Kalau keadaannya terus begini, maka dapat dipastikan jutaan anak menjadi lost generation di dunia—dan sebagian besar ada di negeri ini!
Oleh JEMIE SIMATUPANG SEJATINYA ANAK dilarang masuk ke dunia kerja. Tapi karena satu dan lain hal, jamaknya karena alasan klasik: kemiskinan, seorang anak terpaksa bekerja, bahkan di tempat yang berbahaya bagi fisik, mental, maupun moral mereka. Organisasi Buruh Internasional (ILO) mencatat, saat ini, paling tidak, ada 125 juta anak yang terpaksa bekerja dan lebih dari setengahnya, 115 juta anak, bekerja pada sektor berbahaya. Sementara di Indonesia, menurut data BPS ada 1.7 juta anak-anak yang masuk ke dunia kerja (tempointeraktif.com). Data tersebut dirilis saat dunia memperingati hari dunia menentang pekerja anak, 12 Juni kemarin. Kemiskinan Ketika pembangunan alih-alih mensejahterakan rakyat, malah membuat jumlah kemiskinan semakin meningkat, maka semakin banyak keluarga yang tak mampu membiayai kebutuhan keluarga—termasuk anak-anak mereka. Akibatnya, anak-anak tersebut, tidak lagi meneruskan pendidikannya dan malahan terpaksa bekerja demi menyokong perekonomian keluarga atau pun untuk kebutuhannya sendiri. Mulailah anak mengenal dunia kerja—baik formal maupun informal. Berkerja di pabrik, penambangan pasir, penambangan koral, perkebunan, di tempat hiburan, pengamen, dlsb. Di Sumatera Utara misalnya, pada tahun 1990-an sebelum intervensi LSM, ILO, dan pemerintah, terdapat ratusan anak yang bekerja di Jermal (alat penangkapan hasil ikan yang terdapat di pesisir timur sumatera utara). Tentu ini bukanlah faktor tunggal. Penyebab-penyebab lain misalnya adanya budaya merantau bagi beberapa sub-entnis juga mendorong anak masuk dunia kerja lebih cepat, sebelum mencapai usia 18 tahun. Juga karena banyaknya tempat-tempat bekerja yang mencari anak-anak sebagai pekerja (tempat hiburan, PRT, Jermal, peternakan ayam, dlsb) dengan alasan lebih mudah diatur dan dapat dibayar dengan upah yang lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Regulasi Secara internasional, ILO telah mengeluarkan Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan bekerja (selanjutnya: KILO 138) dan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (selanjutnya: KILO 182). Dalam KILO 138 dikatakan bahwa setiap negara harus menetapkan batasan minumum bagi anak dapat bekerja, dan usia tersebut tidak boleh kurang dari 15 tahun. Dalam konvensi ini juga dikatakan bahwa, usia minimum untuk diperbolehkan masuk kerja yang dapat membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral orang muda, tidak boleh kurang dari 18 tahun. Konvensi ini juga memberi kelonggaran bagi undang-Undang atau peraturan nasional dapat mengizinkan dipekerjakannya atau bekerjanya orang-orang berusia 13 sampai 15 tahun dalam pekerjan-pekerjaan yang; (a) kiranya tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka; (b) tidak menjadi halangan bagi mereka untuk dapat terus mengikuti pelajaran sekolah. Sedang dalam KILO 182 dijelaskan "bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak” yang dapat menggangu perkembangan fisik, psikis, maupun moral adalah adalah: (a) segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anakanak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anakanak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata; (b) pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pomografi, atau pertunjukanpertunjukan porno; (c) pemanfaatan,penyediaan atau penawararan anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian Internasional yang relevan; (d) pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak. Indonesia sendiri telah meratifikasi kedua konvensi ILO tersebut. Dan Indonesia sendiri juga telah mengatur tentang pekerja anak dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang pada prinsipnya melarang pengusaha mempekerjakan anak. Namun, hal itu dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial dengan syarat: (a). izin tertulis dari orang tua atau wali;(b) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; (c) waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; (d) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; (e) keselamatan dan kesehatan kerja; (f) adanya hubungan kerja yang jelas; dan (g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Undang-undang tersebut juga memberikan sanksi kepada pengusaha yang mempekerjakan anak; pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). *** Persoalan pekerja anak menjadi momok yang tak kunjung selesai; di dunia, juga di Indonesia. Pemerintah sendiri telah melakukan berbagai program (termasuk rencana aksi) sebagai turunan dari regulasi yang ada untuk menghapus keberadaan pekerja anak. Namun, usaha tersebut belumlah maksimal. Mengingat masih banyak anak yang bekerja—bahkan di sekitar kita. Tentu perlu keseriusan yang lebih lagi. Juga program yang terus-menerus. Belajar dari kasus jermal misalnya, pemerintah sangat pro-aktif melakukan program-program penghapusan ketika dipantau langsung oleh organisasi-organisasi internasional seperti ILO. Namun ketika program tersebut dianggap sukses, dan perhatian publik (juga organisasi dunia) memudar, tak ada lagi program-program untuk memonitoring atau mecegah keberadaan anak di jermal—ataupun sektor pekerjaan yang berbahaya lainnya. Kalau keadaannya terus begini, maka dapat dipastikan jutaan anak menjadi lost generation di dunia—dan sebagian besar ada di negeri ini! [*] JEMIE SIMATUPANG kompasianer.