Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Kolor, Gaya Hidup, dan Masyarakat Konsumsi

4 Juli 2011   06:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:57 669 7

Mbak,

PADA AWALNYA HANYA KEBUTUHAN. Orang butuh makan, butuh minum, butuh pakaian, butuh tempat tinggal, butuh kendaraan, dan segala macam tetek-bengek kebutuhan hidup manusia lainnya. Tapi lama kelamaan, seiring perkembangan jaman, ini bukan soal kebutuhan lagi. Ia sudah berubah menjadi apa yang latah kita—sebagai kanal tulisan ini—lifestyle. Atau apa yang dipadankan dalam bahasa Indonesia dengan gaya hidup.

Dengan gaya hidup maka hidup harus bergaya (apa iya!?). Kalau makan pun mesti ada gayanya. Kalau berpakaian juga. Begitu juga kalau mau beli kendaraan. Semuanya mesti menggayakan hidup. Maksud saya, makan itu bukan soal asal perut kenyang lagi, tapi ada nilai lain yang dikejar—selain nilai kegunaan suatu barang. Orang akan lebih memilih makan pizza di ruangan dingin sebuah mall daripada makan jagung bakar Pak Min di pinggir jalan. Orang akan memilih memakai pakaian merek D&D, Guess, dan apalagi itu daripada made in (baca: jahitan) Bu Ijah dari pasar sebelah. Padahal, kalau diukur-ukur dari pencukupan kebutuhan, keduanya sama saja: sama-sama bikin kenyang, sama-sama bikin badan terlindung dari panas-dinginnya udara.

Ya, namanya juga gaya hidup: yang penting gaya, bukan sekedar yang penting kenyang!

Mbak,

Konon juga kita sekarang berada pada era konsumsi. Masyarakat konsumsi. Yasraf A. Piliang dalam bukunya Dunia Yang Berlari (DYB), mengatakan masyarakat konsumer adalah masyarakat yang di dalamnya dikembangkan bentuk baru budaya konsumsi, berbagai logika baru konsumsi, yang secara mendasar mengubah model hubungan antara manusia (yang mengonsumsi) dan objek atau benda (yang dikonsumsi). Di dalam masyarakat ini, objek berkembang sedemikian rupa sehingga tidak lagi terikat pada logika utilitas, fungsi, dan kebutuhan, tetapi apa yang disebut “logika tanda”. Lanjut Yasraf, adalah tanda yang menentukan tindak konsumsi, bukan kebutuhan; yang dibeli orang adalah tanda bukan lagi nilai sebuah benda.

Saya kira ini ada kaitannya dengan persoalan gaya hidup itu. Yasraf benar, kalau memang sekarang kita mengkonsumsi itu tak lagi sekedar—macam awak bilang tadi—manfaat benda itu, tapi lebih kepada tanda-tanda yang ada dibalik benda sebagai bagian dari gaya hidup. Ya, seperti itu tadi, orang makan di kafe yang ada di mall, bukan lagi mengejar cita-rasa kafe yang bikin kenyang, lebih lagi karena kafe itu menjual tanda kehollywoodan, dan kehollywoodan sendiri adalah gaya hidup yang banyak dicontoh orang mati-matian dalam bergaya—referensinya: ya artis-artis hollywood.

“Saya ada karena saya bergaya,” kata orang sekarang.

Ya, soal tanda-tanda dan gaya hidup itu lagi konon dimanfaatkan habis-habisan oleh kaum pemodal. Kapitalis. Berbagai produk kemudian diciptakan, kemudian diiklankan, khusus untuk mempengaruhi gaya hidup kita—terakhir memang agar barang-barang yang mereka ciptakan itu kita beli, sehingga modal mereka semakin tumpuk-menumpuk. Berakumulasi. Tentu mereka sangat tak suka dengan kita yang masih suka berpakaian ala kadarnya. Bisa jadi lingkungan kita, karena sudah terpengaruh, juga tak suka dengan kita. Bisa-bisa dituduh: Gak tau model, ketinggalan jaman, orang jadul, gaptek, primitif, dan entah apa lagi.

Mbak,

Saya lalu ingat celana dalam. Ingat kolor. Apalagi saya tahu Anda kan penjahit celana dalam di Sukarame sana. Made ini AS tho, Ajo Sukareme, hehehe…Ya, sebagai kata Saniah Sania dalam sebuah postingannya, kolor atau celana dalam itu berfungsi untuk menutup kemaluan kita. Lebih tepat lagi: menutup alat vital kita sebagai dikatakan Edi Sembiring. Bukan apa-apa, saya rasa benda ini pun tak lagi bebas nilai—hanya sekedar penutup kemaluan, alat vital. Tentu berbeda kolor orang dengan gaya hidup tingkat atas dengan tingkat bawah. Yang atas lebih mementingkan merek, mungkin dari desainer-desainer paris yang saya sendiri tak hapal namanya. Mungkin namanya bukan lagi celana dalam atau kolor tapi lingeria, g-string, dan apa lagi itu. (Tak habis pikir kok saya bisa menulis ini, hahaha… hmm…, beberapa hari belakangan memang saya tampak agak sinting. Gila. Hahaha….)

Saya sendiri tak ambil pusing. Yang penting celana dalam. K o l o r . Apa saja mereknya. Dan bagaimana juga bentuknya. Yang penting nyaman dan aman buat “barang” itu, hahaha… Dulu Omak (Melayu Medan: ibu) sering buatkan saya celana dalam dari bekas karung (goni) gandum. Dijahit apik pakai tangannya, terus dikasi karet kolor warna hitam. Tentu saja kemudian tampak belakangnya ada gambar segitiga birunya, dan tampak depannya tertulis: JANGAN PAKAI GANCU! Hahaha…

Ngomong-ngomong kolor Anda cemana? Apa pakai produk buatan sendiri? Mantap kalau gitu.

Medan, 4 Juli 2011

Jabat erat,

jemie simatupang

NB:

Mbak, kira-kira Anda tahu mengapa iklan anti-ketombe di kompasiana tak ada lagi? Hm, apa karena habis masa kontraknya ya? Kalau iya mungkin Anda bisa promosikan celana dalam buatan Anda di kompasiana ini. Siapa tahu banyak peminatnya. Apalagi banyak dari kita—apalagi saya—kadang lupa menjaga kemaluannya, lebih tepat lagi: alat vitalnya. Ya, coba saja mbak, siapa tahu makin laku.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun