Konon, Jokowi mendapatkan jatah waktu 45 menit untuk menyampaikan pidato sebagai presiden pada Sidang Paripurna MPR dengan acara tunggal pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Namun, ia menggunakan waktu 2:30 menit untuk pembukaan, 6:33 menit isi pidato, dan 2:18 menit untuk penutup.
Relatif singkat, namun padat. Terkesan lekas, namun bernas. Dalam sorotan media massa dalam dan luar negeri, sebenarnya ini kesempatan terbaik bagi Jokowi untuk narsis dan mengemas pencitraan. Tapi tidak. Itu bukanlah tipikal Jokowi.
Anda akan semakin tercengang bila menyimak analisa yang dibuat harian Kompas Selasa, 21 Oktober 2014 (hlm 3) dengan tajuk "Bekerja... Bekerja... Bekerja!" Dalam durasi pidato 6:33 menit, Jokowi mengutarakan seruan "Bekerja Keras" sebanyak 8 kali dan "Bekerja, Bekerja, Bekerja" sebanyak 3 kali.
Sebuah jumlah yang luar biasa untuk durasi waktu sependek itu. Maka, seruan seorang politisi yang mencoba bijak dengan mengingatkan agar Jokowi jangan berlama-lama berpesta, sungguh tidak relevan. Di tengah "pesta" yang belum usai, beliau sudah bekerja. Catat saja misalnya, beliau menerima beberapa utusan negara sahabat dan melayani wawancara dengan sebuah stasiun TV.
Barangkali yang perlu dikhawatirkan adalah kesiapan para (calon) menteri untuk menunaikan 11 kali kata "Bekerja" tersebut. Siapa pun tokoh yang manja, atau menyisakan kemanjaan masa muda, diharapkan dengan sadar menolak untuk dicalonkan. Mengapa? Karena Jokowi menginginkan pemerintahan yang gesit, progresif, dan kerja pagi-siang-malam. Dan, rakyat serta relawan yang sudah melek informasi akan mengawasi Anda.