[caption id="attachment_247866" align="alignleft" width="181" caption="(
http://bahtiarhs.net/)"][/caption] Pandangan atas dunia ini dengan segala aspeknya tentu memiliki perbedaan antara satu orang dengan yang lain. Hal ini disebabkan kapasitas keilmuan yang berbeda-beda, juga bidang ilmu yang didalami. Pun perihal keagamaan, banyak tafsiran yang mengemuka. Ilmu-ilmu keagamaan pun harus diakui bukan hanya terbatas pada soal syariat-fiqihiyah, tetapi juga meliputi ilmu-ilmu lain: filsafat, tasawuf, dan ilmu-ilmu lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberagaman itu adalah keniscayaan. Pluralitas adalah hukum Tuhan. Mengenai keberagaman ini, suatu saat saya ditanyai oleh seorang teman mengenai opini pribadi menyoal konsep pluralisme di Indonesia? Apakah itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam? dan bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi kehidupan beragama.
Tradisi menulis Bagi saya, itu pertanyaan yang sulit dijawab. Lagipula saya juga bukan mahasiswa jurusan studi agama-agama. Tapi coba saya jawab.
'Kan yang diminta pendapat pribadi? Akhirnya, saya pun sajikan jawaban itu dalam bentuk tulisan. Sebelum saya berlanjut pada jawabanku, maka saya sampaikan alasan mengapa saya lebih suka dan nyaman sampaikan ide dengan menulis. Bagi saya, tradisi menulis memang harus dihidupkan kembali. Peradaban dunia, termasuk Islam, selalu dikenang lewat karya-karya tulisan yang berisi ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya. Menulis berarti menata struktur ide. Ide yang berada di pikiran itu masih kabur dan terkesan mengambang. Maka ketika tulisan menerjemahkannya, mau tak mau ide harus ditata kembali untuk bisa sistematis dan dirunut argumentasinya. Menulis juga merupakan sebuah keberanian menyampikan pendapat yang runtut. Karena, dengan menulis, seseorang telah berani mendialogkan secara terbuka dan akademis atas apa yang menjadi idenya. Semangat untuk mencari kebenaran tentu harus menjadi landasan. Dengan demikian, tradisi ilmiah yang masih kering sedikit-sedikit akan mengembun dan basah, yang kelak, saya berharap, trasdisi itu menjadi ciri khas pemuda-pemuda negeri ini.
Surga-neraka bukan milikku Kini masuk ke jawaban atas pertanyaan tadi. Bagi saya, konsep pluralisme dalam agama selama ini masih menjadi polemik. Kata yang genap berisi sepuluh huruf ini menimbulkan banyak kecaman dari satu pihak ke pihak lain. Kebanyakan datang dari kalangan yang menafsirkan pluralisme sebagai "penyamaan agama-agama". Kelompok yang mendukungnya tidak demikian menafsirkannya. Kelompok kedua ini menerima pluralisme sebagai paham keberagaman yang memang sebuah keniscayaan. Allah sendiri dalam Quran menjelaskan bahwa manusia memang diciptakan bersuku-suku kan? saya pribadi menyetujui yang kedua ini. Alasannya? Begini, pluralisme bukan semata-mata merujuk pada keberagaman agama saja, tetapi juga segala macam keberagaman: suku, golongan, ras, bahasa, hingga pemikiran. Perbedaan pada aspek-aspek tersebut adalah realitas yang telah termaktub dalam Quran. Lalu apa yang harus dilakukan? Simple saja, bersikap apresiatif dan inklusif, mau menghargai tetapi tetap santun dan rendah hati. Yang selanjutnya, pluralisme menyangkut agama. Ini pusat polemik hingga kini, terutama di kalangan agama mayoritas, Islam. Banyak pihak menafsirkannya sebagai pemahaman bahwa semua agama sama. Tetapi bagi saya bukan demikian. Pluralisme memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan "kebenaran" dalam agama dan keyakinan apaupun. Lalu mana yang paling benar? saya jawab Islam, Islam, dan Islam, karena saya menganut Islam dan saya merasa nyaman dengan konsep-konsep yang menyertainya. Mana mungkin saya yang telah declare keislaman saya lalu katakan agama lain itu juga paling benar? Atau minimal sama tingkat kebenarannya? Ko’ seperti orang bodoh saya ini kalau lakukan itu. Lalu bagaimana posisi agama lain? Akan saya jawab, mereka itu baik dan mereka punya kebenaran. Setiap agama sudah tentu tak ada yang mengajarkan keburukan. Maka dari itu, agama-agama memiliki kesamaan hanya di dalam sebuah nilai-nilai universal: kesantunan, ajakan bertuhan, kerendahan hati, kelapangan jiwa, kesabaran, dan nilai-nilai baik lainnya. Kalaupaun ada yang merecok, itu sudah pasti orang tak beragama. Tak usah digubris. Makanya, saya setuju dengan konsep kebebasan beragama, bukan kebebasan tidak beragama. Apa ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam? Siapa bilang. Apa Nabi pernah memberi contoh untuk mengutuk orang yang tidak seiman? Apakah malah Nabi yang berdiri berhormat pada kematian seorang Yahudi? Apakah malah Nabi yang memberi suapan pada nenek tua Zoroastrian (Majusi) yang ketika disuapi memaki-maki beliau? Apakah malah Nabi yang menjamin keselamatan Yahudi Bani Quraidzah yang berlindung di Madinah? Apakah kita paham bahwa seorang pelacur pun bisa masuk surga karena hanya memberi makan seekor anjing kelaparan? Apakah malah Nabi yang terus berbuat baik hingga Khalid bin Walid dan Amr bin Ash—yang pada perang Uhud menginjak-injak kehormatan beliau, yang dengan sadis membunuh pamanda tercinta beliau, Hamzah—akhirnya mereguk Islam sebagai pilihan terakhir? Lalu bagaimana bila ada yang bertanya, apakah selain orang Islam masuk neraka? Jawab saya, surga neraka itu milik Allah, Dialah yang berhak menentukan siapa-siapa yang masuk surga atau neraka. Lalu bagaimana dengan Tuhan-Tuhan mereka? Siapa yang tahu dan siapa sangka kalau Tuhan yang mereka maksud adalah Allah, cuma namanya berbeda saja? Apakah kita patut menyesatkan? Saya jawab, biarlah Allah yang menilai. Yang penting mereka tak ganggu shalat saya, tak rusak puasa saya, tak halang-halangi zakat saya, dan tak menyulitkan haji saya kelak, ya sudah. Kalau demikian, saya pun tak akan rela diri larut dalam kedengkian semu yang mungkin saja membuat saya malah jauh dari Allah Swt dan Rasulullah Saw.
Apa ibadah penting? Lalu bagaimana dengan orang yang hanya berkutat dalam satu dunia keilmuan saja, misal fiqih? Jawab saya itu baik, tetapi kurang. Shalat memang sebuah kewajiban. Tetapi itu adalah sekedar jalan untuk menuju kedekatan terhadap Tuhan, Allad Swt. Tetapi, ia jalan terbaik. Namun, ukuran religiousitas seseorang bukan diukur dari berapa banyak ia shalat atau berapa lembar ia mengaji setiap harinya. Keberagamaan (
religiosity) sesorang diukur dari pandangan dan perilaku orang tersebut. Buat apa shalat lama-lama kalau setelah itu kita sesat-sesatkan orang lain? Di dalam shalat kita selalu minta pentunjuk tentang jalan yang lurus, jalannya orang-orang yang di beri nikmat oleh Tuhan. Berarti kita mengakui diri kita masih dalam proses pencarian kebenaran yang berkelanjutan. Kalau di tengah jalan kita mengeluarkan judgment-judgment atas sesuatu, apakah kita sadar bahwa telah mencederai shalat itu sendiri? Lalu apa berarti shalat itu tidak penting? Penting sekali. Shalat dan bentuk peribadatan formal lainnya memiliki dimensi keimanan dan sosial. Tetapi itu simbolis. Hanyalah iman yang menggerakkan orang mau untuk “jungkar-jungkir” seperti itu. Tetapi shalat juga berdimensi sosial dalam kebersamaan dan kesamaan sosial pada konsep berjamaah-nya. Iman dan amal shaleh itu butuh jembatan, dan peribadatan, termasuk shalat hadir untuk itu. Tetapi tetaplah Allah Swt, Tuhan sebenar-benarnya, adalah tujuan hakikinya. Shalat hanyalah perantaranya. Jangan sampai kita berkonflik karena perantara itu. Sementara tujuan seperti diabaikan. Bukankah itu memalukan? Baiklah, tulisan ini akan saya tutup dengan sebuah kutipan cerita. Suatu saat, seseorang ditanya oleh seseorang lainnya, “Cak, kalau ada orang kecelakaan, bersamaan dengan pacar yang minta diantar dan masuk waktu Shalat Jumat, Cak milih yang mana?” Maka, orang itu menjawab, “Ya nolong yang kecelakaan lah…” “Kan Shalat Jumatnya kelewatan, nanti Allah catat dosa lho....” “Ah, masak, Gusti Allah ndeso gitu sih…..” ****
Jazz Muhammad Blitar, 2 September 2010 Selesai di rumah tercinta
KEMBALI KE ARTIKEL