Oleh JEMIE SIMATUPANG MAT TANDUK berencana melakukan boikot nonton bioskop dua satu. Pasalnya: film-film hollywood kesukaannya ditarik oleh distributor karena tak mampu—lebih pasnya: menolak—membayar bea masuk (baca: pajak) berdasarkan aturan baru yang dibuat kementerian keuangan. “Tak mau awak kalau cuma nonton film hantu,” kata Mat Tanduk. “Maksudmu?” tanya Cok Kompas—sohib Mat Tanduk. “Lah, kan film-film Indonesia yang beredar di bioskop itu lebih 50 prosennya cerita hantu melulu: dari pocong sampai kuntilanak, dari tuyul ke gondoruwo. Kalau film barat (editor: begitu Mat Tanduk bilang film hollywood) stop main di Indonesia, film-film hantu itulah yang bergentayangan di bioskop. Lumayan kalau menghibur, lah ini jalan ceritanya udah bisa ketebak: gara-gara kenakalan sekelompok remaja di satu tempat menyebabkan mereka harus berurusan dengan arwah seseorang yang mati penasaran. Bah!” gondok Mat Tanduk. “Tapi kan bagus juga wak, mana tahu dengan momen ini kemudian film nasional kita bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri—menyusul industri musik kita. Mantap lagi kalau kemudian pajak film itu kemudian disubsidikan ke industri film: bakalan tak disuguhi hantu lagi kita, yang lebih berbobot, pun kalau ujung-ujungnya “hantu” juga, paling tidak yang menghibur dan tidak itu-itu saja macam awak bilang tadi!” “Aikh, aikh, yang tak tahunya kau kalau keberhasilan orang musik di negeri ini karena usaha mereka sendiri. Zero peran negara. Lah, orang melindungi mereka—orang musik—dari pembajakan saja pemerintah tak berdaya, konon lagi harus memajukan. Lagi pula siapa juga yang percaya dengan pajak? Bah! Hasil pajak buat bantu orang film awak bilang? Hm, kalau buat mereka-mereka juga, buat orang-orang macam Gayus, percaya awak!” “Apatis kali bah! Cenderung anarkis malah!” Cok Kompas sambil menyorong kopi yang mulai dingin ke mulutnya. “Akh, cemana tidak wak. Pajak sama film indonesia itu sama saja awak rasa. Sama-sama “sarang hantu”. Tengoklah uang pajak itu, macam hantu dibuat orang itu, bisa raib dan pindah ke mana-mana!” “Aikh, prttt…” tersedak Cok Kompas. [*] JEMIE SIMATUPANG ayah Annora Filosophie Sulung (2 tahun), tinggal di Medan.