Aku sangat ingin pulang ke Jakarta. Lingkungan tempat tinggal ibuku di Duren Sawit selalu diliputi suasana hubungan warga yang begitu hangat dan egaliter. Orang bilang penduduk kota besar miskin akan kehangatan dan pengertian, dan penduduk pedesaan tulus dan ramah. Namun yang kudapati di sini kebalikannya. Begitu banyak orang yang berasal dari keluarga karyawan tetap dan tampak bersahaja, namun mereka cenderung suka kasak kusuk mencari aib satu sama lain. Bahkan tak jarang saling menjatuhkan untuk kemudian berharap mendapatkan imbalan dari atasannya. ”Suamiku ijinkan aku pulang ke Jakarta yah,” bisikku dalam hati berharap.
Kejenuhan ini sesungguhnya juga berkolaborasi dengan rasa sedih yang meliputiku selama tinggal di areal pemukiman PT Gula Manis Putih. Kesedihan bermula saat aku hamil setelah kira-kira enam bulan kami menetap di sini. Waktu itu aku belum menyadari bila aku positif mengandung, hingga pada suatu sore usai tidur siang kudapati bercak-bercak darah di pakaian dalamku. Suamiku yang baru saja pulang kerja langsung mengantarkan aku ke medikal; sebuah tempat mirip yang memberikan layanan kesehatan bagi karyawan. Sialnya, beberapa tenaga medis yang menerimaku menatapku dengan sinis. Sepertinya mereka lupa akan tugas mereka yang ahrus memberikan kehangatan perlakuan kepada pasiennya. Aku tak tahu salahku apa, mungkin terkait kecemburuan kasta kekaryawanan suamiku.
Seorang dokter senior disana malah sempat mengatakan dengan ketus,” Ibu ini sih darah menstruasi”. ”Sebaiknya pulang dan gunakan pembalut saja!” tegasnya. ”Itu saja sudah cukup!” katanya dengan dingin.
”Dok, aku merasakan pinggul dan perut bagian dalam aku sangat sakit. ”Dan ini tak biasa aku alami saat datang bulan,” sanggahku kepadanya. ”Mungkin saya hamil Dok, dan kini mengalami masalah,” tambahku berharap. ”Yah sudah bila ingin istirahat di sini, ibu bisa bermalam di salah satu kamar pasien,” jawabnya. ”Namun bukan saya yang akan mengawasi perkembangan keadaan ibu, mungkin bidan Surti,” tegasnya tak tulus.
Sepanjang malam suami dan anakku menemani aku di ruang medikal. Suamiku dengan tulus meski lelah karena bekerja seharian membersihkan cucuran darah yang keluar dari organ vitalku. Aku sangat yakin cucuran darah tersebut merupakan bakal janin anakku, karena bentuk dan aromanya yang berbeda dengan darah haid. Namun sikap dan kata-kata suamiku menguatkan ketenanganku yang hapir runtuh oleh kesedihanku. Setelah bermalam di medikal dengan layanan yang menyesakkan dada, aku akhirnya dibawa pulang suamiku yang ijin tak masuk kerja hari itu.
Di rumah aku tumpahkan kekecewaan dan kesedihanku pada suamiku. Mas, aku sangat yakin itu bakal anak kita. Aku merasakan terbangnya separuh jiwaku saat darah tersebut mengucur dari tubuhku. Kok bisa-bisanya dengan enteng dokter Maruto mengatakan itu darah haid. Dan sikap mereka yang begitu sinis benar-benar meruntuhkan ketegaranku Mas. Serentetan kalimat hujatanku meruyak diantara kepedihan perasaanku. Aku sangat berharap pembelaan suamiku.
Ya sudah, kamu harus tenang. Jangan kamu larut dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam. Apalagi sampai marah berlebihan lepada orang-orang itu. Setiap masalah akan menjadi sesuatu masalah yang sesungguhnya manakala kita menyikapinya dengan sikap negatif berupa kesedihan dan kemarahan yang berlebihan. Karena biasanya respon yang muncul adalah keputusan dan sikap yang juga berlebihan. Kini, sebaiknya kamu istirahat.
“Tenangkan dirimu sambil mencoba mencari hikmah terbaik dari peristiwa yang kita alami ini.” “Kita tak punya kekuatan untuk merubah orang lain seperti yang kita mau, namun kita diberi Tuhan kekuatan untuk mengarahkan diri kita.” “Dan ketenangan adalah awal perbaikan yang dapat dilakukan setiap orang, termasuk kita.” Suamiku menutup kata-katanya dengan menghadiahi kecupan tipis di dahiku.
Meskipun tak mendapatkan pembelaan yang kuharapkan darinya, ucapan-ucapannya mampu mengembalikan aku pada perasaan yang lebih tenang. Yang tersisa bunyi dengkur tidurnya yang pulas meningkahi suara dengkur putraku Amar.
Malang tak dapat ditolak, aku mengalami keguguran janin untuk yang kedua dan ketiga kalinya. Keguguran yang kedua terjadi nyaris sama peristiwanya dengan keguguran yang pertama. Hal yang membedakan kali itu aku sudah mengetahui bahwa aku positif hamil, lewat alat test kehamilan. Sedangkan perlakuan tenaga medis di medikal tak lebih baik. Mereka bahkan semakin bersikap nynyir kepadaku, karena lewat alat test kehamilan yang mereka berikan pagi hari setelah keguguran tak terlihat indikator positif. Satu suster yang memeriksa aku bahkan sempat berkata,”Ibu ini kok gak bisa membedakan darah haid dengan janin. “
Ironisnya bukti alat test kehamilan yang bertanda positif dan aku serahkan lepada mereka ketika aku tiba di medikal hilang. Aku pulang ke rumah dengan perasaan hampa. Mau nangis rasanya buliran air mata tak mau lagi keluar dari mataku. Mau marah aku gak punya keberanian untuk menyuarakannya.
Peristiwa keguguran yang ketiga adalah saat paling menyedihkan dalam hidupku. Aku dan suamiku sudah berupaya sekuat mungkin mempertahankan kehamilanku. Meski merasa tak nyaman dengan perlakuan tak menyenangkan petugas medikal, aku secara rutin memeriksakan diri ke medikal. Hingga datanglah saat yang menyedihkan itu, ketika usia kehamilanku mencapai usia tiga setengah bulan.
Saat itu tiga hari sebelum lebaran. Suami dan putraku pergi mudik ke Yakarta atas anjuranku. Aku kasihan dengan putraku yang sudah begitu kangen dengan eyangnya di Yakarta, maka kumnta menemaninya. Semestinya aku mengikuti keraguan dan keberatan hati yang disampaikan suamiku, tapi aku terus mendesaknya. Ia mengikuti anjuranku karena ada pembantu yang menemaniku.
Baru satu hari ditinggal pergi suami dan putraku, aku merasakan ada yang tak beres pada tubuhku. Sore hari kedua ditinggal mereka begitu banyak darah mengalir dari kemaluanku. Aku lemas melihatnya. Untung saja ada mbak Yahmi yang menemaniku ke medikal, demikian juga pak John tetanggaku. Setelah beberapa saat berkonsultasi dengan dokter Rida, akhirnya diputuskan aku bisa menumpang ambulans untuk dibawa ke klinik bersalin di kota Metro. Terima kasih yang terkira aku sampaikan buat pak John yang meminjamkan aku uang enam ratus ribu dan membantu menyiapkan pakaian-pakaianku.
Aku tiba di klinik bersalin Metro jam enam sore. Mbak Yahmi yang mengantarku ikut pulang dengan mobil ambulan ke rumahnya di Rumbia. Aku sendirian menerima vonis dokter bahwa aku telah keguguran. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku ingat bahwa dokter itulah yang menolak memberikan suntikan penguat rahim saat aku pertama kali konsultasi 2 bulan lalu. Aku menghujaninya dengan hentakan kesedihan dan kekecewaanku atas penolakannya itu. Dia tak mampu menjawabnya. Hanya mampu memberikan kata-kata penghibur,”Sabar Bu.”
Lewat handphone kukabarkan kepada suamiku, bahwa aku pendarahan hebat. Tangisku pecah sepanjang percakapan itu. Terima kasih Tuhan karena telah mengirimkan suami yang mampu meneduhkan gundah gulanaku. Ia karuniaku kata-kata penghibur agar tetap tenang dan sabar. Ia sampaikan pula permohonan maaf karena meninggalkan aku yang sesungguhnya karena permintaan aku sendiri.
Aku sangat kecewa dengan pelayanan suster di klinik tersebut. Mereka menyuruhku untuk membersihkan semua noda dan bercak darahku sendiri tanpa memperhatikan kesedihan dan sakit yang aku rasakan setelah dikuret. Syukurlah. tepat sepuluh menit jelang subuh, suami dan anakku tiba di hadapanku. Mereka tampak letih sekali, aku jadi merasa berdosa. Dengan sigap suamiku membersihkan bercak-bercak darah yang masih melumuri tubuhku, meski kutahu ia phobia dengan darah.
”Sabar yah Sally,” itu kata yang terngiang ditelingaku dari suara lembutnya. Ini semua bagian dari cobaan Tuhan. Pasti ada banyak isyarat kebaikan yang hendak disampaikan-Nya. Dibutuhkan ketenangan untuk memahaminya, maka bersikap tenanglah istriku,” katanya seraya mengecup pipiku. Sementara Amar mencoba menghiburku yang dengan polos mengatakan, ”Bunda harus bahagia, karena adik Amar pasti sudah di syurga. ” ”Jadi jangan sedih, apalagi Amar dan ayah sudah ada di sini.” tambahnya.
Malam takbir terasa begitu syahdu karena derita keguguran dan sakitnya dikuret. Kami melewatinya dengan menginap di klinik bersalin Metro. Meski demikian kulihat putraku begiu senang saat bersama suamiku berjalan-jalan menyaksikan konvoi kendaraan di seputar alun-alun kota Metro Lampung. Usai sholat Idhul Fitri, akhirnya kami pulang dengan menyewa mobil angkot.
Selama seminggu setelah kejadian keguguran, aku masih begitu larut dalam kesedihan. Lebih terasa lagi karena jauh dari keluarga besar di suasana libur hari raya. Aku begitu trauma bila kelak hamil lagi di wiayah site Gula Putih Manis ini. Aku jadi ingin kembali ke Jakarta. Namun aku tak tega meninggalkan suamiku sendirian di wilayah ini. Ku berharap ada jalan keluar dari kebingungan ini.
Bayangan bakal anak-anakku yang telah gugur selalu hadir dalam mimpiku di saat kesedihan melanda. Meski merasakan kehilangan aku bahagia karena dalam setiap mimpi mereka selalu hadir dalam rupa elok dan penuh kebahagiaan. ” Bunda, Bunda... jangan bersedih ya.” ”Kami bahagia di sini.” ”Kami akan menunggu hadirnya bunda kelak menemani kami” demikian serentetan kalimat yang terngiang dari mimpi-mimpiku dengan mereka. Meski mimpi, kuarasakan seakan begitu nyata bersua dengan mereka.
Untuk mengurangi selimut duka yang melingkupiku, kadang aku berbagi cerita dengan bercerita keluarga dan kawan-kawan di Jakarta sana. Setidaknya aku merasakan kehangatan dialog dan perhatian mereka. Mereka selalu memberikan dorongan semangat yang menguatkanku.
Aku begitu terkesan deangan kata-kata suamiku yang mengatakan,”Jangan larut dalam pemikiran bahwa kamu adalah manusia paling malang sedunia, Sally!” ”Ada banyak cobaan yang diterima oleh banyak orang yang kadarnya jauh lebih berat dari apa yang kita alami.” ”Lihat saja para korban lumpur Lapindo, korban bencana tsunami Aceh dan korban gempa Padang.” “Dengan melihat semua kejadian memilukan itu, kita takkan larut dalam kesedihan atas kemalangan yang kita alami.” ”Bahkan khusus untukmu, semestinya kian tumbuh empatimu kepada orang-orang yang berkekurangan dan ditimpa kemalangan karena kamu telah mengalami beberapa kepahitan.” ”Bicara memang mudah, dan mengalaminya tak mudah.” ”Namun hanya kita yang bisa merubah kesedihan dan keterbatasan menjadi kebahagiaan dan kelapangan dengan kemauan kuat kita.”
Seminggu setelah operasi kuret yang kualami, Amar putraku menderita sakit Tifus. Tak mau mengambil resiko, kamipun menemaninya rawat inap di salah satu klinik anak kota Metro. Selama lima hari aku menemaninya. Dan selama lima hari itu pula aku diliputi kekhawatiran atas keselamatannya. Untungnya suamiku menemani, meskipun harus ijin tak masuk kerja. Syukurnya, Amar dapat pulih kesehatannya.
Aku tak habis pikir, kenapa beberapa kesedihan ini berlangsung beriringan. Aku dan suamiku Cuma bisa berharap semoga dibalik semua kegalauan ini akan datang kebahagiaan tak terkira.