Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Punden

30 November 2024   15:16 Diperbarui: 30 November 2024   15:16 61 0
Untuk mengurangi biaya hidup, setiap sore Johar memancing di pinggiran sungai. Biasanya dia mendapatkan tiga sampai lima ekor ikan mujair, ataupun lele yang sudah lebih dari cukup untuk kebutuhannya dan sang istri. Bahkan bisa tersisa untuk sarapan esok harinya. Istrinya yang pintar memasak itu dapat mengolah ikan-ikan tersebut dengan berbagai macam bumbu hingga tidak membosankan. Namun, sudah tiga hari ini nasibnya tidak baik, umpan pancingnya tidak pernah membuahkan hasil. Tidak ada satu ikan pun yang mau memakan umpannya, padahal dia sudah mengganti umpannya dengan udang rebon hidup, tetapi tetap saja tidak menarik minat ikan mujair yang ada di sungai tersebut. Mungkin bukan umpannya yang salah, tetapi lokasi memancingnya yang harus berubah. Sepertinya ikan-ikan itu sudah menghindari tempat Johar biasa memancing karena berbahaya bagi hidup mereka, siapa yang tahu?

Selagi memandangi permukaan air sungai yang tidak terganggu oleh tarikan benang pancingnya, Johar teringat pernah melintasi kedung yang berjarak tidak begitu jauh dari tempatnya sekarang. Dia ingat, ketika berjalan di sisi kedung dia sudah bisa melihat ikan-ikan yang berenang hilir mudik. Pasti tidak perlu menunggu berjam-jam untuk mendapatkan ikan di kedung itu. Namun, setiap orang di desanya tidak ada yang berani memancing di sana. Hal itu karena adanya cerita yang sudah dikisahkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, dari yang sepenuhnya percaya hingga hanya untuk menakut-nakuti anak mereka agar tidak berkeliaran saat senja datang. Saat kecil, Johar mendengar cerita itu berkali-kali, dari mulut ibunya, neneknya, saudara-saudara ibunya, bahkan gurunya. Kedung itu dipercaya sebagai punden, tempat bersemayamnya para danyang atau arwah leluhur desa. Jika berbuat tidak sopan di tempat itu, atau mengambil apa pun dari sana akan mengakibatkan para danyang marah.  

Sekali lagi Johar memandang permukaan air yang tetap tenang, lalu mengalihkan pandangan ke arah kedung. Apakah memang tidak pernah ada seorang pun yang memancing di sana? Selama berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun ini. Sepertinya tidak mungkin, pasti pernah ada yang melakukannya dan seingatnya tidak pernah mendengar seseorang menjadi korban kemarahan para danyang. Johar mendongak ke atas, tampak sinar matahari yang mulai mengeluarkan semburat keemasan, seharusnya dia sudah pulang. Namun, dia tidak ingin pulang keempat kalinya dengan tangan kosong, maka dengan segera Johar merapikan alat pancingnya dan berjalan menuju kedung. Sinar matahari yang semakin menghilang membuat kedung tersebut terlihat menyeramkan. Dibandingkan area sungai di sekitarnya, area kedung lebih banyak ditumbuhi pohon-pohon besar. Dahan-dahannya menaungi pinggiran kedung, menciptakan bayang-bayang gelap di permukaan air. Gemerisik dedaunan yang saling bersentuhan karena embusan angin, terdengar seperti bisikan dari kegelapan.  

Johar memelankan langkahnya, detak jantungnya bertambah kencang, keringat dingin mulai muncul di dahinya. Sinar matahari yang keemasan tidak dapat menembus rerimbunan dedaunan di tempat itu, membuatnya jauh lebih gelap dibanding tempat lainnya. Secercah cahaya yang jatuh hanyalah merupakan pantulan dari permukaan air kedung. Walau begitu Johar sudah menetapkan hatinya, dia akan membawakan ikan-ikan untuk istrinya malam ini. Dia berdiri di pinggiran kedung dan menjulurkan kepala, matanya melihat percikan-percikan air di permukaan kedung yang disebabkan oleh pergerakan ikan di bawahnya. Johar tersenyum senang, memikirkan nasibnya akan berubah, kemudian dia mendongak ke arah pepohonan dan berkata, "Amit, amit, Mbah. Saya mau mancing, saya butuh makan, tolong jangan diganggu."  

Setelah berkata demikan, Johar melemparkan tali pancingnya dan menunggu. Tidak sampai umpannya tenggelam terlalu dalam, tali pancingnya sudah bergoyang, buru-buru dia menggulung tali pancingnya, dan benar saja seekor ikan mujair berukuran setengah lengannya menggelepar pada mata kailnya. Johar hampir-hampir berteriak kegirangan---jika tidak ingat di mana dia berada. Setelah menaruh hasil tangkapannya yang pertama ke dalam keranjang, dia kembali melemparkan tali pancingnya, kali ini dia mendapatkan ikan yang lebih besar. Begitu terus, tanpa jeda lama. Hanya dalam jangka waktu kurang dari lima belas menit sudah ada lima ekor ikan mujair berukuran besar dalam keranjangnya. Dirasa cukup, dia akhirnya merapikan alat pancingnya dan pulang dengan sebuah senyum lebar di wajah. Andai saja dia memancing di tempat itu sejak dulu, dia tidak perlu duduk seharian menunggu hasil.

Melihat tangkapan Johar, istrinya pun sangat bersuka hati, ikan-ikan itu bisa untuk makan mereka selama dua hari, bahkan sepertinya dia juga dapat menyisihkan sebagian untuk tetangga sebelah rumah. Sangat jarang mereka dapat berbagi makanan seperti itu.  

"Aku mendapatkan tempat yang baik untuk mancing, jika hasil tangkapanku seperti ini setiap hari. Mungkin kaubisa mulai memasak untuk dijual."

"Betul, Mas. Pasti hasilnya lumayan," kata istri Johar tanpa curiga sedikit pun. "Aku akan siapkan bumbu dan memasak ikan-ikan ini."

Saat sampai rumah, hari sudah benar-benar gelap. Johar bersyukur dapat pulang dengan selamat dan mulai tidak mempercayai cerita-cerita seram tentang punden kedung tersebut. Nyatanya, dia bisa pulang dalam keadaan utuh. Johar menyulut rokoknya, memikirkan kedung itu dapat dia jadikan sebagai sumber penghasilan mereka. Sebuah rencana berkelebat di kepalanya, mungkin dia bisa menyebarkan cerita yang lebih menyeramkan tentang kisah punden tersebut hingga orang-orang semakin enggan mendekati tempat itu. Hingga akhirnya dia dapat memiliki ikan-ikan itu sendiri. Cukup lama Johar tenggelam dalam rencana-rencananya, baru tersadar oleh panggilan istrinya untuk segera makan.

"Melamunnya serius sekali, Mas." Istrinya terkekeh seraya menyodorkan sepiring nasi untuk Johar.  

"Aku memikirkan nasib baik---" Johar menghentikan kata-katanya ketika kupingnya menangkap suara langkah kaki di luar. "Kau menunggu seseorang?"

Istrinya menggeleng. Johar memiringkan kepalanya, menunggu langkah itu mendekat dan berhenti di depan pintu rumahnya. Namun, langkah itu hanya mendekat dan seperti berbelok di sudut rumah mereka, kemudian menjauh lalu menghilang, untuk kemudian muncul lagi dari sisi rumah yang berbeda dan terdengar mendekat lagi. Johar menunggu, tetapi langkah itu hanya melewati depan rumahnya, jaraknya begitu dekat seperti hanya di balik tembok. Sekali lagi langkah itu tidak berhenti, tetapi kembali memutari rumahnya. Johar menyibakkan tirai jendela dan memandang keluar. Tidak ada siapa pun.

"Benar, kau tidak menunggu tamu?" tanyanya sekali lagi.

"Tidak, Mas."

Johar menunggu dengan penasaran hingga langkah itu kembali terdengar dan melewatinya, tetapi dia tetap tidak melihat siapa pun.

"Kau tunggu di sini," katanya gusar. "Aku akan lihat siapa yang sedang main-main. Menganggu saja."

"Mungkin hanya anak-anak."

Sejenak Johar masuk ke dalam kamar dan mengambil senter, kemudian keluar rumah. Udara dingin langsung menerpa wajahnya saat membuka pintu, membuat tubuhnya menggigil, buru-buru dia menutup pintu kembali agar udara dingin tidak masuk. Suara langkah itu kini terdengar berada di belakang rumahnya, Johar segera menghampiri dengan lampu senter menyala.

"Siapa di sana?" hardiknya. Langkah kaki itu tiba-tiba berhenti, tepat di pojok belakang rumahnya. Johar mengarahkan cahaya senternya ke sana, sekilas dia melihat warna kuning berkelebat melintas. Johar terkesiap, tidak yakin apa yang telah dilihatnya. Dengan gemetar dia menurunkan cahaya senternya, di sana---hanya berjarak tiga meter dari tempatnya berdiri, seekor ular belang hitam dengan garis kuning bergelung tenang. Ular itu sebesar paha pria dewasa, matanya menatap Johar tajam dengan lidah yang menjulur-julur.

Tulang-tulang di sekujur tubuh Johar seperti meleleh, dia terpuruk ke tanah, senternya terjatuh. Lidahnya kelu, dia tidak dapat berteriak. Satu-satunya hal yang bisa dia lakuan hanyalah merangkak menjauhi tempat tersebut, hingga pada belokan menuju pintu depan dia baru dapat berdiri dan menghambur masuk ke dalam rumah.  

"Ada apa. Mas?" tanya istrinya heran.

"Ti-tidak a-ada apa-apa," katanya terengah-engah. Keringat sudah membanjiri wajah dan kausnya. "Terus---teruskan makanmu," lanjutnya berusaha menutupi apa yang terjadi.

Istrinya baru saja ingin mengucapkan sesuatu ketika tiba-tiba semua pintu dan jendela di rumah mereka terbuka, di luar suara angin menderu-deru seperti akan datang badai.

"Ada apa ini?" teriak istrinya berusaha mengalahkan suara angin.  

"Aku akan menutup pintu belakang," kata Johar segera, dia begitu ketakutan dengan pikiran ular besar yang tadi dia lihat akan masuk ke rumahnya. Dia berlari secepatnya untuk menutup pintu belakang, dan bernapas lega saat tidak melihat makhluk melata tersebut di dalam rumahnya. Lalu, semua kembali hening.

Namun, suasana hening itu semakin membuat Johar ketakutan, keheningan ini begitu mencekam, membungkam semua udara dalam ruangan itu. Dia tidak dapat bergerak. Napasnya begitu berat. Dia seperti sedang menunggu sesuatu yang lebih buruk akan terjadi. Sebentar lagi.

Seketika hal itu terjadi, suara teriakan penuh kengerian terdengar dari arah ruang tamu, tempat istrinya berada. Johar berlari ke ruang tamu, tetapi langkahnya terhenti di ambang pintu penghubung. Istrinya bersimpuh dengan lengan dipenuhi bentol-bentol kemerahan yang cairan di dalamnya menggelegak seperti mendidih. Dengan cepat bentol-bentol itu menjalar ke tubuh istrinya, ke kakinya juga ke wajahnya. Istrinya berteriak-teriak kesakitan sambil menggaruki bentol-bentolnya dengan agresif.  

Johar hanya mematung di tempatnya, memandang ngeri ke arah istrinya. Garukan-garukan tangan istrinya mengakibatkan bentol-betol itu pecah dan melelehkan cairan nanah berbau amis. Satu per satu bentol itu pecah menciptakan bopeng basah bernanah. Wajah istrinya tidak lagi dapat dikenali. Tubuhnya menggelapar-ngelapar di lantai dalam usahanya mengurangi rasa sakit. Lalu, tubuh itu terdiam. Istrinya telah mati dengan mata melotot penuh penderitaan.

Johar jatuh terduduk, teriakannya memecahkan keheningan malam itu.

 
Jangan pernah mengambil apa pun dari punden, karena akan membawa kemurkaan para danyang dan mereka akan mengambil milikmu yang paling berharga sebagai gantinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun