Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Amirah, Nazaruddin, dan Jaring Laba-laba

11 Juli 2011   10:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:45 679 2

Mbak, IRONI ITU SEKARANG bernama Amirah. Dalam Tajuk Kompas hari  ini (11/07) saya baca bahwa perempuan ini terancam hukuman 5 tahun penjara hanya gara-gara mencuri sarung seharga Rp.3000,- di tempat ia bekerja. Sarung milik majikannya. Dalam persidangan ia mengakui telah mencuri sarung itu dan menjualnya dengan harga Rp.15.000,- Ia kini tengah di tahan di LP Pemekasan. Amirah hanya pasrah. Ia bisa dibilang buta hukum. Apalagi selama persidangan ia tak didampingi oleh seorang pengacara, penasehat hukum, atau apapun namanya. Ia meraba-raba sendiri di dunia hukum negeri ini yang memang terkenal gelap. Gelap bagi orang kebanyakan—rakyat seperti Amirah. Memang Pasal 56 KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bukan Kumpulkan Uang HAbis Perkara) bilang: “… bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.” Tapi bagi Amirah pasal ini tak berlaku. Bahkan mungkin tak dibacakan baginya—sehingga ia tak tahu. Sudah sangat sering kita dengar orang-orang tak berpunya yang berhadapan dengan hukum—sebagaimana Amirah—tak didampingi oleh seorang penasehat hukum. Padahal itu adalah Hak. Artinya: wajib disediakan negara. Mbak, Kalau kita pikir-pikir lagi, mengapalah perkara yang menyebabkan kerugian Rp.3000,- (saja!) sampai ke gedung pengadilan? Kan semestinya ini bisa selesai di tingkat RT saja. Kalau tak bisa di tingkat Kepala Desa atau lurah saja. Kalau tidak juga, ya kan polisi bisa memfasilitasi perdamaian. Apalagi pelaku juga sudah berkenalan baik dengan korban. Ya, bukan dalam pengertian kita melegalkan pencurian, pencurian sarung ya tetap pencurian, tapi layakkah sebuah kejahatan sekecil itu masuk ke gedung pengadilan? Bukankah biaya operasionalnya lebih besar daripada harga kejahatan itu, dan keadilan apa juga yang hendak dikejar? Pun hakim, kalau semisal sampai ke mejanya, bisa menggunakan kekuasaannya untuk menegakkan keadilan terhadap Amirah. Tak perlulah sampai disidang-sidangkan berkali-kali dengan alasan: hakim tak bisa menolak perkara yang diajukan kejaksaan. Ya, prosedur undang-udangnya taroklah begitu, tapi kan hakim juga punya hati nurani? Dia bisa membuat hukum sendiri. Ia law making. Kita butuh lebih banyak hakim progresiv, yang tak terpaku pada kitab undang-undang an sich. Tak perlu ada lagi Nek Minah, Prita, Sengon-Karta, yang karena berasal dari rakyat kebanyakan mendapat ketidakadilan di depan hukum yang konon memang tak pandang bulu(?). Apalagi di dunia hukum sekarang sedang memajukan keadilan restoratif, keadilan yang proses penyelesaian perkarannya dilakukan secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana tersebut dan implikasinya, dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan. Terlebih untuk perkara kecil-kecil belaka seperti pencurian sarung yang dilakukan oleh Amirah. Mbak, Saya lalu teringat dengan Melinda Dee (benar begitu namanya) yang terlibat kasus penggelapan uang di bank tempat dia bekerja. Ia orang kaya raya. Mobilnya saja Hummer. Tapi lihat, apa yang terjadi selama ia ditahan: bahkan untuk pengobatan payudaranya (yang beberapa kali dioperasi untuk alasan kecantikan itu) saja disediakan oleh negara. Mengapa tidak uangnya untuk biaya pengacara prodeonya Amirah saja? Lalu kita juga mau tak mau membandingkannya dengan Nazaruddin. Itu mantan bendahara partai penguasa yang disangka melakukan tindakan suap-menyuap. Sampai sekarang ia lari entah kemana sebelum tangan hukum menangkapnya. Bahkan orang sekelas SBY sekalipun tak mampu(apa iya?) mendatangkannya kembali ke dalam negeri untuk menjalani proses hukum. Apalagi kalau sekedar KPK, kepolisian, kejaksaan, dan apa lagi namanya itu? Lalu negara hukum seperti apa negeri ini? Mbak, Guru SD kita dulu acap mengutip Anarcharsis ketika belajar PMP. Ia bilang filsuf ini konon pernahberkata: hukum bagaikan jaring laba-laba. Ia akan menjerat binatang-binatang kecil, dan koyak-moyak manakala ia ditabrak oleh binatang-binatang besar. Begitulah kiranya hukum. Amirah, Nek Minah, Sengon-Karta, dll., mungkin bak lalat atau belalang saja yang bisa dengan mudah terjerat oleh sarang laba-laba bernama hukum. Tapi mana kalau ditabrak oleh Nazaruddin yang bak kelelawar ia koyak-moyak. Hancur. Tak berdaya berbuat apa-apa. Tajuk kompas hari ini menggambarkannya sebagai penegakan hukum yang tajam ke bawah namun majal ke atas. Tumpul ke atas layaknya belakang golok. Yah, tentu ini sudah membuat kita muak. Antipati. Bahkan memang tak percaya lagi dengan apa yang dibilang sebagai hukum. Mbak, Walau absurd saya berdoa, “semoga kita tak pernah bermasalah dengan hukum!” Medan, 11 Juli 2011 Tabek! js NB: Mbak, tolong doakan surat saya kepada Anda ini masuk zona highligts di kompasia ya, hahaha…

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun