Mohon tunggu...
KOMENTAR
Money

Apapun Jalanmu, Melangkahlah! (Pro & Kontra MLM)

29 Desember 2011   18:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:36 839 0
(Mohon maaf sebelumnya jika tema dari tulisan ini dikategorikan out of date atau terkesan kontroversial.)

Tulisan ini lahir secara tidak sengaja setelah menyimak "perbincangan" antara pebisnis MLM dan para komentator di grup Kompasiana Facebook. Selanjutnya, iseng saya cek di seacrh engine Google. Berharap mendapat sesuatu yang lebih luas tentang sistem bisnis ini. Dan, saya pun menemukan situs Organisasi.org menjadi "ladang perang" antara kubu Pro MLM dan kelompok anti MLM. Saling olok, saling ejek. Saling hujat. Persis seperti perdebatan mengenai akidah dan kepercayaan. Saya lantas tertawa: kenapa harus begitu?

Orang, sebut saja mahasiswa, ketika akan berlibur dari Malang ke Yogyakarta, ada banyak cara yang bisa dilakukannya. Pertama, menuju Yogya dengan kendaraan seadanya (mis. motor, mobil, bis, atau kereta api) lewat jalur selatan (entah dengan rute mana). Kedua, dengan cara serupa namun melalui jalur utara (pantura). Lebih ekstrim lagi ada yang memilih dengan berjalan kaki dengan alasan menekan tingkat polusi plus menghayati perjalanan (mirip bapak yang anaknya meninggal tertabrak oknum polisi dan long march ke Jakarta). Pertanyaannya, apa salah? TIDAK!

Itulah pilihan. Ketika kita memilih melakukan sesuatu, dengan cara tertentu, demi mencapai sesuatu, itulah identitas kita. Seberat apapun beban yang timbul itulah kita. Adalah hak setiap orang untuk menentukan arah hidupnya dan pencapaian-pencapaian yang akan diraihnya. Dengan cara apa impian itu ia raih, itu hak mereka! Kenapa kita merasa berhak menentukannya dengan men-judge pilihan mereka? Menyatakan benar dan salah dari sudut mata kita?

Satu titik pandang akan rentan ketika ditabrak dengan suatu titik pandang yang lain. Teori akan menjadi layu ketika suatu teori baru lahir ke permukaan. Simak saja Teori Evolusi Bung Darwin yang saat ini nyaris kehilangan pendukung setelah dibombardir oleh teori-teori Penciptaan Ilahi karya ilmuwan sekelas Harun Yahya dan beberapa pakar lainnya. Demikian pula sudut pandang manusia. Subyektiftas dengan alas bernama ego menjadi sebuah kombinasi yang mendorong seseorang pada labelisasi tindakan-tindakan "menyimpang" di sekitarnya. Contoh, seorang pedagang ember berjalan keliling dari kampung ke kampung sambil meneriakkan barang dagangannya. Di sudut lain, mungkin ada pula pedagang ember yang berada di dalam kios di suatu pasar meledek si penjaja ember keliling. Dianggap buang-buang tenaga lah, sia-sia dan sebagainya, sementara pembeli belum tentu ada. Persoalannya, kita tidak pernah tahu penghasilan siapa yang lebih maksimal: si penjaja keliling atau si pemilik kios dalam pasar. Tidak ada suatu absolutisme yang menyatakan "pedagang ember yang keliling lebih banyak pendapatannya daripada pedagang ember di dalam kios pasar" atau pun sebaliknya. Karena itu rezeki. Segumpal misteri yang tak pernah kita mengerti.

Ada yang bilang banyak koneksi banyak rezeki. Ketika hal ini diterapkan sebagaimana tuntunan moral, it's true. Saya setuju. Ketika hal ini dikebiri dan dimanipulasi untuk tindakan tak bertanggung jawab dan menguntungkan diri sendiri, dikenallah istilah kolusi, nepotisme, yang terakar dalam budaya korupsi.

Maka, tidak perlu kita menghakimi orang lain dengan jalan yang mereka ambil. Menuduh MLM bisnis ilegal, atau menghakimi mereka yang tidak terjun dalam bisnis ini sebagai "sekumpulan manusia pandir yang tidak berani bermimpi." Sepanjang mereka berdiri di atas kaki sendiri, berjalan sebagaimana mesti, berpaduan kepada ajaran Tuhan dan tata aturan di masyarakat, kenapa kita harus memusuhi? Tak peduli pegawai negeri sipil, tak peduli seorang usahawan. Tak peduli penjual koran, atau seorang "pengangguran." Jalanilah hidup kalian dengan penuh kebaikan karena Tuhan tak pernah memandang kebahagiaan, tujuan hidup kita, dari mana kalian memperolehnya, kecuali dari iman dan ketaqwaan.

Lalu, apa gunanya kita saling menghujat antara pro dan kontra MLM? Kenapa pebisnis MLM memandang sinis mereka yang tak berkecimpung dengan bisnis ini? Dan sebaliknya, mengapa mereka yang berapa di luar ring merasa lebih tahu tentang apa yang terjadi di atas dan di dalam ring?

Kegagalan, apapun yang kita lakukan, pasti ada karena itulah cara Tuhan untuk menjadikan kita kuat. Jika kalian yang bergerak di dunia bisnis mengalaminya, untuk apa menyerah? Umur "masih" panjang. Waktu teramat berharga untuk berputus asa. Hemat saya, diam dan mengevaluasi jauh lebih cerdas daripada mengumbar kemarahan atas kegagalan kita sambil menuding-nuding dan mencari kambing hitam dari kejatuhan kita. Karena hanya pecundang yang bertingkah semacam itu.

Rezeki tidak mutlak turun hanya pada bisnis MLM. Dan begitu pun tidak ada jaminan bahwa MLM menjadi kedok dari aksi penipuan dan pembodohan sepanjang kita jeli memilah dan memilihnya. Pedagang makanan saja ada yang palsu, kenapa MLM tak boleh begitu? Di sisi yang halal pasti ada yang haram. Kita harus jeli dan teliti.

Terakhir, kepada para pebisnis. Apapun cara kalian, seberapa panjang kesuksesan kalian dapatkan. Seterjal apa hambatan: majulah! Harapan masih terbuka. Dan siapapun berhak atasnya!

NB: Saya bukan penggiat, pencinta, atau penggemar bisnis, apapun bentuknya. Tapi, saya tidak pernah menghalangi mereka yang akan berkecimpung di dalamnya asalkan: halal dan 2,5% untuk mereka yang berhak. Salam.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun