Jejak perdebatan dimedia sosial masih tertinggal dan menjadi bukti, bahwa warga Barito Utara aktif dalam menganalisa siapa calon pemimpin pilihannya.
Diantara dua pasangan calon yang berkontestasi, mereka sama-sama mengangkat program unggulannya masing-masing yang dianggap oke punya.
Pastinya seluruh program yang mereka tawarkan tidak bisa tidak pasti berasal dari yang namanya "pikiran".
Standart apa yang menjadi ukuran sebuah program dapat disebut sebagai program kampanye rasional, tidak ada yang tahu.
Para panelis dalam debat pun tidak memiliki otoritas untuk mengukur takaran dan mengetok palu seorang calon telah mumpuni menelorkan sebuah program atau tidak.
Namun dari debat pertama kemaren ada satu "anugerah" sebenarnya untuk masyarakat Barito Utara, yaitu "Ilham" yang datang dari ruang pikiran sang calon, saat ia berkata :
"Banjir adalah masalah biasa, sudah menjadi budaya kita"
Ini adalah kata kuncinya. Ini kata "emas" yang harus kita bungkus lalu simpan baik-baik.
Disiarkan lewat TV Nasional dan mungkin ditonton jutaan pasang mata manusia, ia mengatakan hal tersebut tanpa beban apa-apa.
Dia mengatakan itu disaat dirinya mengaku akan mengratiskan pendidikan hingga bangku kuliah agar masyarakat Barito Utara menjadi masyarakat yang cerdas secara intelektual.
Sekarang bisa saja anda langsung searching di internet mencari di google apa itu budaya. Mesin pencarian google akan menuntun anda ke sumber-sumber para ahli yang membicarakan "budaya". Tentu tidak akan anda dapatkan contoh budaya adalah banjir.
Kita harus sama-sama bertanggung jawab mengenai ini, tanggung jawab secara ilmu pengetahuan kepada anak-anak dan putra putri Barito Utara.
Mengratiskan hingga ke bangku kuliah semuanya berasal dari pikiran "budaya" ini. Masih untung "pikiran" ini tidak menerbitkan program unggulan mengratiskan bayar PLN atau mengratiskan bayar PDAM asal terlihat enak.
Dengan jalan pikiran "budaya" ini juga ingin memberikan beberapa unit alat berat kepada seluruh desa supaya mereka bisa membuat jalan sendiri tanpa memperhitungkan resiko kerusakan lingkungan apabila alat tersebut diserahkan, atau bagaimana anggaran perawatan rutinnya? Yang penting rakyat senang menurut "budaya".
Beberapa buah jalan Desa belum tembus. Dipemikiran sang "budaya" adalah, karena tidak adanya alat berat di desanya. Simple sekali.
Singkat dan ringkas saja pikiran sang "budaya", stop, cukup sampai disitu.
Tanpa membandingkan jalan desa lainnya yang tembus meskipun tanpa diserahkan alat berat kepada desanya. Banyak contohnya.
Ya, jalan-jalan di pedalaman yang dibangun mulus tanpa memberikan mereka alat berat banyak. Jalan kita saat ini pun, yang dibangun sejak jaman tua bangka, tembus antar Kabupaten atau Provinsi tanpa memberikan kepada desa-desa alat berat.
Jalan belum tembus dapat terkendala anggaran yang terpakai untuk program lain yang sangat urgensi seperti Covid 19 atau ada hal lainnya yang harus segera dikucurkan dana anggaran, atau faktor pembebasan lahan.
Tapi apa boleh buat, karena semuanya berasal dari yang namanya "budaya". Mau apa lagi?