Oleh JEMIE SIMATUPANG
SEORANG KAWAN sukses meraih gelar M.Hum tanpa susah-payah ambil program studi ilmu-ilmu humaniora. Selamat. Ya, tentu saja dia bukan meraih Master Humaniora (walaupun di negeri ini memang lucu, orang bahkan bisa bertitel doktor walaupun tak pernah masuk kuliah) tapi Master Humor. Ya, kawan saya itu memang jago humor, mengkreasi, menreplikasi, dan menduplikasi cerita-cerita humor yang entah dari mana saja datangnya.
Ada saja humor yang diceritakannya. Dan selalu saja dia berhasil membuat kami terpingkal-pingkal atau paling tidak tersenyum. Di antara jeda kerja misalnya, sembari mengusir kepenatan tugas, ia akan mulai bercerita tentang sebuah humor. Jangan kira itu baru, seringkali itu juga humor yang sudah berulangkali diceritakannya, tapi kok ya tiap kali diulang, tiap kali cerita itu tambah apik, ada penambahannya di sana-sini. Berlemak di sana-sini. Tapi yang tak bisa dimungkiri, selalu saja kami terbahak-bahak tiap kali cerita berakhir. Bukan sedar bentuk apresiasi tapi lebih karena memang ceritanya lucu.
Satu kali misalnya, kawan saya itu bercerita tentang Nazaruddin (sebagai kawan saya itu, saya juga mengkreasi nama ini biar aktual, hehehe…) yang bekerja sebagai agen rahasia—lebih tepatnya lagi: intel melayu.
Jadi, kata kawan saya itu, satu kali terjadilah pembunuhan berantai. Satu per satu orang mati, dan si pembunuh tak ketahuan siapa orangnya. Tak ada jejak. Pertanda yang tinggal hanyalah sekuntum bunga mawar yang diletakkan pelaku di tubuh korban-korbannya. Polisi kewalahan mengungkap kasus ini. Bertahun-tahun tak kunjung selesai. Akhirnya, seorang polisi senior berpangkat—katakanlah—jenderal menyarankan agar kasus ini ditangani oleh Nazaruddin, kawan polisi senior itu.
Konon Nazaruddin sendiri adalah seorang agen rahasia yang telah undur diri dari dunia per-agenrahasia-an. Ia menyepi, tinggal di sebuah kampung di kaki bukit. Sebelumnya, Nazar dikenal sebagai agen rahasia jempolan kaliber James Bon 007. Banyak sudah kasus-kasus besar terungkap jasanya, bahkan termasuk ketika membongkar kasus harta cikeas (nek coyo). Tapi karena sebab yang tak disebutkan, ia mengundurkan diri, dan memilih menjadi petani.
“Dan (maksudnya komandan), saya memang mundur dari dunia ini. Tapi satu kali, kalau kau butuh bantuanku, jangan segan-segan meminta—jauh di lubuk hati, saya masih agen rahasia,” kata Nazaruddin ketika mereka berpisah dulu.
Akhirnya, dipilihla seorang polisi untuk ditugasi mencari keberadaan Nazaruddin. Pesan polisi senior, Nazaruddin Sang Agen rahasia punya sandi, yang sebenarnya hanya dia dan polisi senior itu yang tahu. Sandinya, kalau kita katakan: “Bulan sabit di atas langit!” maka kalau dia Nazaruddin Agen Rahasia akan menjawab: “Rumput menghijau di bahu bukit!”.
Polisi itu pun melakukan tugasnya, mencari Nazaruddin. Ia menyamar, berpakaian preman agar tak dicurigari orang-orang. Masuk-keluar kampung, tapi belum lagi ia menemukan Nazaruddin. Akhirnya sampailah ia ke sebuah perkampungan kaki bukit yang terpencil ketika hari sudah hampir merangkaki malam. Di tengah jalan ia berpapasan dengan seorang lelaki paruh baya yang berjalan dengan langkah tergesa-gesa—sepertinya baru pulang dari sawah, terlihat dari cangkul yang dipanggulnya.
“Pak, numpang tanya, Anda tahu Nazaruddin?” tanyanya penuh hormat.
“Nazaruddin? Nazaruddin yang mana, Mas? Soalnya di kampung ini banyak Nazaruddin, ada Nazaruddin Rangkat, Nazaruddin Libas, Nazaruddin Congok, dan Nazaruddin Korup, dan Nazaruddin-Nazaruddin lain. Lah, saya sendiri juga Nazaruddin!” jawab lelaki itu.
Mendapat jawaban begitu polisi yang sedang menyamar itu terkejut. Ia mundur beberapa langkah, kemudian sesuai nasihat atasannya, ia mengucapkan kata sandi yang sudah dihafalnya di luar kepala—tak perlu contekan sebagai sering kita lakukan waktu ujian, hahaha….
“Buan sabit di atas langit!” serunya penuh semangat.
Pria paruh baya itu heran melihat tingkah-laku polisi yang menyamar itu. Ia garuk-garuk kepala yang tak gatal. Tapi beberapa bentar kemudian senyum mengembang bahkan berubah menjadi tawa.
“Oalah, Mas ini mencari Nazaruddin yang agen rahasia, tho. Kok tak bilang dari tadi? Rumahnya itu, tak jauh dari sini, paling kira-kira 500 meter, letaknya di depan masjid samping SD inpres,” jawab pria paruh baya seraya menunjuk ke satu arah.
Mendengar jawaban itu polisi yang menyamar itu lemas. Ia berharap orang yang ditemuinya tadi adalah Nazaruddin Agen Rahasia. Lebih lemas lagi ternyata Nazaruddin yang agen rahasia sudah tak bekerja jadi agen rahasia lagi, paling tidak semua orang sudah tahu kalau dia adalah agen rahasia. Jadi bukan rahasia lagi. Bahkan sampai sandi-sandinya orang kampung sudah tahu.
Oalah, kawanku yang yang master humor itu ada-ada saja! [*]
JEMIE SIMATUPANG minta maaf kalau tak lucu, hehehe…