Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Bahasa Batak (2)

9 Juni 2015   10:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:09 117 0
Sudah beberapa tahun semenjak kuliah dulu aku amati dan pelajari bahasa ibu secara otodidak. Baik dari arahan kawan-kawan, maupun dari latihan sendiri. Tapi ada yang unik yang aku jumpai dalam bertutur bahasa daerah yang satu ini. Umumnya aku Cuma tau kalo sub suku batak terbagi 5, biarpun menurut penelitian ahli sejarah ada sampai puluhan beberapa katanya yang masuk seperti Gayo dan Alas, tapi ilmuku tak sampai ke situ.

Kelima sub suku diantaranya Batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Bahasa dari tiap sub-suku itu jelas tak sama meski ada beberapa kata yang mirip. Kalo Pakpak yang aku tau aksennya agak patah-patah, hampir mirip Karo yang lebih mendayu. Simalungun intonasi suaranya makin ngomong makin naik nadanya, sementara Mandailing ngomong persis seperti yang tertulis dengan alunan nada yang mendayu juga.

Kalo Toba? Inilah yang agak lain memang. Ngomongnya datar, suara keras dikira orang lagi marah padahal Cuma sekedar ngomong biasa aja. Toba punya masing-masing aksen tiap daerah. Kalo kita telusuri dari daerah Pakkat dekat Barus, maka aksennya masih mendayu dan lebih halus. Turun ke Onan Ganjang dan Dolok Sanggul, aksen mendayunya mulai pudar namun pengucapan “r” lebih seperti orang Perancis, agak nyeret bahasanya, biasanya disebut daerah Humbang, biasa menyebut kawan dengan istilah “kale”. Geser lagi ke Silalahi yang agak mirip Simalungun dengan istilah “neham” kalo tidak salah untuk sebutan kamu. Geser ke Sibolga bahasanya agak terkontaminasi dengan bahasa “baiko” padang pesisir, logatnya mungkin agak beda.

Geser ke daerah Tarutung sampe Siborong-borong, aksen “r” nyeret tadi mulai tak ada tapi uniknya pake istilah “baiya” kalo ngomong sama kawan, biasa disebut Taput. Geser lagi ke Porsea sampe Balige, bahasanya mulai “berani” dan menyebut kawan sebagai “kedan”, ada beberapa kosa kata yang kurang sopan kalo dibawa ke arah Humbang tadi. Geser ke Siantar sampe Medan...mulai jarang dijumpai aksen mendayu, “r” yang nyeret, “hamu” bahasa lebih sopan untuk kamu daripada “ho”. Intonasi suara mulai keras, mungkin agak mirip orang Jepang kalo lagi ngomong...mungkin.

Beda lokasi beda aksen. Pernah aku tanya kawan-kawan, kalo bahasa Toba yang masih halus itu ada di daerah Pakkat sampai perbatasan Humbang, Dolok Sanggul. Tapi kalo pergi ke daerah yang aku sebutkan tadi kalau ketemu orang seumuran laki-laki sebutlah “lae”, kalo perempuan sebutlah “ito” itu kalo kamu posisinya seorang pria. Untuk orang tua diatas usia sebaya panggilah dengan sebutan “tulang” kepada yang laki-laki, dan “nantulang”  kepada perempuan. Tapi kalo kamu perempuan dan bertemu dengan laki-laki seumuran sebutlah “ito”, dan sesama perempuan dengan “eda”. Untuk orang tua diatas usia sebaya panggillah dengan sebutan “tulang” kepada laki-laki dan “nantulang” kepada perempuan. Istilah itu untuk menghindari kesalahpahaman persepsi dari segi adat. Karena istilah “tulang” itu lebih umum untuk dihormati/disembah sebagai bagian dari 3 unsur pokok dalam adat Toba, dengan begitu perjalanan kamu juga pasti lancar dan aman. Dan jangan lupa ucapkan kata “horas” sebagai arti kata salam bila ingin bertamu mungkin setelah mengucapkan salam agama seperti Assalammualaikum atau Shalom.

 

 

 

 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun