Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

Jurnalisme Warga, Kode Etik, dan Hati Nurani

18 Januari 2011   09:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:26 447 4

Oleh JEMIE SIMATUPANG KETIKA JURNALISME DIBUNGKAM, sastra bicara. Begitu tulis Seno Gumira Ajidarma (SGA), melihat pembungkaman jurnalisme pada saat Orde Baru berkuasa. Sampai-sampai SGA, wartawan sekaligus sastrawan itu, harus menyebarkan fakta yang didapatnya melalui kegiatan jurnalisme melalui fiksi—sastra. Tapi kini, kalau pun jurnalisme bungkam ataupun dibungkam (dan bisa jadi memang tak jaman lagi—lihat saja misalnya kasus wikileak, bahkan rahasia negara yang paling rahasia sekalipun bisa dibongkar ke publik) jurnalisme warga bisa bicara. Terlebih di jaman informasi begini, tiap orang, tiap warga dunia bisa menjadi seorang layaknya jurnalis yang menyebarkan apa yang terjadi—news—kepada warga lain. Tinggal membuka internet (apalagi yang namanya internet sekarang tak terbatas pada komputer saja, bisa diakses melalui handphone), lalu menuliskannya apa yang Anda ketahui (lihat, dengar, rasakan) diblog, dijejering sosial, ataupun wahana lain yang bisa diakses secara massal. Maka dengan dalam waktu hitungan detik saja, informasi itu telah menyebar ke seluruh penjuru bumi, dan bisa dibaca siapa-siapa yang butuh akan informasi itu. Sekarang informasi yang kita dapat jadi tidak terbatas dari media konvensional yang diolah jurnalis konvensional saja, lebih beragam dengan hadirnya berita-berita dari jurnalis warga. Di kompasiana misalnya, kita bisa tahu bagaimana keadaan TKI di hongkong dari seorang kompasianer yang kebetulan berada di sana, apa yang terjadi di Saudi Arabia, di Jakarta, di Malaysia, dan lain tempat. Itu baru sekedar asal berita, belum lagi beragam jenis beritanya: politik, hukum, sosial-budaya, lingkungan, dll. Ada semua. Kita bisa saling berbagi informasi—secara massal—yang 20 tahun yang lalu masih lagi sekedar mimpi. “Oke. tapi apa kekuratan beritanya bisa dipercaya?” tanya Anda. Ya, memang jadi masalah. Dan masalah ini bukan saja persoalan di jurnalisme warga, di jurnalisme profesional (konvensional) pun masalah ini jadi momok. Padahal mereka, jurnalis itu, telah dibekali dengan berbagai pengetahuan dan ketrampilan bagaimana mencari, mengolah, dan menyajikan berita kepada publik. Apalagi hanya seorang jurnalis warga, yang sehari-hari bisa jadi hanya seorang bapak rumah tangga seperti saya yang tak ada hubungannya dengan kegiatan kejurnalisan. Pun, begitu tak bisa juga—bagi sesiapa yang mengamini diri sebagai jurnalis warga—ngeles, “Akh, saya kan cuma jurnalis warga. Wajar dong apa yang saya posting tak benar secara kaidah jurnalisme?” Tak juga. Lagi-lagi di jaman yang serba informasi begini, orang juga dituntut untuk belajar, termasuk kalau kita mau menjadi jurnalis warga, kan tinggal internet—yang memang kita gunakan setiap hari—mencari bagaimana harusnya menjadi jurnalis warga—yang baik. Beberapa literatur yang ditemukan berkat panduan google, untuk menjadi seorang jurnalis yang baik, maka harus ada kode-etik yang wajib dipatuhi. Jurnalis yang melanggar kode etik, tak bisa dibilang sebagai jurnalis—mungkin sebutan lain: tukang fitnah, penggosip, atau apa? Dan begitu juga jurnalisme warga. Walaupun belum ada aturan baku apa yang disebut sebagai kode etik jurnalisme warga tapi paling tidak kita bisa mengacu pada apa yang dipakai oleh jurnalisme konvensional. Dewan Pers sendiri, pernah mengadakan seminar mengenai kode etik jurnalisme warga, dan mengeluarkan beberapa poin panduan yang diturunkan dari kode etik jurnalis dan tampaknya bisa dipakai ketika melakukan aktifitas sebagai jurnalisme warga. (1) Dilarang melakukan plagiat (2) Cek dan ricek fakta (3) Jangan gunakan sumber anonim (4) Perhatikan dan peduli kaidah hukum (5) Utarakan rahasia secara selektif (6) Hati-hati dengan pendapat nara sumber (7) Pelajari batas daya ingat (8) Hindari konflik kepentingan (9) Jangan melakukan pelecehan (10) Pertimbangkan setiap pendapat. Kalau saja berpatokan pada kaidah-kaidah ini bisa jadi apa yang kita sebarkan—sebagai jurnalis warga—bisa dipertanggungjawabkan isinya. Terakhir, yang harus mendapat pertimbangan utama dari seorang jurnalis warga adalah hati nurani. Gunakanlah hati nurani dalam mencari, mengolah, dan mempublikasikan berita kepada publik.  Apakah berita yang kita tulis adalah benar atau hanya kebohongan belaka—hoax. Apakah hanya untuk menjatuhkan seseorang secara pribadi semata—dan bukan demi kebenaran. Apakah berita kita bikin menambah aman suatu keadaan atau malah kisruh karena menyinggung kelompok-kelompok tertentu—dalam konflik misalnya. Atau apakah berita yang kita tampilkan bermanfaat bagi kemanusiaan. Terlepas apakah berita yang kita tulis telah mematahu kode etik, dan telah disajikan dengan menarik, tapi kalau kemudian hati nurani kita berkata ini tak baik, lebih besar mudharat dan manfaatnya, saya sendiri cenderung bilang tak usah disebarkan. Dengan mematuhi pedoman etika (semisal yang digagas oleh Dewan Pers ataupun  yang tertulis di kompasiana) dan menggunakan hati nurani pastilah jurnalisme warga lebih bermanfaat bagi kemanusiaan. Mari berjunalisme warga! [] JEMIE SIMATUPANG kompasianer asal Medan.
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun