[image:1xdotcom_stefan mueller/pinjam yaa]
.)13(.
Dalam sekejap, Gangsalares menjadi nama yang paling sering dibicarakan di desa Gilingetan dan desa-desa lain yang terpercik gaung popularitas kelima bocah itu. Mereka serentak didapuk sebagai ikon bagi desa Gilingetan.
Sepak terjang Gangsalares itu mungkin telah memicu pemikiran aparat pemerintahan hingga tak lama kemudian pun, jembatan tali dadung itu diganti dengan… tali baja!
Olala, tali baja? Orang pun ramai bergunjing tentang sebutannya yang tetap ‘tali’, hingga tak mengubah keadaan seperti yang mereka harapkan. Medianya yang sejuta kali berbeda, lebih kokoh konon katanya, tetap tak mampu menghapus kengerian saat melintasinya. Adapun kestabilan yang tidak mudah bergoyang pun tidak serta merta menambah keberanian atau meminimalisir resiko bahayanya. Justru semua kelebihan yang dimilikinya itu, ternyata berbuah menjadi kutukan saat air hujan melicinkan sekujur badan bajanya.
Upaya yang semula dianggap cerdas dan diharapkan dapat membungkam keluh kesah rakyat jelata itu, nyatanya hanya menggembungkan kantong sebagian para kontraktor yang menang tender karena segepok uang sogok. Bahkan tragisnya, jembatan tali baja yang baru berumur beberapa minggu itu, akhirnya meminta korban.
Seorang ibu terpeleset di atas tali baja yang licin dan jatuh ke dalam arus sungai yang bergolak bersama balita dalam gendongannya! Berita menggegerkan itu direspon dengan ledakan tangis dan kemarahan seluruh warga desa. Mereka berbondong-bondong datang ke kantor kelurahan, meminta pertanggungjawaban kepada pihak yang berwenang di sana.
Seperti biasanya, mas lurah Arifudin menyambut kedatangan warganya dengan sikap tenang penuh wibawa –sikap yang dipelajarinya selama masa pendidikan di sekolahnya dulu, tentang bagaimana cara seorang pemimpin meredam kemarahan rakyat– kemudian berjanji akan menyampaikan aspirasi mereka ke pemerintah daerah dan pusat. Sesuai harapan, rakyatnya pun tenang. Janji manis memang selalu indah diserap telinga dan membujuk gundah di hati. Perkara terpenuhi atau tidaknya janji itu, sampai jumpa di sidang berikutnya nanti.
Tiga hari kemudian jasad si ibu ditemukan mengapung, tersangkut akar pohon yang tumbang menyuruk ke dalam sungai. Bayinya yang berusia sekitar setahunan tak dapat ditemukan, hilang ditelan arus sungai Gilibanyu. Atas desakan warga dan keluarga korban, pencarian diperpanjang hingga beberapa hari, walau pada akhirnya dihentikan karena keterbatasan dana dan peralatan. Akhirnya diputuskan bahwa jasad muda belia tak berdosa itu musnah tergerus arus atau habis tak bersisa dimakan buaya.
”Sing mbaurekso Gilibanyulah yang menginginkan bayek itu untuk dijadikan perhiasan di istananya yang tak kasatmata,” ujar warga yang masih menyakini adanya kekuatan supranatural.
Desa-desa di lembah Gilihinggil dibuat gempar oleh kejadian nahas itu. Gaungnya melebihi kejadian saat runtuhnya jembatan lama. Warga berbondong datang, menyimak tangis pilu dan raungan yang begitu pedih menyayat hati dari keluarga yang ditinggalkan dua anggota keluarganya sekaligus. Wajah-wajah pelayat yang terperangkap duka, nafsu berkata-kata menghilang begitu saja, padahal belum lama mulut-mulut itu bagai moncong mitraliur yang deras menghujani Satria dan keluarganya dengan peluru makian yang seolah takkan ada habisnya. Namun dalam masa berkabung seperti ini, kata-kata mubah tergantikan doa yang terus dipanjatkan hingga prosesi pemakaman.
Aku tengah duduk diam di atas sebuah nisan, tak jauh dari liang yang mulai ditimbun tanah, mengamati ritual demi ritual yang dulu sekali pernah kujalani, prosesi yang mengantarkanku di sini, terperangkap dimensi nisbi.
Tak ayal lagi, tragedi kematian yang mengiris hati itupun menjadi akhir riwayat jembatan tali baja yang sejak awal kehadirannya telah mengundang banyak pro dan kontra. Tak nampak lagi bentangan tali –dadung ataupun baja– di sepanjang diameter sungai. Yang tertinggal dan utuh tak tersentuh adalah badan kali yang membujur, menggelontor beban gelimang air sewarna coklat-susu, menyusuri tiap kelok hingga akhir perjalanannya kelak di mulut samudera.
Dilematis dan ironis, itulah yang terjadi belakangan hari di desa Gilingetan ini. Tragedi itu membuat warga semakin yakin bahwa keputusan bebas bagi Satria dan teman-temannya itu adalah mutlak benar. Mereka seperti dibukakan matanya, bahwa anak-anak SDN Gilihutama 1 itu punya niat yang mulia. Andai saat itu niat baik Gangasalares direspon dengan cepat, maka tak perlu terjadi tragedi semacam ini.
Ironisnya, polemik yang dahulu terasa nyelekit kini membias, berubah menjadi sanjungan dan perbincangan hangat dimana-mana. Warga tak sungkan menyebut-nyebut nama Satria dengan decak kekaguman. Dan bias itupun semakin menebarkan pesonanya bersama hadirnya beberapa perangkat alat-alat berat di gerbang desa yang berindikasi akan ada pembangunan sebuah jembatan baru yang permanen secara konstruksi.
“Kalau bukan karena ulah Satria dan teman-temannya itu,” demikian kalimat yang kini umum terdengar.
Bungahku tengah buncah. Kuharap setelah ini, tak ada lagi airmata duka yang tumpah di keluarga Satria. Walaupun tragedi dan bahagia memang selalu main mata. Itu sesuatu yang lumrah terjadi di dunia manapun, maya atau nyata. Aku bukan sedang mensyukuri kematian seseorang atau berbahagia di atas penderitaan orang lain, tapi eh, mengapa tidak? Bukankah banyak orang melakukan hal seperti itu tanpa malu-malu? Aku justru lebih sopan, karena tak seorangpun yang melihat perilaku busukku itu.
Siapa ? Aku dalang tragedi itu? Tidak! Cabut prasangka hina itu! DemiNya Yang Maha Tahu, aku sama sekali tak terlibat dalam urusan mencabut nyawa. Sejak tertangkap basah menyalahgunakan kekuatanku untuk menggalang bukit batu itu, aku tak lagi berhak atas keistimewaan apapun kecuali kemampuan membaca isi hati dan pikiran yang memang telah menjadi fitrah bagi kaumku. Maka, sekali lagi kutegaskan, sungguh demi Sang Pemilik Jiwa, aku tak lagi turut campur dari setiap peristiwa yang terjadi di desa ini. Tidak! Tidak pada tragedi kematian ibu dan balitanya yang kuyakin akan mengendap lama dan sulit dilupakan bagi warga desa ini. Selamanya kewenangan atas hidup-mati seorang mahluk ada di tanganNya, bukan padaku atau kaumku yang notabene masih perlu tunduk dan takluk pada Sang Maha Pencipta.
.)*(.
Imran dalam perjalanan pulang usai mengantar Satria ke sekolahnya. Ketika dilihatnya jalanan desa berlimpah dengan kendaraan roda empat, gagah dan pongah mengusung emblem merek-merek ternama. Tidak biasanya seperti ini. Jalan desa yang selalu ramai oleh sepeda, motor dan angkot, kini berubah layaknya lahan parkir sebuah gedung perkantoran di kota besar. Yang menggelikan, mobil ambulans pun ikut-ikutan ngetem di sepanjang bahu jalan desa. Pemandangan ini tak ubahnya terminal dadakan yang membuat sepat mata.
Yang lebih mengherankan, ketika cuaca pun menjadi latah terkesima dengan ‘pameran otomotif itu’. Matahari bersinar blak-blakkan mengiringi arak-arakan para pembesar dari kota yang berlangsung hingga sepenggalah hari. Entah kemana perginya gelayut mendung yang belakangan sering terjadi. Dan bagaimana bisa kekacauan cuaca normal kembali hanya dalam hitungan hari. Tapi begitulah, Tuhan memang selalu punya kehendak berbeda dari yang kita punya.
Aku terbirit mengikuti gerung motor Imran. Sesekali kutantang surya, pasang radar mencoba mencuri dengar titah Baginda dengan para malaikatNya tentang keanehan cuaca ini, supaya ramalan yang dibaca pewarta berita di televisi tidak melulu salah terka.
Imran menepikan motornya, menghindari singgungan mikro yang beresiko makro. Memberi keleluasaan pawai mobil berbodi besar minim penumpang yang tak kehilangan keanggunannya kala melaju di atas jalanan sempit tak beraspal. Kudengar batin si Imran mencibir pada dagelan boros yang anehnya didiamkan para penguasa. Bodi bercat silver, hitam, putih terlihat sama kinclongnya dengan sepatu LV Men damier hitam yang gagah berkelas namun berubah menjadi pengecut saat berhadapan dengan tanah becek berlumpur.
Hihihi, aku terkikik geli melihat betapa besarnya rasa sayang mereka, orang-orang kota itu, terhadap materi dunianya. Ouh, ouh, malangnya kalian, pejabat yang terhormat, aku bersorak mentertawai keluh hati mereka yang tak henti tentang repotnya tugas ini, betapa menyebalkannya tanah becek ini dan tentang mengerikannya dusun dengan orang-orangnya yang masih primitive ini.
Bagi warga desa yang seumur hidupnya hanya melihat gemerlap keindahan penampilan para wakilnya di layar kaca sebuah kotak ajaib pemoles wajah peradaban secara mengglobal, pemandangan ini merupakan fenomena. Petani-petani menghentikan langkahnya ke ladang. Para pedagang yang tengah melintas pun urung mengantar dagangannya ke pasar dan lebih suka membuka lapaknya di pinggiran jalan. Kapan lagi akan ada rejeki nomplok seperti ini, begitu mungkin pikirnya.
Berpuluh pasang mata yang biasanya silau oleh sinar matahari mendadak betah mengagumi kemilau pesona yang ditampilkan para wakilnya. Mulut-mulut yang sejak lahir dilatih melengking nyaring untuk menghardik burung-burung prenjak pencuri bulir padi, mengganti rimanya dengan decak-decak kekaguman tiada henti. Ah, uh, oh, wah, wih, woh, menjadi sukukata yang paling terdengar saat itu. Aku sempat mengira mereka tengah mengulang salah satu mata pelajaran dalam program Kejar Paket A!
Jangan salahkan mata yang baru kali ini melihat setelan safari, dasi Armani, kacamata hitam Oakley, tangan-tangan yang perkasa menggenggam Blackberry. Tatapan penuh kagum hingga waktu pun seolah terhenti. Parang dan cangkul sementara menganggur. Angkringan dipaksa turun dari bahu yang hari ini jadi bosan memikul. Bakul-bakul pun melorot dari punggung melengkung yang selama ini setia menggendongnya. Para pemilik wajah-wajah lugu itu agaknya tengah kemaruk memanjakan mata ndeso-nya.
Hal yang sama terjadi di tiap instansi. Pegawai kelurahan, kecamatan dan beberapa pegawai instansi terkait terlihat hilir-mudik, sibuk seperti Hamster di atas roda jogging-nya. Tak sedikit yang salah tingkah tak tahu arah. Arsip-arsip yang biasanya damai dalam tumpukan yang menggunung, kini basah oleh ketiak yang menjepitnya kemanapun kesibukkan itu memanggil. Map dan berkas-berkas menjadi obyek yang terpenting di atas segalanya, padahal fungsinya saat ini tak lebih dari sekedar asesori atau pelengkap kesibukkan yang terkesan dipaksakan. Eh, tidak lucu kan, bila kesibukkan dilakukan dengan tangan berlenggang-kangkung saja? Ini bukan pagelaran sendratari, Kang! Ini mobilitas tinggi dari kami, para abdi negara yang mumpuni. Begitulah anganku kira-kira, soal bela diri mereka, bila disinggung kinerja.
Yang tak kalah sibuknya adalah para ajudan bertubuh kekar berseragam hitam seperti pendekar silat dari berbagai padepokan. Bedanya hanya pada ketiadaan iket/destar di kepala. Mereka gulung-komingmengurusi kepentingan istimewa para pejabat pusat. Ada yang sibuk menunduk, memoles tiap kata, memajang seramah mungkin senyuman dan mengiyakan segala sabda.
”Baik, Pak. Instruksi bapak memang sangat tepat. Baik, Pak. Perintah bapak akan segera kami laksanakan. Baik. Baik. Siap, Pak!” demikianlah sungguh tak terbilang sibuknya. Kesibukan yang pada intinya hanyalah ritual penyembahan demi imbalan kelanggengan kedudukan mereka sendiri.
Mulut Imran kian meruncing. Lalu dengan gemas, tangannya menekan stang gasnya lebih dalam. Motornya menggerung geram dan melompat menjauhi segala kepalsuan yang memuakkan.
”Perlukah se-chaos ini Sur? Seperti konvoi menyambut kedatangan presiden saja. Kalian pikir semua ini tanpa biaya, apa ?!” Imran mencak-mencak pada Suryadilaga yang dijumpainya di bengkelnya pagi jelang siang, keesokan harinya.
”Sompret ! Ini semua bukan mauku, Ron!” Suryadilaga balas menghardik. ”Kau tau sendiri kerja wartawan, baik yang infotainment ataupun news, mereka adalah detektif partikelir yang berlindung dibalik rompi bertuliskan kata ‘Pers’! Sedetik mereka terima bocoran, maka detik itu pula mereka telah menyebar seperti virus Sality. Dompet!” keras Suryadilaga berkata.
”Jadi maksudmu, seharusnya aku tak perlu repot mengirim petisi, mosi atau terasi kepada kalian? Cukup telefon wartawan saja agar masalah kami tuntas dibahas, begitu?!” Imran meledak-ledak.
”Jambret ! Apa sih yang bisa menumpulkan mulutmu itu? Dari sejak kuliah sampai di-DO semakin gahar saja. Ingat Ron, levelku masih Penata Muda 1, bisaku apa kecuali hanya menyodorkan suratmu kepada para atasanku lalu lobbying semampuku. Presiden saja ribet dengan birokrasi apalagi pegawai cere-mere sepertiku ? Copet!”
Imran tak bereaksi. Tangannya menyambut nampan dari si Mutong, seorang bujang di bengkelnya, lalu meraih satu gelas berlogo merek mobil untuk dirinya dan menyodorkan segelas yang lain kepada Suryadilaga seraya berkata, “Lalu kerja kalian sebenarnya apa sih? Sibuk studi banding ke luar negeri? Atau menumpuk upeti? Atau gedung manalagi yang perlu renovasi?!”
“Kampret! Bicaramu asal njeplak saja! Kalau kau mau tahu, bawa dulu otak pintarmu itu ke kantor kami, daripada disia-siakan di bengkel jelek seperti ini. Bethet!” berkata begitu, Suryadilaga menendang apa saja yang berada tepat di ujung sepatunya. Namun mengaduh ketika sepatu hitam mengkilap itu mengenai wadah peralatan bengkel berupa kotak besi berbobot 30-an kg.
“Aku hanya menyesalkan mengapa harus menunggu hingga jatuh korban, baru kalian ambil tindakan. Dan bukankah lebih etis, jika kalian mengirim traktor atau alat berat yang diperlukan lebih dulu? Kenapa justru berbondong-bondong dengan Mercy?!”
“Kupret! Ini bukti bahwa kami peduli! Sudahlah, yang penting sekarang jembatan kau itu sudah mau diurus. By the way, kalau bukan nama Satria yang mendadak tenar, selamanya aku tidak akan pernah tahu kau sembunyi di desa ini. Kunthet!”
“Oh, itu. Ya, gara-gara demo yang berbuntut di-DO, beginilah wajah kehidupanku sekarang. Kenapa? Jangan bilang kalau kau malu punya teman pecundang macam diriku, heh?!”
”Pelet! Aku belum lupa, Ron, siapa yang dulu kerap mangkir kuliah. Masih juga berasalan! Dan kau pikir aku tidak tahu kalau tujuan hidupmu sekarang adalah perempuan? Santhet !” Suryadilaga menggoda.
”Dasar mulut minta dijepret! Aku bukan kau, si tukang pelet perempuan!” Imran melempar kanebo ke arah teman lamanya.
”Songket ! Jujur saja padaku Ron! Sudah berapa lama kau menetap di desa ini, ha? Masak sudah bulukan, masih belum berhasil menyematkan cincin di jarinya? Serbet!”
”Suryadikentut Bedinde Pemerintah! Jari siapa, bah?! Bagus benar kalau ada perempuan yang mau jarinya disematkan cincin-piston, heh?!” Imran lalu terbahak namun lebih pada mentertawakan dirinya sendiri.
”Toilet! Jadi, rupanya ibunya si Satria itu, maunya cincin berlian? Wah, ke laut aja deh lu!” wajah Suryadilaga sumringah merasa tebakannya benar, melihat Imran terlihat semakin gerah dibombardir ledekannya. “Dasar oplet! makin berumur, makin lamban pula, kau ini rupanya!”
Olala, sungguh ku pening dengar obrolan keduanya; sahabat lama yang tanpa sengaja telah dipertemukan kembali oleh Satria. Aku benar-benar tak yakin inti sari yang dapat kupetik dari perbincangan penuh nada ketegangan itu, kecuali kosakata baru yang terdengar menggelikan: sompret, dompet, bethet, kampret, songket, serbet, jambret, copet, kunthet, kupret, pelet, santhet, oplet dan… toilet?!! Ups, kata terakhir yang bersinonim jamban itu segera mengingatkanku pada seorang kawan, ia yang berasal dari golongan berkebiasaan mendekam di sana. Baunya yang bikin kepayang, begitu alasan yang dikemukakannya…
.)bersambung(.