Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Pasrah Memasrah

21 November 2010   05:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:26 189 1
Hari ini aku tersenyum lebar sendirian menatap 2 slice pizza di meja. “Akhirnya datang juga...” batinku, “Alhamdulillah...”

Beberapa hari yang lalu, aku pengeeeen banget makan pizza. Kebetulan hari itu aku ada janji ke rumah teman untuk mengantar kepulangan teman lainnya ke Purwokerto. Karena memang sudah jam makan malam, lapar lah aku. Sekotak pizza masih terus terbayang. Kutawarkan pada teman-teman untuk memesan sekotak pizza, “eh... tapi ke pizza hut terdekat aja deh, gw gak punya cash, tinggal 20rb.”

“ya udah kalo gitu gw mau salad ya,” kepala besar bicara.
“ya udah, mana uangnya...”
“ya lo beliin lah... paling 20rb.”
“heeeh?! Sekate-kate lo. Kalo cuma pizza gw beliin," berhubung aku yang ngidam, kan gak enak kalo makan sendiri.

...bla...bla..bla..bla...

Perdebatan sekotak pizza dan salad terus berlanjut, sampai si teman dari Purwokerto berangkat dengan travelnya pun kami masih belum makan pizza juga.

Dan tiga hari kemudian ini lah hasrat makan pizza ku terpenuhi, hehehe... Padahal hasrat itu memuncak pada hari ke dua. Di hari ke tiga aku sudah pasrah mengganti keinginginan makan pizza jadi pengen makan gado-gado. Di hari ini lah hasratku terpenuhi dengan tuntas tas tas tas... maksi gado-gado, tea time dengan pizza.

Sambil menikmati kunyahan demi kunyahan, pikiran ku berputar ke beberapa minggu lalu dimana aku berharap dengan sangat bertemu senior dari Accounting di angkot B09.

Suatu pagi dengan sangat sembrononya aku tak lagi mengecek persediaan uang kecil. Hajar aja main berangkat ke kantor. Di Kopaja P16 baru aku sadar tak ada lagi pecahan ribuan, yang ada hanya selembar uang 50rb-an.

Aku mematung di pinggir jalan Pasar Kemis menimbang-nimbang, bagaimana caranya sampai di kantor tanpa naik taksi dan gak diomelin abang angkot gara-gara bayar angkot 2rb dengan uang 50rb. Hmm, jalan jauh, ojek pun tak ada... senior dari Accounting itu lah harapanku satu-satunya.

Berbekal pengetahuan matematika dasar SMA yang pas-pasan, peluang bertemunya si Krucil ini dengan senior dari Accounting itu sangat kecil. Angkot B09 itu banyak. Belum lagi pertanyaan: senior dari Accounting itu berangkat jam berapa? Pusiiiing... akhirnya bengong. 4 angkot B09 lewatlah sudah. Harapanku tipis setipis martabak tipis kering seribuan.

Aku pun pasrah. Angkot B09 ke-5 datang dan aku pun naik. Diomelin-diomelin deh, batinku.

“Haiii...” mataku langsung berbinar dengar sapaan itu.
“Eh, mbak...” hamdalah pun berkali-kali kuucapkan dalam hati.

Angkot berbelok mendekati gedung kantor. Kukeluarkanlah pecahan yang merisaukanku itu. Ternyata senior dari Accounting itu melihat.

“Wi, duit lo goban tu?”
“Ho-oh... nanti aku bayarin aja deh, mbak, biar gak diomelin si abang supir.”
“eh, gak usah... udah, gw bayarin aja, dari pada kena semprot supir angkot pagi-pagi gini. Eh, lo cuma 2rb kan?”
“He-eh... “ tersenyum lebar dan sumringah, “Makasih banyak ya, mbak. The best in town lah lo.”

Ternyata kekhawatiran adalah sia-sia.

Dari contoh sederhana kedua kejadian di atas aku jadi semakin yakin bahwa ketika kita memasrahkan sesuatu justru kita mendapatkannya. Penyerahan diri kita sepenuhnya, dan kepercayaan diri kita kepada Sang Pengatur lah yang utama. Dia tahu yang terbaik untuk kita, plus efek dan dampak dari pemberianNya, jika kita benar-benar memperhatikan.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun