Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Cinta Fitri yang Tersandung

13 Mei 2011   04:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:46 336 0

Ketika anak-anak muda Indonesia sedang asyik masyuk di depan televisi, di saat yang bersamaan anak-anak Singapura juga sedang asyik masyuk membaca komik. Namun terdapat perbedaan yang mendasar, anak-anak Indonesia sedang menonton sinetron dengan tema percintaan atau anak yang tertukar, sedangkan anak-anak Singapura sedang membaca komik yang berisi mengenai seni perang Sun Tzu; di dalamya terdapat sesi tentang ‘bagaimana merampok tetangga yang sedang mengalami kebakaran rumah’

Framing diatas selalu penulis bawakan dalam setiap kesempatan. Betapa mirisnya setiap hari melihat anak muda Indonesia dicekoki oleh sinetron murahan. Sinetron yang di dalamnya terdapat cara berpikir yang instan, orang-orang yang selalu memakai jas dan kemeja berdasi meski di dalam rumah, kelalaian yang begitu mudah terjadi di rumah sakit sehingga bayi dapat dengan mudah tertukar, kisah cinta yang mendayu-dayu dan sang pria selalu terlihat kaya meski baru siswa SMA atau bahkan tidak bekerja, belum lagi konten percapakapan yang terjadi di dalam sinetron selalu bercerita tentang hal yang remeh-temeh, dan yang paling fantastis, anak muda Indonesia menonton sinetron berbarengan (atau didampingi?) dengan orang tua nya. Keduanya sama-sama menikmati sinetron dalam waktu bersamaan. Bah! Apa yang akan terjadi dengan nasib Indonesia 30-50 tahun mendatang jika anak muda nya bermental tempe seperti ini?

Bahwasanya di dalam sinetron itu hanya adegan yang berpura-pura, penulis sepakat dengan hal tersebut. Namun kita tidak boleh lupa, pada film yang berbau pornografi pun merupakan adegan yang berpura-pura lalu kenapa kita menolaknya? Dalam khazanah Psikologi terdapat social cognitive theory yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Menurut nya sebagian besar tingkah laku manusia dipelajari melalui peniruan (modeling) yakni tingkah laku terjadi dari hasil interaksi antara fungsi kognitif manusia dan lingkungannya. Albert bandura kemudian membuat penelitian (yang terkenal dengan nama penelitian ‘bobo doll’). Di dalam penelitian tersebut, Bandura menggunakan partisipan anak-anak kemudian anak-anak tadi diperlihatkan video yang berisi orang dewasa yang memukul sebuah boneka. Setelah itu, sang anak dipindah ke ruangan lain dan diberi sebuah boneka, tak lama kemudian sang anak memukul-mukul boneka tersebut persis seperti yang ia lihat di video sebelumnya. Perilaku modeling ini dapat berulang pada berbagai konteks yang berbeda, terlebih lagi jika disalurkan melalui media televisi. Makanya tidak perlu heran jika ada anak SD yang memperkosa tetangga perempuannya setelah menonton film mesum, hal yang sama akan berlaku pula jika kita menonton sinteron. Lalu, masih perlukah kita menonton sinetron?

Katarsis yang murah-meriah

Sinetron layak didaulat sebagai hal yang ‘paling indonesia’. Terkadang seseorang memilih sesuatu bukan karena sebuah intensi yang didasari kesadaran, namun karena memang tidak memiliki pilihan lain. Bagi golongan ekonomi kelas menengah ke bawah, televisi merupakan hiburan yang paling nikmat. Setelah seharian harus berjibaku dengan tugas-tugas sekolah atau seharian bekerja keras maka menonton televisi adalah sebuah katarsis yang murah meriah. Cukup dengan membayar iuran listrik, kita dapat sejenak dibuai dengan kehidupan yang enak,baik melalui sinetron atau tayangan lainnya. Hampir di setiap rumah masyarakat menengah ke bawa terdapat televisi di dalamnya. Bahkan di daerah Jakarta terdapat ‘rumah’ dibawah kolong jembatan dan di dalamnya terdapat televisi dengan sinetron menjadi tayangan terfavorit. Memang sinetron dapat terus berjaya dengan dalih rating penonton yang tinggi, mungkin sejenis supply-demand .

Cinta Fitri VS Tersanjung

Tayangan televisi Indonesia minim kontrol pemerintah merupakan cerita lama. Konon sinetron Cinta Fitri telah berhasil melewati jam tayangnya sinteron Tersanjung (sebuah sinteron yang pernah berjaya di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia). Hal tersebut tidak lepas dari rating yang tinggi terhadap sinetron Cinta Fitri. Dan pertanyaan yang mendasar, lembaga manakah yang berhak melakukan pe-ratingan terhadap sinetron? Penulis tidak ingin berpolemik terhadap hal ini. Pastinya proses dan hasilnya jarang sekali dipublikasikan kepada masyarakat.

Terakhir, jika kita terlalu menggantungkan nasib anak muda Indonesia kepada pemerintah, rasanya tidak akan berarti banyak. Maka diperlukan upaya proaktif dari masyarakat untuk mengontrol intensitas menonton pada anak muda Indonesia. Memang dampaknya tidak terasa saat ini, namun sejatinya kita sedang memupuk ‘pohon kebobrokan bangsa’ jika membiarkan nilai-nilai di dalam sinetron terus masuk ke dalam kepala anak muda Indonesia. Sinetron menjadi hal yang paling Indonesia sekaligus hal yang paling berbahaya. Jadi, stop menonton sinetron! Selamatkan generasi muda Indonesia.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun