Mohon tunggu...
KOMENTAR
Dongeng Artikel Utama

Aku dan Tasripin

19 April 2013   14:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:57 2036 24

[Tasripin_foto: Saladin/SindoTV]

*

”Ini dongeng tentang Aku dan Tasripin,” pagi yang cerah itu, aku memulai dongengku. ”Aku dan Tasripin sama-sama hidup di negeri yang gemah ripah loh jinawi. Sedikit banyak aku menikmatinya. Namun Tasripin tidak. Ia bahkan tidak tahu bila negerinya sangat kaya.”

”Ah, ibu, dongeng apaan tuh? Yang lain dong, Bu!”

“Dongeng Naruto sama girlfriend-nya Hinata aja!”

“Jangan! Dongeng tentang Kendall Jenner menuju puncak karir modellingnya, lebih seru, Bu!”

“Ah, ngga seru! Dongeng tentang Fatin meretas popularitas! Mantap!”

“Dongeng apa sih, ‘Aku dan Tasripin’ itu? Jangan bilang ini dongeng korupsi negeri ini yang sudah tak dapat diobati lagi!”

Gelak tawa membahana. Hm, ya, lihatlah anak-anak yang dimanjakan dengan kecukupan materi ini. Dunia mereka yang riang gembira. Kontras sekali dengan dunianya Tasripin.

”Tasripin adalah seorang bocah lelaki putus sekolah berusia duabelas tahun. Seumuran dengan kalian,” aku berkata sambil mengetuk-ketuk punggung penghapus ke meja, menuntut perhatian para siswa, mereka, kanak-kanak yang tengah menjemput masa remaja, muda yang ceria.

“Kok putus sekolah? Katanya sekolah sudah gratis? Orang tuanya kemana?” pertanyaan demi pertanyaan meluncur dari benak yang kenyang asupan gizi.

Ibu Tasripin bekerja sebagai penambang pasir. Beliau meninggal karena tertimbun tanah longsor. Dan ayah Tasripin tak memiliki modal usaha. Pinjam uang tak ada jaminan. Ingin kerja sebagai tukang becak, tidak punya becak yang dikayuhnya. Menyewa becak pun harus ada penjaminnya. Mungkin karena terpikir ingin menyelamatkan keluarganya, sang ayah lantas merantau ke luar pulau. Melimpahkan seluruh tanggung-jawabnya sebagai kepala keluarga di pundak Tasripin. Adik Tasripin tiga. Riyanti, 9 tahun. Dandi, 8 tahun. Daryo si bungsu, 6 tahun. Dia merawat ketiganya tanpa diminta. Mungkin keadaanlah yang memaksanya. Namun Tasripin melakukannya dengan sepenuh keikhlasan hati.

“Kalau Riyanti malas mengaji, saya bentak saja,” kata Tasripin.

Suatu hari Riyanti mogok mengaji. Teman-teman mengejeknya bau karena rambutnya tak pernah dicuci. Tasripin sudah berusaha. Tapi kutu dan bakteri di luar kemampuannya. Tasripin tak kehilangan akal. Rambut Riyanti lalu dia pangkas. Dan hasilnya, Riyanti semakin menjadi bahan olok-olok temannya karena rambut yang terlalu pendek dan tak beraturan.

“Daripada tidak mengaji, nanti dosa, ya sudah, saya yang ajarin adik mengaji di rumah,” jelas Tasripin polos. Syukurlah uang wesel dari ayah sebulan tigapuluh ribu bisa dia sisihkan untuk kerudung Riyanti agar adiknya itu tak malu lagi pergi mengaji.

Seperti Tasripin, adikku juga ada tiga. Seorang kuliah di perguruan tinggi negeri dengan city car yang menambah gaya. Seorang lagi di bangku SMA negeri favorit, tiap pagi kebiasaannya menggeber gas Tiger 2000 kebanggaannya. Dan si bungsu yang masih duduk di kelas dua SMP belum diijinkan memiliki tunggangan, namun kemana-mana ada ojek tetangga yang siap mengantar-jemput dirinya. Aku lupa kapan terakhir kali menjaga ketiga adikku bila ibu sedang repot mengerjakan sesuatu. Seringnya abai, karena pintarnya aku mencari alasan.

Ada dua mesin cuci otomatis di rumahku. Tapi tombol-tombolnya pun jarang kusentuh. Aku juga lupa kapan terakhir kali mencuci pakaianku sendiri. Di sungai dan sumur tetangganya, Tasripin juga tidak melihat ada tombol-tombol, namun ia tetap mencucikan baju ketiga adiknya.

Aku tidak terlalu suka kerja memasak. Kerapnya berlindung dibalik alasan lelah mengajar seharian. Tasripin menanak nasi dan pergi ke gunung mencari tanaman yang bisa diolahnya menjadi sayur lauk. Dia juga menidurkan adik-adiknya. Menetramkan mereka dari ketakutan akan gelap, lolong binatang buas, angin yang menyelusup di sela dinding papan, dan kabut sisa sore hari yang kian melembapkan lantai tanah di rumahnya.

“Adakah dari kalian yang rumahnya masih berlantai tanah?” Siswa-siswiku tak menjawab. Mereka tertunduk menekuni lantai berkeramik kw-1 di gedung sekolah yang lengkap dengan segala fasilitasnya.

Kerudung beraneka warna, semua terbuat dari bahan-bahan yang lembut. Gamis-gamis berharga ratusan ribu. Semuanya tersusun teratur di dalam lemari jati berpintu tiga di dalam kamarku. Tasripin dan adiknya mengganti baju dua hari sekali. Tak ada rupa yang berkilau, gilasan setrika yang rapi, di dalam lemarinya. Sebab tangan kecil Tasripin bukan mesin otomatis. Apa yang bisa diharapkan dari bocah lelaki duabelas tahun.

Aku berkutat di ibukota. Mengeluhkan kemacetan, polusi suara dan kelabunya udara. Tasripin bahkan tidak tahu dimana letaknya Jakarta. Radio dan televisi ia tak punya. Lagian, ngapain juga ke sana? Kepapaannya hanya akan dimanfaatkan makelar anak dan mafia pengemis saja.

Aku bicara keras soal hak asasi manusia. Kubilang merokok adalah hak asasi manusia. Menghisap zat additve adalah hak asasi manusia apalagi duit yang kupakai untuk mengkonsumsinya hasil kerja kerasku sendiri. Telunjukku gemas menuding pada komisi nasional yang bercorong hak asasi manusia. Tasripin pula tidak tahu bilamana hak asasi yang dimilikinya sebagai manusia.

Aku merawat Angoraku sepenuh cinta. Burung-burung dara kubuatkan sangkar yang membuat mereka selalu ingin kembali. Dua anjing berbaring malas-malasan di kandangnya yang nyaman. Namun Tasripin harus selalu waspada melindungi tiga adiknya dari intaian babi hutan dan binatang liar yang hidup bertetangga dengannya. Tasripin tidak terpikir pertolongan pertama yang akan dia peroleh dengan lokasi desanya terpencil dan tak terjamah tangan-tangan infrastruktur.

Aku tengah membangun rumah tinggal dengan anggaran sekian milyar. Agar orang terkesan kusilakan wartawan meliput sejak peletakan batu pondasinya. Tasripin tak mempersoalkan rumahnya yang dalam kamusku itulah bedeng tempat mengaso para kuli yang sedang membangun istanaku.

Aku membayar media untuk setiap detil aktifitasku. Nyaleg. Nyoblos. Nyalon. Nyinetron. Nyinden di forum-forum bergengsi. Nyatroni rumah pacar. Kalau perlu buang hajatpun mauku disorot kamera. Simbiosis mutualisma. Aku tenar. Media kaya. Para karyawannya pun dibuat senang dengan gajinya. Keluarga sejahtera, beres perkara. Namun bukan itu yang dilakukan Tasripin. Dia tak perlu membayar media. Dengan kemiskinan akutnya dia tambahkan kekayaan sebanyak yang diminta media. Oplah melonjak. Rating melenting. Telepon di meja redaksi krang-kring. Pemirsa sibuk menanyakan nomor rekening untuk donasi bagi Tasripin. Media dinobatkan dengan anugerah penghargaan. Sedang Tasripin tiga bulan kemudian pun sudah kembali kepada kepapaannya.

Aku mengumbar kata di jejaring sosial. Mengubah status tiap detik. Membual di blog ternama. Membalas canda dan makian sama seringnya. Menyentil isu sosial dengan gaya pongah. Tasripin di atas balai bambunya yang berderak-derak, tidur berempat, berbagi lapak di bilik lembap tanpa pelukan hangat kedua orang tua. Kata-kata yang diumbar Tasripin, lebih ditujukan kepada Tuhan. Tentang dimana Dia? Mengapa kasihNya tak turun jua? Kapankah ayahnya kan datang menjenguknya? Adakah ayah merindukannya pula? Atau memikirkan dirinya yang hidup berkesusahan dengan tiga adik di dusun yang tak tersebut dalam peta Nusantara? Ataukah ayah telah lupa, mungkin telah beristri lagi dengan adik-adik kecil lain yang telah menyita seluruh perhatian dan kasih sayang ayah?

Aku berteriak tentang harga bawang yang melonjak. Menyalahkan tengkulak. Tapi tetap kumelahap gulai dan rendang dengan nikmat. Tasripin cukup mengupas dua siung bawang, bumbu yang dipakainya membuat sayur bening dari ‘tlengguk’ daun ketela rambat.

Aku rajin mengikuti majlis. Bahkan pengajian yang kuikuti mewajibkan ibadah sunah sepekan wajib dilaporkan. Bukan untuk riya tapi memotivasi diri menjadi pribadi tinggi mulia. Tasripin tak perlu menargetkan apa-apa. Shalat sesuai ukuran bocahnya. Dia tak lelah mendorong adiknya pergi ke mushola. Bila adik malu atau enggan karena ejekan teman, Tasripin tanpa titah dari guru, berinisiatif mengajari sendiri. Dan kesendiriannya itu telah menggugurkan seluruh nilai ibadahku.

“Kalau ibu peduli pada Tasripin, bersediakah ibu ditempatkan di dusun terpencil tempat Tasripin dan ketiga adiknya itu tinggal?” seorang siswa bertanya polos tanpa pretensi.

Aku tersenyum masam. Bersediakah aku? Tiba-tiba aku teringat doaku beberapa tahun lalu. Doa agar mendapat jatah dinas di dalam kota, lokasi yang terdekat dengan mal dan kafenya, toko buku dan bioskopnya, toko musik dan toko bajunya. Aku teringat pada kafe yang free wi-fi, tempatku biasa duduk menggelar laptop, menyeruput kopi seduhan tangan barista, sambil curi-curi pandang pada sesama pengunjung. Senyumku semakin kecut kala teringat permohonan dan sogokan di awal pengangkatan demi penempatan tugas di dalam kota, dekat dengan orang tua, pacar dan sanak keluarga, teman dan kolega.

Aku aktif sebagai anggota dewan, kader partai idealis yang bertekad menuntaskan kemiskinan. Ironisnya, Tasripin tak perlu memasang baliho, berteriak sumbang di layar kaca, gebrak meja di rapat-rapat yang disorot kamera. Ia cukup bertahan dengan segala derita kepapaannya dan dari sana Tasripin akan memberikanku kedudukan yang mulia.

Aku menggunakan dongeng sebagai salah satu metoda mengajar. Dan aku digaji karenanya. Tasripin mendongeng sebisanya untuk menentramkan adik bungsu yang sulit tidur, badan sakit karena kasur yang tak memadai, rindu pula pada pelukan ibu yang telah tiada, ayah yang merantau entah kapan kembalinya.

Aku bergaduh tentang gelar pahlawan nasional, pahlawan tanpa tanda jasa dan pahlawan-pahlawan lain dengan bermacam medali. Tasripin tak sadari dirinyalah pahlawan yang sesungguhnya. Single-fighter yang berhasil mengalahkan fantasi kanak-kanaknya dan terpenting adalah nafsu egoisnya. Tahunya hanya berjuang dan berjuang demi hidupnya dan ketiga adiknya. Tasripin pula adalah pejuang kasih sayang yang nyata. Iapun pembela hak asasi tanpa komisi. Ia kesampingkan hak asasi dirinya dan lebih mendahulukan hak asasi adik-adiknya. Tasripin tak mendapat pendidikan tinggi, sekolah di luar negeri, swasta yang berbujet medeni, untuk jadikan dirinya pejuang hak asasi sejati. Walau egoku masih saja angkuh berkata, “Ah, semua itukan karena dorongan paksa suatu kondisi?”

Kepada siswa-siswiku, banyak sudah kusampaikan contoh sesuatu yang salah dan benar. Tasripin tak banyak berkata. Dengan hidup dan kesehariannya ia ajarkan, ia tunjukkan, yang benar. Dan yang salah jelas ada padaku karena selalu ngotot ingin berkuasa demi kendali penuh pada hiruk-pikuk negeri ini.

Aku sibuk berfatwa tentang ajaran yang paling benar. Tasripin tak peduli aliran. Ia tahunya menuntun adiknya ke mushola terdekat. Memberi semangat pada adik-adiknya untuk terus mengaji walau apapun yang terjadi.

“Besok kita kumpulkan bendera-bendera partai yang banyak menghiasi jalan-jalan untuk bahan selimut Tasripin, ya, Bu?” usul seorang siswa.

“Besok kita cegah negara tetangga seenaknya mengeruk pasir-pasir. Kita kumpulkan pasirnya untuk menguruk rumah Tasripin, ya, Bu?” usul yang lain.

“Besok kita hemat biaya UN agar Tasripin bisa kembali sekolah, ya, Bu?”

“Besok kita kumpulkan tepuk tangan di rapat-rapat anggota dewan untuk menyemangati Tasripin, ya, Bu?”

“Besok kita jangan sering-sering umroh ya, Bu. Bukankah biayanya lebih baik disumbangkan kepada Tasripin? Allah pasti setuju.”

“Besok kita jangan sering-sering studi ke luar negeri ya, Bu? Bukankah bujetnya lebih berguna untuk memperbaiki rumah Tasripin, menghilangkan penyakit di rambut Riyanti, memberi pekerjaan pada ayahnya agar tidak pergi jauh meninggalkan Tasripin dan adik-adiknya.”

“Ah, jangan lebay luh. Kalau ngga keluar negeri, masak studi sama si Tasripin?”

Pecahlah tawa.

“Ah, Ibu, kirain dongeng ‘Aku dan Tasripin’ itu sekuelnya Upin dan Ipin…”

Gelaknya kian membahana. Hm, begitulah anak-anak. Tak pernah lupa menyelipkan tawa canda. Andai Tasripin dan adiknya pun memiliki kelakar yang sama di hidupnya yang tak ceria…

Dongeng ini sebenarnya kudapatkan dari seorang relawan yang kebetulan menemukan Tasripin. Nuraniku lantas tersentuh. Bergegas kukumpulkan bala bantuan. Berbondong-bondong menjenguk Tasripin. Dan tentu saja kuisyaratkan pada media agar hidung detektifnya mengendus demo aksi sosialku. Kilat cahaya dari sorotan tajam kamera yang nyata-nyata tak mampu menelisik agenda tertentu yang tersembunyi di kedalaman hatiku. Yang media sebarkan bak diaspora tentunya adalah epos kepahlawananku dalam tajuk ‘Aku dan Tasripin’. Dongeng generasi ke generasi, pengantar mimpi abadi…

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun