Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi Artikel Utama

Susahnya Berdemokrasi, Eh Berkompasiana

7 Januari 2011   04:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:52 405 5
/1/ BANYAK —PALING TIDAK lebih dari 10 orang—yang mengeluh, sekarang kompasiana, blog sosial sejuta(?) ummat itu, tidak sehat lagi. Sakit. Sedang pilek. Tanda-tandanya, salah satu-dua, banyak postingan yang anti SARA [bukan sekedar berbau SARA lho, karena bagai mana pun Suku, Agama, Ras dan apa lagi itu, perlu dibicarakan, didialogkan] bergentayanangan. Orang-orang kemudian terprovokasi—pun memang tujuannya sepertinya memprovokasi. Kisruh! Setelah itu balik saling serang pendapat, tak puas sampai disitu menyerang pribadi orangnya. Ini makin diperparah lagi dengan proses perbaikan tekhnis yang belum juga kelar. Bahasa admin-nya: perbaikan maintenance. Konon agar media ini jadi lebih tangguh lagi, pun efeknya banyak yang mengaku kehilangan arsip—tulisan-tulisan lama seperti digondol tuyul entah kemana. Yang lain, ketika posting tulisan itu bagai masuk ke lobang hitam—the black hole—hilang begitu saja. Celakanya si Penulis langsung mengkonsep tulisan itu di dashboard—tak ada back up dalam bentuk lain. Akh, jadi harus percaya untuk membuat yang lebih baik harus berkorban. Tak gratis, tho!? Tapi kalau diibarat manusia: kompasiana itu sekarang sedang sakit badan dan—maaf—sakit juga jiwanya. Akibatnya, sas-sus atawa desas-desus yang berkembang, akibat campuran-campuran masalah ini, banyak juga penulis-penulis heibat[?]—bukan dalam rangka salah ketik lho huruf “i” itu memang heibat—di kompasiana jadi hengkang. Keluar.  Mogok nulis di kompasiana. Bisa jadi mereka milih nulis di blog pribadi, atau blog sosial lain, atau malah nulis di catatan harian saja—tokh, lebih aman. “Lama-lama kompasiana bisa bangkrut!” Kira-kira begitu simpul seorang kompasianer melihat fenomena ini. Kompasiana bangkrut. Tumpur. Tekor. Ditinggal satu per satu orang-orang yang aktif menulis di blog sosial yang konon katanya pernah menembus angka 100 website yang paling banyak dikunjungi di bumi versi alexa.com—situs perating situs terpercaya itu. /2/ Cok Kompas sendiri, sebagai salah seorang yang aktif-tak aktif menyebarkan gagasan di kompasiana, awalnya tak ambil pusing. Anteng saja. Ia asyik saja menyiapkan artikel-artikelnya, mempublish, dan mengomentari komentar yang masuk. Sesekali pergi juga ke lapak orang lain—mengomentari tulisan kawan-kawan yang ada sambil siul-siul kecil. Dinikmati sekali. Sampai kemudian Mat Tanduk, kawan sekerja, yang juga tak aktif-aktif (kebalikan Cok Kompas) ngeblog di kompasiana, mencerca dengan keluhan-keluhannya. “Cemana ni Lae” dia kadang sapa Cok Kompas dengan Lae, abang ipar dalam Batak, “Tiap hari ada saja kutengok yang sumpah-serapah, caci-maki, umpat-mengumpat di kompasiana!” “Caci maki cemana wak?” jawab Cok Kompas. Ia biasa menyapa Mat Tanduk dengan sebutan wak—walau tak ada hubungan per-uwak-an dengannya. “Akh, yang tak kau bacanya. Lihat ini Si Faulan memposting kalau Si Failin—kompasianer juga—kurang kerjaan, pengejar terpopuler tok, pencari sensasi, bikin judul yang seram-seram biar banyak yang datang ke lapak itu, padahal isi dan judul kurang sinkron, pun kalau sejalan, juga cuma untuk mengecoh saja. Macam-macamlah tuduh si Faulan itu!” kata Cok Kompas memperlihatkan postingan itu. Mat Tanduk lalu ndobos panjang lebar, soal komentar yang terjadi kemudian. Saling serang. Anggar komentar paling seram. Debat kusir. Lalu tak lama lagi timbul lagi postingan yang menyerang pribadi si Faulan, balasan dari si Failin. Isinya? Ya sama saja, bilang si Faulan juga kurang kerjaan. Sok heibat! Mentang-mentang tulisannya pernah headline. “Itu belum lagi soal serang-menyerang soal agama, keyakinan, pemahaman. Lebih dahsyat lagi itu! padahal jelas-jelas di sini, di kompasiana ini, tak boleh membikin tulisan provakatif yang anti SARA!” sambung Mat Tanduk. Cok Kompas tercenung. Sok berpikir. Tangannya tampak mengelus-elus jenggotnya yang sudah sebulan lupa dicukur itu. “Awak rasa lumrah itu Mat. Saya membayangkan kompasiana ini Indonesia, negeri kita tinggal ini, dalam bentuk yang kecil. Indonesia mini. Di sini dapat kita lihat, rakyat ini, kita ini, berdemokrasi. Tak jauh beda, tho!” Cok Kompas sok Jawa dengan “tho”-nya itu. Terang Cok Kompas, di kompasiana kedemokrasian kita sendiri diuji. Apakah kita bisa demokratis? Menghargai perbedaan? Menghargai pendapat orang lain? Kepercayaan orang lain? Menghormati aturan? Yah, bisa jadi memang rata-rata kita, paling tidak masih banyak di antara kita, yang memang susah “berbhineka tunggal ika”. Masih suka yang otoriter. Yang paham tunggal. Yang tak mengharamkan pandangan lain, selain paham kita, gaya kita, pemikiran kita, bahkan cara-cara kita menulis. “Terus menurutmu, solusinya apa? Apa terus dibiarkan?” “Yah mestinya tidak. Kalau kita percaya demokrasi, dan mengibaratkan di kompasiana ini kita berdemokrasi, ya mestinya ada hukum, ada aturan—sebisa mungkin memang hasil konsensus kompasianer sendiri—dan tak terbatas itu ya mestinya aturan itu ditegakkan. Tak cuma dipajang saja! Kan lagi-lagi itu sama saja dengan yang terjadi di negeri kita ini, hukum begitu banyak, tapi ya tak pernah diberlakukan sungguh-sungguh,” “Apa perlu aturan, kan kata Bung Admin dalam postingannya bilang kalau kita semua bersaudara. Gens Una Sumus! Dan tak lain dari kita yang mengamini. Masak sih sesama saudara pakai hukum-menghukum segala?” “Itulah dilemanya wak. Satu sisi kita ini bersaudara, tapi sisi lain kan kita ini, sebagai kata Hobbes filosof itu, kita ini kan kayak serigala aja bagi manusia lain. Homo homini lupus. Kalau tak ada aturan yang mengatur, ya orang bisa sembarangan melibas hak-hak orang lain, tak pernah menghormati!” Mat Tanduk tampak berpikir. Melumat-lumat apa yang dibilang Cok Kompas. “Akh, ada benarnya juga kau Cok, tak percuma ngeblog di kompasiana,” ujar Mat Tanduk memuji. “Ehemm,” Cok Kompas berdehem buatan, tanda senang, “Tapi Mat, begitupun semua ini proses. Kan demokrasi itu juga proses? Tak bisa sekali jadi? Mana tho negeri yang bisa dibilang sangat sehat demokrasinya tanpa cela? Amerika sekali pun, embahnya demokrasi itu, tak juga. Lah, lihat sendiri kawat-kawat yang dibongkar wikileaks itu, betapa tak demokratisnya mereka kepada negara-negara lain,” “Dan maksudmu begitu juga kompasiana?” Mat Tanduk menyimpulkan. “Tak pelak!” “Tapi sas-sus yang saya dengar ada juga pihak-pihak yang sengaja membuat kekisruhan terjadi di sini. Yang tak senang kompasiana besar. Jadi referensi. Mungkin semacam persaiangan atau apalah …” “Nah…nah…nah…., kan sama saja dengan cara demokrasi kita, kalau ada yang tak beres langsung cari kambing hitam!” Mat Tanduk tertawa, ucapannya dipatahkan. /3/ TIGA JAM BERLALU. Di kompasiana muncul tulisan tentang seorang ulama[?] yang bercerai dengan isterinya dari seorang penulis kenamaan. Tulisan itu langsung diserbu banyak orang. Heboh! Berbagai macam komentar muncul, dari yang salute sampai yang menuduh itu cuma berita gosip, tak berdasar, menyerang pribadi ulama yang  terkenal santun itu. Yang lebih parah, pribadi penulis juga diserang, tak lagi terbatas pada apa yang ditulisnya. Mat Tanduk dan Cok Kompas Cuma tercenung. Manggut-manggut. Geleng-geleng. Kalau ada yang memperhatikan pasti aneh melihat aksi mereka ini. Mat Tanduk yang emosinya sering labil daripada stabil itu terpancing juga. “Kurang ajar, saya rasa in…” “Proses Mat. Ingat p r o s e s . . . !” Cok Kompas memotong. Hening kemudian. Masing-masing hanyut dalam pikiran masing-masing. [*]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun