Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Si Buta dari Goa Hantu; Cinta, Dendam, dan Petualangan

13 Juni 2011   13:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 5314 4
[caption id="attachment_116357" align="aligncenter" width="640" caption="Karakter Si Buta dari Goa Hantu karya Ganes TH (sumber:komikhitam.com)"][/caption]

Oleh JEMIE SIMATUPANG

CINTA ITU, KATA SEBAGIAN ORANG, BUTA. Dan tak kenal logika, dendang Vina Panduwinata.

Tentu saja itu metafora, artinya cinta tak memandang apa-apa kala ia telah bersemayam di hati sepasang anak manusia; seorang kaya bisa jatuh cinta pada seorang miskin papa, seorang intelek bisa jatuh cinta pada seorang kelas “Istri Bajuri” dst. Karenaya tak ada ilmu pengetahuan yang menjelaskannya secara gamblang—tak bisa didekati dengan kacamata positivistik.

Itu yang umum kita rasa, tapi bagi Barda Mandrawata, cinta itu buta, tak sekedar metafora. Ia buta sebuta-butanya. Demi membalas dendam atas kematian(?) Marni, kekasihnya—bahkan pernikahannya hanya menunggu hari—, ia dengan sengaja membutakan matanya dengan sabetan golok miliknya. Mulai dari itu, ia melatih indranya yang lain.

“Mempergunakan telinga adalah lebih sempurna daripada mata,” kata Barda setelah membutakan matanya.

Cinta dan Dendam

Alkisah, sebelumnya seorang pengembara buta berjuluk Si Mata Malaikat, tak tahu datangnya dari mana, melintas di kampung tempat tinggal Barda yang aman tentram dan membuat kekacauan di sana. Ia tak segan membuat onar dan mencabut nyawa sesiapa yang melawan kepadanya. Ilmu goloknya sangat tinggi—dan tanpa tanding. Tak ayal, calon mertua Barda turut menjadi korban. Juga Marni, kekasih Barda itu.

Tak sampai di situ, akhirnya orang tua Barda dan juga murid-muridnya yang tergabung dalam sebuah perguruan silat menjadi korban berikutnya. Tumpas. Mereka tak berdaya melawan kesaktian Si Mata Malaikat.

Sebelum meninggal, Ayah Barda sempat berwasiat kepadanya: “Barda anakku, ayah telah melihatnya, ilmu golok mata malaikat itu adalah ilmu membedakan suara, hanya orang butalah yang dapat menguasai ilmu itu, sebelum engkau dapat memecahkan rahasia ilmu tersebut, janganlah kau berusaha melawannya.”

Akhirnya, Barda mengasingkan diri. Belajar ilmu kanuragan seorang diri, dan pada titik tertentu, ia ingat nasehat ayahnya, dan terjadilah adegan dimana Barda melukai kedua biji matanya. Setelah itu, ilmu kanuragannya meningkat pesan. Ia lebih peka daripada bermata. Tanpa kenal waktu, Barda berlatih dan terus berlatih.

Setelah merasa dirinya kuat, Barda keluar persembunyian dan mencariSi Mata Malaikat. Ia pun bertemu. Terjadi perkalahian, seperti layaknya (seperti cerita kebanyakan komik) Barda pun menang. Dendam terbalaskan sudah. Tapi belum berlama merayakan kemenangan, mendadak ia diserang seseorang yang tak dikenalnya, sampai ia terjatuh ke jurang dalam dan terdampar di sebuah gua. Kemalangannya belum berakhir. Di goa itu, Barda bersua dengan ular raksasa. Dengan segala upaya, Barda berhasil mengalahkan ular itu—yang akhirnya dagingnya dikomsumsi Barda selama terperangkap dalam goa, dan kulitnya digunakan sebagai pakaian. Dan di tempat itu juga ia tanpa sengaja memegang seseorang dalam posisi bertapa, tapi anehnya ketika disentuh, ia telah jatuh, orang itu telah lama mati—bahkan pakaiannya telah lapuk.

Ketika meraba lagi, Barda menemukan gambar-gambar di dinding gua. Itu gerakan silat. Kini ia tahu bahwa orang yang telah mati itu membuatnya. Ia pun mempelajari jurus-jurus yang ada di dinding gua. Setelah menguasai seluruhnya, ia pun keluar dari goa tersebut. Sejak itu Barda dikenal sebagai Si Buta dari Goa Hantu; lengkap dengan pakaian kulit ular, bertongkat, dan seekor monyet—yang diselamatkannya ketika akan dimangsa harimau—bertengger di bahunya.

Sekeluar dari sana, ia berjumpa Marni Dewiyanti, calon isterinya dulu. Alangkah bahagianya dia, mengetahui, kekasihnya itu masih hidup. Tapi kebahagian itu segera berubah, karena Marni telah menikah dengan seseorang yang menolongnya, waktu sekarat menjadi korban Mata Malaikat. Ia kembali berduka--namun setidaknya ia masih bisa melihat mantan kekasihnya itu.

Selagi mereka--Barda dan Marni--berbincang, datanglah seseorang menyerang Barda. Ia adalah suami Marni. Dan sekarang Barda pun ingat kalau ia juga yang telah memukulnya hingga jatuh ke jurang dan terdampar di Goa Hantu. Orang itu ternyata Sapu Jagat. Ia, Sapu Jagat, cemburu, takut Marni kembali kepada Barda--itu juga alasan mengapa ia menyerang Barda tempo hari. Barda tak ingin berkelahi dengannya. Tapi Sapu Jagat memaksa. Terjadilah perkelahian yang maha dahsyat.  Tentu saja, karena ilmunya semakin tinggi, Barda gampang mengalahkannya. Namun Barda tidak membunuh Sapu Jagat. Ia memaafkannya. Dan ia ikhlaskan Marni menjadi isteri Si Sapu Jagat.

Sejak itu Si Buta Gua Hantu menjadi pengelana. Ia tak lagi punya siapa-siapa. Kehilangan orang tua, juga kehilangan cinta. Ia memutuskan untuk mengembara, berkeliling nusantara, mengabdikan dirinya untuk membela kebenaran dan menumpas segala macam kebatilan.

Sang Penulis

Kisah di atas adalah penggalan Si Buta dari Goa Hantu, komik karangan Ganes Thiar Santoso (1935-1995) yang populer sebagai Ganes TH. Ia salah seorang komikus terkemuka yang pernah dimiliki negeri ini selain Jan Mintaraga, Teguh Santosa, dan Hans Jaladra.

Ketika pertama kali terbit, 1967, komik itu langsung meledak. Laris manis di pasaran. Nama Ganes TH pun identik dengan Si Buta dari Goa Hantu—tak bisa dipisahkan, mengucap Si Buta dari Goa Hantu adalah mengucap Ganes TH; seakan harus diucapkan senafas.

Komik ini pernah di filmkan (diperankan oleh Ratno Timur) tahun 1970juga pernah diadaptasi menjadi sinetron silat pada tahun 1990-an. Tak kalah dengan komiknya, film dan serial sinetron itu pun laris di pasaran. Hampir bisa dipastikan waktu itu, tak ada anak dan remaja Indonesia yang tak tahu kisah petualangan SI Buta dari Goa Hantu.

Si Buta Goa Hantu terdiri dari beberapa serial. Judul-judulnya antara lain: Misteri di Borobudur“, “Kabut Tinombala”, “Iblis Pulau Rakata”, “Banjir Darah di Pantai Sanur”, “Bangkitnya Si Mata Malaikat” , “Pamungkas Asmara”,“Manusia Serigala dari Gunung Tambora”, “Prahara di Donggala”, dll.

Menunjukkan kecintaannya pada Indonesia, Ganes TH dengan sengaja mengambil setting tempat yang berbeda-beda (yang juga menandakan petualangan SI Buta) di nusantara. Satu kali misalnya di Jawa Barat, lain kali Si Buta berpindah ke Flores, Kalimantan, Bali, dlsb. Tentu saja perpindahan tersebut dijalin dengan alasan-alasan yang masuk akal, tidak serba kebetulan belaka.

***

Yah, sekarang jaman komik Indonesia mungkin sudah lewat. Terlebih lagi tak ada generasi pengganti setelah angkatan Genes TH dkk. Sekarang orang (khususnya anak-anak) lebih banyak membaca komik dari luar; terutama dari Jepang.

Pun begitu, Si Buta dari Goa Hantu tentu tak bisa dilupakan. Ia pernah “hidup” dalam banyak imajinasi anak negeri ini. Dan sedikit banyak—bagi yang membacanya—telah mempengaruhi menjadi apa dia sekarang.

Banyak pesan moral dalam komik ini. Si Buta misalnya mengajarkan;walaupun ia buta namun hatinya sebenarnya tidak. Bahkan ia terbebas dari tipu muslihat mata yang sering membuat anak manusia terjerumus ke jurang kejahatan: korupsi karena melihat uang, maksiat karena tak tahan melihat perempuan(laki-laki), dan lain sebagainya.

Bagi Barda, sebagai dinarasikan Ganes TH,kebatilan dan kejahatan mungkin dapat menang, tapi tidak dapat menguasai.Akh, semoga saja dia benar, karena dunia politik di negeri ini, dikuasai oleh segala macam kebatilan—juga kejahatan!—silih berganti. [*]

JEMIE SIMATUPANG kompasianer.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun