Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Inilah Mencontek Massal yang Tidak Dilarang

16 Juni 2011   02:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:28 998 2
[caption id="attachment_114288" align="aligncenter" width="670" caption="Kau duduk bersebalahan dengan murid teladan, Kau anggap itu satu kesempatan (sumber:baybay-kresna.blogspot.com)"][/caption]

Kau duduk bersebalahan dengan murid teladan

Kau anggap itu satu kesempatan

Matamu gerak kiri dan kanan tak mau diam

Intip hasil jawaban

Mencontek, mencontek, mencontek teman

Oleh JEMIE SIMATUPANG

SENIMAN ADALAH ORANG yang mengangkat realitas sosial pada karya seninya. Setidaknya begitu bagi saya. Mereka mengabstraksikannya. Pelukis akan mengungkapnya dengan sapuan kuas di atas kanvasnya, pematung akan memahatnya di batu, dan pemusik (penyanyi) akan menggubahnya menjadi syair lagu dan musik, juga pelawak atau komedian akan menampilkannya sebagai parodi—yang biasanya mengundang hahaha… (walaupun tak ada yang lucu, saya sarankan Anda tetap ber-hahaha… membaca “hahaha…” tersebut—kalau tidak Anda akan salah baca, hahaha…)

Dengan itu, sebagai Albert Camus, sastrawan-filsuf asal Prancis-Aljazair itu (yang saya pakai secara serampangan), seniman melakukan pemberontakan terhadap realitas. Aku berontak maka aku ada. Dan seni adalah (salah-satu bentuk) pemberontakan, demikian Camus.

Kasus Gadel

Beberapa hari belakangan, kita dikagetkan dengan kasus mencontek massal yang terjadi di SD II Gadel—di kota arek-arek Suroboyo. Diceritakan, seorang anak diperintahkan oleh seorang guru untuk memberikan contekan kepada kawan sekelasnya—mungkin biar lulus semuanya. Solidaritas. Contek massal pun terjadi. Si anak, karena merasa ada yang sesuatu yang ganjil, sepulang ujian menceritakan peristiwa itu kepada orang tuanya. Orang tuanya berang. Ia—orang tuanya itu—melaporkannya kepada walikota setempat. Dan gegerlah Indonesia. Lebih geger lagi ketika masyarakat di sekitar, alih-alih mendukung keberanian orang tua si murid yang jujur, malah menghujatnya. “Lebay, lo!” mungkin kata mereka. Dan sampai akhirnya terjadi pengusiran kepada orang tua si murid yang ingin menegakkan kebenaran itu, bak seseorang yang dapat hukum adat karena telah berlaku asusila.

Saya sendiri menyebut ini—meminjam Yasraf A Piliang—hiper-moralitas (Yasraf juga meminjamnya dari orang lain). Terjadi bilamana sebuah masyarakat tidak bisa lagi membedakan batas-batas antara benar-salah, jahat-baik, moral-amoral, dst. Akibatnya salah bisa jadi benar, baik bisa jadi jahat, dan setan bisa jadi bak malaikat. Dan masyarakat begini biasanya ditandai dengan prilaku menyimpang (kekerasan) ketika mempertahankan kebenarannya: main hakim sendiri, membakar, merusak, atau pun—seperti yang terjadi di Gadel—mengusir.

Walaupun kasus contek-mencontek yang terjadi di negeri ini tak hanya soal kultur semata. Budaya belaka. Tapi ada soal struktur yang dibuat penguasa di dunia pendidikan, dimana kelulusan (artinya juga kepintaran secara keseluruhan) seorang murid diukur dari seberapa hebat dia menjawab soal ujian yang di-UN-kan. Ukuran-ukuran lain semisal moral, budi pekerti, kejujuran, dlsb—yang ada pada murid—dinafikan. Nol besar. Bahkan kalau pun ia punya bakat-bakat di bidang pelajaran lain yang tak diujinasionalkan, semisal: olah raga, seni, agama, dlsb. Tak ada gunanya bisa karate—bahkan berpotensi jadi atlet nasional—tapi nilai matematika atau bahasa inggris-nya jeblok. Dst. Akibatnya, murid-murid kemudian terpaksa mengisi kertas jawaban ujian dengan segala cara, termasuk mencontek. Bahkan, guru sendiri tak sreg dengan sistem ini, sebab keberhasilan guru juga diukur dari seberapa besar tingkat kelulusan di sekolahnya. Maka, untuk untuk kasus Gadel misalnya, malah guru yang melegalisasi contek-mencontek ini. Bahkan dari bisik-bisik guru (sehingga jadi rahasia umum) selalu saja ada, sebagai pemenangan pilkada, “Tim Sukes” yang diberi mandat menyukseskan kelulusan di sekolah mereka dengan berbagai cara.

Seniman Mencontek

Kembali ke awal. Soal seniman. Jadi, mencontek adalah realitas sosial yang memang nyata di tengah masyarakat kita. Baik dilakukan sendiri-sendiri maupun bersama-sama. (Lah, wong anggota DPR itu sering mencontek juga lo; mencontek program dari luar negeri dengan dalih studi banding, bahkan boleh dibilan mereka pencontek yang payah, karena mencontek saja pun mereka tak bisa, wong pulang tak bawa apa-apa). Dan kasus Gadel bukanlah satu-satunya dan bukan pula yang pertama. Jauh sebelum itu, bahkan sejak jaman Adam Malik barangkali, kasus mencontek dipastikan sudah ada. Tuanya mungkin sama dengan sejarah umat manusia, hahaha…, paling tidak, maksud saya, setua pendidikan dengan ukuran keberhasilan ujian ada di muka bumi.

Sekelompok seniman (saya sengaja menyebutnya begitu) menangkap fenomena ini dengan baik. Sebagai seniman, mereka pun mengangkatnya dalam lagu yang mereka gubah (baca: plesetkan sebenarnya). Mereka adalah Padhyangan. Atau kadang dikenal sebagai P Project atau Project P dengan P akronim dari Padhyangan (selanjutnya: P Project).

P Project yang merupakan proyek mahasiswa dari Universitas Padjajaran dan Universitas Katolik Parahyangan (jadi nama mereka sendiri—Padhyangan—diambil dari Padjadjaran dan Parahyangan) menyanyikan lagu Mencontek pada tahun … dalam album mereka …. Kita tahu, kelompok ini selalu menyanyikan lagu plesedan yang penuh komedi. Lagu mencontek sendiri “mencontek” lagunya …. yang berjudul “…”. Lagu ini pernah hits pada tahun ….

(petunjuk pengisian soal: isilah titik-titik (…) di atas dengan jawaban benar. Boleh menggunakan fasilitas apa saja. Open book. Open internet. Tips: carilah di google.com. Dalam pengerjaannya boleh dilakukan secara kerjasama. Gotong royong. Kan itu ide utama Pancasila, to? Dan boleh juga mencontek! Waktunya 10 menit mulai dari sekarang) hihihi…, padahal karena saya tak tahu, makanya dilempar ke forum, hahaha…

Dalam lagu itu, P Project menyatir budaya mencontek yang terjadi di sekolah-sekolah yang biasanya menghalalkan berbagai macam cara. Mulai dari mencuri pandang ke jawaban teman yang pintar, membuka buku, membuka HP dan menggunakan fasilitas phone a friend, sampai membuat kopekan. Bentuk kopekan pun biasanya lucu-lucu. Ada yang ditulis kecil-kecil di kertas kecil (oalah, kertanya kecil ya harus ditulis kecil-kecil, kalau ditulis besar ya muat satu huruf) tapi panjangnya bisa ½ meter. Ada pula yang menulisnya di pada pakaian; di balik saku, di lipatan celana, di lengah, dlsb, ada juga yang menuliskannya di tubuh: tangan, kaki, paha, dlsb.

Tapi di akhir lagu, P Project mengingatkan, bahwa mencontek bukanlah cara menjadi sukses. Bohong kalau mencontek bikin kita “lulus” sejati. Alih-alih jadi apa-apa yang dicita-citakan malah jadi penipu. Pun kalau menjadi orang semisal politikus, maka dia adalah politikus yang menipu: semisal anggota DPR penipu. Yang waktu kampanye bilang akan turunkan harga cabe, tapi waktu naik malah ia—jangan menurunkan harga cabe—turun ke daerah tempat ia kampanye dulu saja tidak. Janji tinggal janji. Begitu juga kalau jadi hakim, polisi, jaksa, wartawan, atau apa saja—bisa dipastikan mereka itu penipu. Pun kalau dia presiden, kalau pas sekolah dulu mencontek saja kerjanya, maka dia juga presiden penipu: tukang bohong. (kalau saja ia pinokio maka sudah dipastikan kita melihat hidungnya yang semakin memanjang).

Mari Mencontek

Oke, untuk bernostalgia kembali, dengan lagu itu, marilah kita menyanyikan lagu mencontek secara bersama-sama. Berjamaah. Yang kompak ya. Yang khidmat sebagai menyanyikan lagu hymne. Yakh, hitung-hitung mengurangi ketengangan akibat apa yang terjadi di Gadel. Tiga, dua, satu: Mencontek di mulai!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun