Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Klaudia, Sang Pembantu Rumah Tangga|4

4 Januari 2013   04:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:32 679 4

[image:123RF stockphotofree]

~.~

Andaikan nyonya Ilyas lebih tabah, mungkin rumah tangganya tak akan bubrah. Dari debat yang sempat kudengar, nyonya sebenarnya tidak keberatan suaminya berpoligami hingga batas maksimal mengingat dirinya adalah pria berkebutuhan hiper, asalkan jangan jajan, nikah siripun tak apa demi anak-anak mereka, terutamanya yang perempuan. Lalu nyonya menyebut-nyebut tentang hukum karma dan entah apalagi karena aku keburu menutup pintu penghubung yang membatasi dapur dengan kamar para pembantu.

Nyonya Ilyas memboyong seluruh sakit hati berikut keluarganya tentu, ke sebuah kota kecil berjarak delapan jam perjalanan kereta dari ibukota. Hanya mas Sandy dan mas Harlan yang tinggal untuk meneruskan pendidikannya.

Di tepi jalan sudah berbaris empat truk yang akan berkonvoy membawa sebagian perabot rumah tangga. Entah sisanya yang masih memenuhi rumah itu mau diapakan. Walau sedih tak terkira, mau tak mau aku harus angkat kaki juga. Kami bertiga, aku, Sumi dan Tanti, dengan berat hati meninggalkan rumah besar yang selama ini menjadi tempat kebanggaan kami untuk menumpang hidup. Sisa pembantu yang lain hanyalah pocokan, pembantu yang datang pagi pulang sore, jadi tak ada masalah, mereka bisa mengetuk pintu-pintu rumah yang lain untuk mendapatkan kerja hariannya. Suminarti dan Tantini memutuskan kembali ke kampung halaman.

“Pergilah ke alamat ini. Aku sudah telepon ke nyonya yang punya rumah kalau kamu mau datang.”

Sambil berucap terima kasih yang tak habis-habisnya, kertas memo itu kuterima sepenuh hati dengan tak lupa kucium punggung tangan nyonya yang harum mewangi. Permintaan maaf sudah jelas kusampaikan, andaikata selama ndherek dengannya ada pelayananku yang kurang berkenan. Tapi nyonya Ilyas terlalu larut dalam kesedihannya, ia tak terlalu menanggapi, hanya diam sambil beberapa kali nguncal ambegan saja. Iba benar hatiku padanya. Walau hidup dalam gelimang harta, namun tak satupun yang dapat diajak gendhu-gendhu rasa sekedar pelipur duka lara. Semoga Gusti Allah melapangkan jalan bagimu, Nyah. Kudoakan nyonya dengan segenap ketulusanku.

Sehari itu aku terpaksa keliling ibukota. Bukan melancong untuk merayakan kebebasanku, tapi sopir taksi biru yang kutumpangi berdalih alamat yang dimaksud cukup jauh lokasinya.

“Apa masih jauh alamat itu, Bang?” tanyaku was-was.

”Masih, Neng. Ngga papa kan? Itung-itung jalan-jalan, ya ngga, Neng?” jawab si abang sambil cengengesan lewat kaca spion di atas kepalanya. Lèmès amat nih si abang, jangan-jangan…, batinku ketar-ketir.

”Kalau begitu turunkan saya di Komdak saja deh, Bang,” naluriku berkata harus segera berubah haluan.

”Ha? Mau ngapain di Komdak, Neng? Bah, jangan berpikir abang ini mau menipumu. Tidaklah, bah! Memang alamat eneng itu yang jauh, bah!”

”Bukan begitu, Bang. Saya baru ingat kalau sudah janji sama saudara saya di Komdak sana,” kataku sedikit berbohong. Ketahuan tidak ya? Cepat kusentuh kedua pipi, menahan kedutan yang pasti timbul setiap kali habis berdusta.

”Oh, begitu rupanya? Bagaimana kalau abang turunkan Eneng di Ragunan?” tanya si Abang masih juga menjajal peruntungannya.

“Ragunan? Kenapa Bang? Memangnya Abang ada janji juga sama saudaranya di sana?”

Rasanya tak ada yang lucu dari pertanyaanku. Tercetus begitu saja. Polos tanpa pretensi, hihi. Siapa nyana justru itu berhasil mengendurkan ketegangan yang sempat terjadi beberapa menit lalu. Si abang sopir taksi terdengar tertawa terpingkal-pingkal. Matanya bahkan sampai berkaca-kaca. Walhasil ‘pelesiran’ itu malah berbuntut tanpa sepeserpun bea dipungut.

Dan ternyata benar, alamat yang kutuju tak mungkin sesulit itu untuk dicari, sebab letaknya di jalan besar yang sangat mudah dikenali. Bangunannya didominasi warna merah. Halaman depannya yang luas ditutupi paving block dengan sudut yang dijejali rerumputan raksasa yaitu bambu hias. Sekilas mirip dengan klentheng. Anehnya, tak  sedikitpun tercium bauan yang menyeruak tajam dari kertas-kertas doa yang dibakar, dupa atau hio-hio dengan kumpulan abu di puncaknya. Dan anggapan sekilas itu langsung dipatahkan oleh aroma yang sangat lezat dan menggugah selera. Untuk beberapa saat, aku dipaksa kenyang menelan liurku sendiri. Cleguk, cleguk.

Sekali lagi kubaca memo dari nyonya Ilyas. Memo yang sudah lecek karena kebanyakan diremek-remek. ‘Hallalan Thoyibban Chinese Restaurant’. Tak salah lagi, inilah tempatnya. Walau ini adalah restoran Tionghoa, namun karena direkomendasikan nyonya Ilyas, maka hatiku tak perlu lagi berat menimbang. Akupun melangkah ringan, siap untuk berjuang.

Cali siyapa-haa?” seorang opa berkaus singlet saja menegurku dengan wajah ceria. Dari pertanyaannya, terkesan dia sudah tahu aku bukanlah seorang pelanggan. Namun dia tetap sopan dan memasang wajah ramah. Belum apa-apa, aku sudah merasa kerasan. Entahlah, terkadang muncul intuisi seperti itu.

“Saya suruhannya nyonya Ilyas.”

“Nyonya Ilyas-ha? Suami olang Menado-ha?” tanya opa sambil terus menggoyang-goyang kipas kertas bergambar putri tiongkok. Kaus singletnya dikibas-kibas. Kaus yang kuyakin labelnya bergambar angsa biru. Yakinlah, sebab itu satu-satunya merek kaus singlet yang abadi merajai pasaran. Kaus singkek, demikian sebutan kami orang kampung.

”Di sini harus berani kerja keras. Bangun pagi, tidur larut malam. Ini restoran. Kita orang layani tamu-tamu yang mau makan. Muka tak boleh masam. Harus senyum walau hati sedang muram. Kerja di sini berbeda dengan kerja di rumah nyonya Ilyas. Mau?”

Penjelasan di atas disampaikan dengan tegas. Tak perlu cap jempol, cukup dengan hanya sekali anggukan, maka perjanjian kerjaku hari itu telah disepakati dua belah pihak. Aku dan pak Wijaya.

Awalnya aku bingung hendak memanggil nama apa pada jurangan peranakan Tionghoa ini. Karyawan senior semua memanggillnya Koh Ah Hok, karena namanya Hok Sioe. Karyawan yang lebih muda memanggilnya Pak Wijaya, karena dia juga bernama Hendrawan Wijaya, nama yang diperolehnya sebagai hasil proses akulturasi asimilasi atau hybrida. Tentang istilah akulturasi asimilasi atau hibrida itu, hehehe, sejujurnya memang kudapatkan dari sebuah artikel yang membahas tentang presiden Sukarto bersama kebijakannya terhadap peranakan Tionghoa yang ada di Nusantara. Dari yang kupahami mungkin artinya adalah proses menyatunya dua budaya. Wis itu saja, kurang lebihnya mohonlah kiranya dapat dimaklumi. Dan dari artikel itu pula baru kutahu bahwasanya sebutan peranakan Tionghoa adalah yang paling menyenangkan bagi semua pihak terutama bagi suku cina tanpa merasa ada persepsi, dan stigma mencina-cinakan. Juga dianggap sebutan yang paling pas dibandingkan sebutan nonpri apalagi cina. Hm, pantas saja aku pernah ditegur keras oleh mak saat tertangkap basah meledek temanku Ayin dengan sebutan cina! Walau nampaknya Ayin tak keberatan karena ia langsung membalasku dengan olok-olok jawa koek, hehehe.

Halah wis mbuh-lah! Aku sama sekali tidak peduli dengan persoalan bahasa. Cina atau tionghoa, itu sama halnya dengan menyoal panggilan babu, bedinde, pembokat dan sederet istilah lainnya yang bertendensi merendahkan. Aku sih nggak masalah, lah wong memang anak tanggaku adanya di tempat yang paling rendah, mau gimana lagi? Dan itupun sama juga dengan meributkan pseudonym yang gemar dipakai oleh beberapa penulis. Dame Agatha Mary Clarissa Christie atau dunia lebih mengenalnya sebagai Agatha Christie yang juga memiliki nama lain Mary Westmacott. Lalu kepala suku Indian yang melegenda Geronimo (baca: jur-ahn'-i-moh) ternyata nama lahirnya Goyathlay, belum lagi tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan yang sudah pasti menyandang lebih dari satu nama. Jadi seharusnya tak masalah bila Hok Sioe bernama lain Hendrawan Wijaya, atau Tjin Nio istrinya yang juga bernama lain Nilawati. Beres perkara!

Di banyak kesempatan, kuupayakan semampunya untuk memanggilnya pak Wijaya atau pak Wie saja, karena dalam obrolan bersama teman, aku seringkali keceplosan menyebutnya Baba’eh karo Nyonya’eh untuk pasangan suami istri pemilik restoran terkenal itu. Sesekali Engko’eh karo Tacine karena begitulah sebutan yang umum di kampungku untuk orang dari suku Tionghoa. Hm, ternyata sulit benar ya mengubah lidah yang kadung kampung.

Pak Wijaya adalah putra dari opa bersinglet angsa. Dia generasi ketiga dari restoran penyedia segala macam masakan oriental. Leluhur mereka dari Semarang, namun telah hijrah ke ibukota sejak lama. Uniknya, bapak dan ibu Wijaya adalah pasangan mualaf. Tapi oma dan opa masih memegang kepercayaan lama. Mungkin karena perbedaan iman itu, mereka sengaja mendirikan dua rumah besar yang dipisahkan sebuah jembatan kecil berikut taman dan sungai kecil buatan. Cantiknya! Rumah mereka mirip sekali dengan rumah-rumah jepang dan cina yang kulihat dalam kalender masehi.

Bangunan kembar itu ternyata menyembunyikan banyak perbedaan saat kumasuki ruangan dalamnya. Satu rumah besar yang didiami pak Wijaya dan keluarganya sangat bernuansa islami, bukan dari pajangan kaligrafinya tapi itu loh, seluruh ruangannya steril dari bauan hio dan pernik-pernik pemujaan. Sedangkan rumah yang didiami orang tua dari pak Wijaya sangat kental dengan kultur Tionghoa. Ada sebuah ruangan yang cukup besar lengkap dengan altar penyembahan arwah leluhur. Meja abu itu bertingkat dua. Satu tingkat dibuat lebih tinggi dari meja kedua yang berfungsi untuk meletakkan foto para leluhur dengan papan kayu berukir nama-nama si pemilik foto. Di depan papan nama itu diletakkan hiolo tempat menancapkan hio sekaligus menampung abu dari hio yang sudah dibakar.

Walau bapak dan ibu Wijaya tak pernah benar-benar ikut merayakan, namun untuk menghormati orang tua mereka serta kerabat sepuh yang masih menganut ajaran Konfusius, keduanya tak pernah lalai menyelenggarakan ritual sesuai tradisi di setiap perayaan Imlek, Capgomeh, Cengbeng, Pekcun, Buka Lawang Setan, hari raya kue Tiongcupia, dan hari raya Makan Onde. Konon, sajian khas berupa daging babi tidak dihidangkan walau itu sangat melanggar tradisi, dan itu dilakukan tanpa sepengetahuan opa dan oma tentunya. Aku bilang konon, karena memang tak pernah dilibatkan secara penuh dalam mempersiapkan kegiatan religi itu, hanya sesekali disuruh memasang lampion, mengambil atau membeli barang dan bahan yang diperlukan untuk penyembahan.

Sekian bulan aku magang. Bekerja di dapur bukanlah hal baru. Tapi menghafal nama-nama jenis hidangan dalam daftar menu, itu yang seru. Semua hal kusambut dengan antusiasme tinggi. Selain pada gaji, juga pengalaman yang akan menambah pengetahuanku. Bayangkan, dari ragam kuliner Manado aku beralih ke masakan oriental yang tak boleh ketinggalan bawang putih dan bumbu lada.

“Hati-hati kasih makan orang-ha? Ini urusan perut yang menyangkut kesehatan. Kalau orang jadi sehat karena masakan kita, itu bagus. Kita juga puas. Sebaliknya kalau orang jadi sakit, apalagi dengan sengaja memasukkan sesuatu, itu kejahatan terkeji namanya. Makanya, tak boleh sembarangan-ha?”

Nasehat pak Wie benar adanya dan senada dengan petuah mak. Kehati-hatian mak saat mengolah makanan, baik untuk keluarganya sendiri maupun untuk diberikan kepada tetangga, selama ini telah kujadikan pedoman. Dan satu lagi petuah mak yang selalu kuingat, jangan pernah berbuat kejahatan sekecil apapun. Orang jahat akan memudar seperti batu asahan, habis tak bersisa. Tapi orang baik akan terus bertumbuh seperti rumput. Walau susah hidupnya karena terus terinjak, rumput selalu mampu untuk berdiri tegak. Dicabut hingga tak bersisa akarnya, barulah rumput akan menyerah. Tapi rumput lain akan cepat bertunas. Seperti itulah kebaikan.

Perilakuku yang berprinsip itu nampaknya secara diam-diam telah diamati pak dan bu Wie. Beliau berdua mungkin bisa melihat kesungguhanku. Seiring berjalannya waktu, pak dan bu Wie tak segan-segan mengajariku kombinasi ramuan bumbu dan seluk-beluk pantangan atau bahaya yang dapat ditimbulkan bila seseorang terlalu banyak mengkonsumsi sesuatu.

“Makanan bisa diibaratkan jamu atau obat bagi tubuh manusia. Kita harus paham semua bahan makanan dengan kelebihan dan kekurangannya yang dibutuhkan tubuh serta porsinya yang tepat.”

Aku jadi teringat lek Kamidi. Dia sangat doyan jengkol dan pete tapi tulang tuanya kerap membangkang bila keduanya dilahap secara gelap mata. Usai menghabiskan pete tiga papan dan semur jengkol semangkuk, pasti raungannya akan segera terdengar. Hadooh biyung, boyokku! Hehe, apa kabarmu, Lek? Suratku terakhir dengan alamat baru ini pasti sudah kau terima.

Bencana mulai menggejala, karena kekuranghati-hatianku menjaga perasaan pada sesama karyawan restoran, terutama para senior. Kedekatanku dengan pak Wie dan istrinya telah menumbuhkan syak wasangka. Isu menggunakan ajian pengasih mulai menyentil telingaku. Sebutan karyawan kesayangan semakin terdengar tak menyenangkan.

Ajian pengasih? Apa itu ya? Apakah yang dimaksud adalah rapalan doa mak seusai salatnya? Mak memang tak pernah lalai membacakan semua suratan yang dikhususkan untukku. Aku yang makmum di belakangnya, selalu mendengar dengan jelas mak menyebut as-surah yaasiin khususon Klaudia Kamilana binti Mulyana bin Minhad. Ba’da salat yang lain, mak akan menyebut as-surah al fatihah khususon Klaudia Kamilana binti Mulyana bin Minhad. Begitu seterusnya, setiap kali sebuah suratan akan dibacanya pasti didahului dengan sebutan namaku. Tapi menurut mak, semua itu ditujukan demi kesehatan dan keselamatanku, putri semata wayangnya. Apakah itu yang dimaksud dengan ajian pengasihan? Mengapa aku merasa itu hanyalah wujud besarnya kasih sayang mak kepadaku?

“Dudu! Dasar cah kemplu! Nggunung! Aji pengasihan kuwe…” jawab bu Tarmini, salah satu punggawa dapur, sewaktu kumintakan penjelasannya.

Aku pasti tengah terlena hinggaku lupa bahwa aku bekerja tak sendirian. Sebaik apapun kedekatan telah kujalin antar sesama karyawan, tapi aku tak berdaya menerima limpahan perhatian dari bapak dan ibu Wie. Mengapa pasangan itu sangat baik kepadaku? Aku sendiri tak tahu. Yang kutahu aku tak pernah palsu, selalu menjadi diriku apa adanya. Bagiku kejujuran adalah nomor satu. Apakah karena pemilik restoran itu melihatku tak pernah meninggalkan salat lima waktu walau kulakukan secara terburu-buru? Apakah karena aku orang bawaannya nyonya Ilyas yang telah menjadi pelanggan setianya? Padahal semua pertanyaan itu jawabannya antara dua saja, kalau bukan kersaning Gusti Allah pasti sebab keberuntunganku. Tak ada trik-trik yang kugunakan untuk memperoleh sesuatu dengan cara licik. Tapi tak akan pernah mudah untuk mengendalikan orang-orang yang berpikiran picik.

Demi Tuhan, jenis pekerjaanku sama dengan yang lain. Tak ada yang berbeda. Aku selalu ikut ngariung menurunkan bahan-bahan makanan kering dan sayur-mayur yang dipasok dari daerah pinggiran ibukota. Beras dari Karawang, sesekali Cianjur bila Karawang tertimpa kekeringan. Aku juga ikut memondong karung terigu, mencuci sayuran, lantas memilah sesuai keranjangnya masing-masing, bahkan memanggul sampah dalam karung besar juga kulakukan. Membersihkan meja, mengepel lantai, mencuci perabot, tak ada pekerjaan yang pernah kutolak selelah apapun kondisiku saat itu. Tak pernah kutampik ragam pekerjaan walau kutahu masing-masing sudah ada petugas yang berkewajiban melakukannya. Hanya memasak dan menjadi kasir sajalah, jenis pekerjaan yang sama sekali tak kusentuh. Ya iyalah, dua job itukan memang khususon, ngga boleh clap-clup sembarang orang, iya ngga Son? Jadi, semua kecemburuan itu pasti hanyalah cobaan untukku saja, demikian aku mencoba meredam kegelisahanku sendiri.

Namun puncaknya adalah ketika mba Wasti yang selama ini terang-terangan menyatakan diri sebagai enemy, menunjukkan tindakan provokatif tepat di mukaku. Dia dengan sengaja membuang dahaknya di atas dandang besar yang mengepul. Tanpa kesan, dahak itu disatukannya dengan nasi yang baru saja matang di dalamnya. Lalu dia mengaduknya dengan santai. Ekor matanya tajam mengiris ke arahku. Seringai bengis di bibirnya itu seolah berkata.., ah tidak, tidak. Aku tak ingin menduga-duga. Spekulasi hanya membuatku sakit kepala.

“Wadul nganah! Wadul karo bendaramu!” tantang mbak Wasti dengan kebencian yang tak terbendung di lengkung bibir dan delik matanya.

Aku menoleh kiri kanan. Walau ketakutan, tetap kucari dukungan. Tapi semua karyawan perempuan seakan tak melihat ‘kejahatan terkeji’ yang baru saja dilakukan mbak Wasti.

Wadul? Bisa saja aku melakukannya. Tapi masalahnya, hati dan pikiran manusia begitu mudahnya berubah, begitu rentan terhasut. Sementara mba Wasti adalah karyawan paling senior yang telah menggenggam kepercayaan bapak dan ibu Wie sekian lama ini. Sedangkan usia pengabdianku belumpun genap setahun. Aku benar-benar tak ingin bertaruh, sebab aku bukan penjudi kiu-kiu ulung. Tapi, nuraniku terus bergejolak marah. Maka, demi rasa kemanusiaan, kuputuskan untuk…

“Bajing^n! Lon^e! A^u! Sund^l!” makian yang kasar dan biadab dari mulut mba Wasti sontak menghentikan waktu.

Halalan Toyyiban tutup hari itu. Namun insiden dandang nasi yang sengaja kutendang, tidak serta merta membuat pak dan bu Wie merasa perlu untuk memanggil pak pulisi. Padahal tak seorangpun dari karyawannya yang berhasil dikorek mulutnya untuk mencari sebab musabab kelakuanku yang maha brutal dan super merugikan.

Enam bulan tanpa cela dengan perilaku tak ternoda, mungkin sebab itulah penghakiman yang seharusnya segera diadakan, lantas menjadi tertunda. Eeh, malahane sama sekali tak ada! Aku menganggapnya sebagai bentuk lain dari pertolongan Gusti Allah. Matur suwun Gusti... matur suwun, matur suwun, matur suwun.

Ya, aku tidak dipecat, tapi alhamdulillah tidak diijinkan lagi memasuki ranah dapur restoran yang sejak itu mulai dipasangi semacam televisi pengintai. Waktu itu belum ada sebutan cctv. Tapi paket besar dari Hongkong berupa tivi-tivi berlayar mini yang dapat disembunyikan di sudut-sudut tertentu. Pak Wie lalu mengkamuflasekan ‘mata-mata’ itu dengan hiasan kepala naga di sudut manapun yang dia kehendaki. Ajib !

..[bersambung]..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun