnya itu hilang, ia hanya mencarinya, sekuat tenaganya, semampunya, sampai kemudian sandal itu ketemu lagi! [*]

Medan, 21 Juli 2011

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun