[image:123RFstockphotofree]
~.~
Air cucuran atap jatuh tak jauh dari pelimbahannya. Sindiran lek Kamidi memang tak dapat dipungkiri. Aku maklum, sebab tekadnya menyewa sebuah kios dekat pasar Srinahan sebagai bakal salonku telah berujung pada kekecewaan. Maafkan aku, Lek. Bukan tak ingin mengubah nasib. Tapi kata mak, kerja apa saja yang penting halal. Asalkan dilakukan dengan sungguh-sungguh, penuh ketekunan, tulus, dan jujur, Gusti Allah pasti ridha.
Sebagai pengganti kedua orang tua yang telah tiada, lek berharap besar aku dapat menjadi seseorang yang sukses membelokkan takdir. Petani? Pedagang di pasar? Apa bae, sing penting aja kaya mak lan bapakmu kae, begitu wanti-wanti dari lek yang sejujurnya membebaniku. Beban yang cukup mengganggu, sebab aku telanjur termakan doktrin mak yang mengatakan bahwa tak ada yang hina pada pekerjaan baik yang tidak dilarang Gusti Allah.
Mak’e bahagia lahir dan batin, demikian aku mak yang sangat kupercayai karena sepanjang hidupnya tak pernah kudengar keluhannya atas segala sesuatu. Urip kuwi pancen angel, tapi jangan pernah menganggap susah sebagai kesusahan, lihatlah susah sebagai sesuatu yang harus ditandangi untuk menjadi mudah. Mungkin karena pernah berbagi nafas, darah, minum dan makan dalam rahimnya, aku lekas sepaham dengan mak. Namun bagi lek itu jalan pikiran yang sulit untuk dimengerti.
”Kudhu eklas kaya milining banyu. Air mengalir tanpa penyesalan. Kebaikannya terus mengalir entah muaranya adalah septi-tank, kalen, irigasi atau samudera tak bertepi. Sukur-sukur nek isa diniati ngibadah, Insya Allah slamet dunya lan ngakherat”. Demikian nasehat mak yang kupegang erat-erat.
Walau keras penolakkanku, namun lek tetap tak dapat membendung air matanya saat melepasku di belantara ibukota. Luh’e ngecembeng, kaya mangsa rendeng.
Dan di sinilah aku. Berdiri di halaman luas dengan hamparan rerumput pendek, hijau serupa karpet mushola, terpatung memandang sebuah rumah yang lebih besar dari kantor kawedanan. Edan! decakku kagum.
Walau sama-sama Manado, namun keluarga Dunggio tidak menganut keyakinan yang sama dengan kerabatnya, keluarga Tambayong. Konon keduanya masih sepupuan, tapi entahlah aku kurang mengerti silsilah keluarga dari tanah Minahasa yang jauh berbeda dengan keluarga dari tanah Jawa.
Tuan Ilyas Dunggio berkecimpung dalam bisnis perkapalan. Itu yang kutahu dari obrolan sesama orang belakang. Profesi tepatnya, aku kurang jelas. Ada yang bilang mualim kapal, boss kapal pesiar, direktur Samudera Indonesia, entahlah apalagi sebutannya. Yang pasti tuan Ilyas jarang sekali ada di rumah. Tapi isi rumahnya mengatakan ia telah melanglang ke berbagai belahan dunia. Beragam souvenir dari manca negara tersebar di dinding dan berjejalan dalam lemari-lemari kaca berlis tembaga. Menariknya, setiap kali ‘merapat’ jumlah putranyapun berlipat. Itu sebabnya aku lumayan repot melayani tujuh putra dan putri ditambah si bungsu yang lahir kembar. Jadi total ada sembilan anak yang dimanjakan dengan kemewahan. Ditambah dengan mami dan papinya, mereka sekeluarga pas disebut kesebelasan. Hehe…
Setiap jamuan sudah mirip hajatan. Meja makannya puanjaanng. Anak kursinya berjumlah delapan yang saling berhadapan kiri dan kanan. Lalu masing-masing satu di ujung utara dan selatan. Alamak, ruangan untuk menaruh duapuluh kursi itu dua kali lebih besar dari rumah mak di kampung!
‘Binde Biluhuta’ hanyalah makanan selingan yang hampir setiap hari kuhidangkan. Karenanya mereka menanam jagung sendiri di kebun seluas tigaratusan meter persegi, dengan kualitas panen yang diawasi. Mereka juga adalah keluarga yang sangat menyukai hidangan laut. Hampir di setiap ritual makan, selalu ada menu rica-rica, entah itu Ikan Bakar Rica-rica, Cumi Bumbu Rica-rica, Tongkol Suwir Rica-rica, Woku Belanga. Sedangkan untuk keseimbangan vegetasi, mereka sangat gemar melahap Tumis Kangkung Rica-rica, Garo Bunga Papaya, Sambal Dabu-dabu, sesekali asupan daging diperoleh dari Ayam Toturaga, Ayam Masak Woku, Ayam Masak Rica-rica daaa…nn masih buanyaa..kk lagi! Aku kerap bertanya-tanya, apa perlu mereka buka restoran pribadi saja ya?
Masa itu orang kaya belum sebanyak sekarang. Dan hanya keluarga Dunggio saja yang membeli durian dalam jumlah masif. Setiap kali buah berkulit duri itu tiba musimnya, butuh dua becak untuk mengantarkannya ke rumah. Aku yang sekedar kecipratan aromanya, mabuk seperti orang ngidam. Hoak-hoek pagi siang dan malam. Sampai-sampai dikira hamil oleh nyonya. Duh, padahal benciku ngga ketulungan sama si durian. Susah payah menjelaskan pada nyonya karena pikirannya sudah curigaan saja.
“Diyah, ayo bilang sama Nyonya! Hamse sama siapa?” jerit Nyonya tinggi. Aku melongo bukan karena nada histerianya, tapi kata ‘hamse’ yang sama sekali tak kupahami.
“Orang udik mana tahu hamse, Mami ini ada-ada aja!” celetuk mas Sandy putra sulung nyonya. ”Hamse itu hamil, To’ok! Lu hamil, kan?”
Eh-engane, hamse itu hamil tho? Tanpa sadar aku manggut-manggut.
”Wat verdomme!” kulihat nyonya bertambah panik. “Sama siapa, ha? Slamet si tukang kebun? Nardi si tukang sayur ? Tarbu si tukang sampah?”
Berapa kalipun aku menggeleng, daftar nama yang nyonya ajukan justru semakin panjang. Semua nama tukang yang menurut nyonya pantas untuk menghamiliku. Aku tidak tersinggung, apalagi marah. Itu semua memang jodoh yang pantas untukku. Ngarep-arep endhoge si Blorok, kalau aku berharap nyonya menyebut mas Dudi keponakannya yang tukang insyinyur itu, atau mas Johnny si tukang manager showroom mobil yang kerap bertandang ke rumah dengan dalih penawaran kendaraan, ning herannya kok hanya disaat tuan Ilyas lagi ke luar negeri.
Susah payah menenangkan nyonya. Walau sejawat di dapur, ramai-ramai membelaku dan meyakinkannya bahwa aku mabuk aroma durian. Tapi nyonya baru percaya ketika mendapat penjelasan dari bu bidan yang lebih lama mengenalku. Lihat, lagi-lagi bu bidan berperan. Dan situasi dapat kembali seperti sediakala, saat kak Bertie menambah dukungan cerita. Oh, mereka berdua memang selalu menjadi dewa penolongku. Eh, bukan mereka ding, tapi telepon interlokal lebih tepatnya. Hehe…
”Dasar udik! Kampungan! Baru durian, lu udah mabok, pegimane beneran disodok…” kalimat mas Harlan, adik mas Sandy itu disambut tawa mengakak saudara-saudaranya.
Mas Harlan tidak tahu sih, di kampungku duren itu bukanlah buah yang keren, juga tidak pernah populer, karena harganya bikin hidung mbeler. Tapi batang tebu yang dicengkeram tangan lalu ditikam dengan geraham, waw! itu nikmatnya seribu satu. Dan cobalah nyengget buah cèrme, duwet, jambu wer, manggis, kates, semuanya tinggal disodok seperti yang mas bilang! Dalam diam, kata batinku sibuk membela diriku sendiri. Hihi, mana berani mengucapkannya secara verbal? Bisa-bisa aku diuntal!
Walau beragama islam, namun keluarga Dunggio rupanya bukan keluarga muslim yang taat. Tidak seperti almarhum bapak dan mak yang semasa hidupnya rajin ke langgar. Dan bukan pula seperti kerabat mereka, keluarga bu bidan Klaudia yang taat ke gereja setiap minggunya.
Sebuah ruangan yang dimaksudkan untuk tempat beribadah hanya sesekali disinggahi kerabat yang datang berkunjung dan menumpang shalat, bahkan lambat laun keleluasannya dipersempit dengan berbagai jenis barang. Tapi sesuai dengan fungsinya, maka barang-barang yang ditempatkan di sana semuanya bernafaskan religi. Ada kain beludru yang ditenun dengan benang emas bergambar Ka’bah yang luar biasa besar. Piguranya mungkin emas sepuhan, kilaunya saat tertimpa sinar lampu kristal, kerap membuat mata kelilipan. Lalu beragam kaligrafi dari mulai yang berukuran S, M hingga Extra Large yang memakan banyak spasi. Itu masih ditambah dengan babut-babut mahal dari Mediterania. Pendek kata pernak-pernik itu sukses menegaskan ruangannya sebagai tempat peribadatan yang sempurna. Walau tak kuyakin Gusti Allah berkenan hadir di sana, sebab tak pernah terdengar lantunan ayat kursi, surat kulhu, surat pate’ah yang kata mak disukai malaikat dan rasul-Nya yang sangat menyukai kesederhanaan.
Dari putra-putri keluarga Dunggio yang semuanya dibiarkan bertingkah kelondo-londoan, akupun tak kuasa dijejali dengan aneka musik gedumbrangan. Salon kak Bertie saja tak selengkap ini koleksi kaset dan PH-nya. Maka, hawa western-pun memperkaya khasanah seleraku. Tapi tak mengubah akarku yang asli kampung, dan tetap setya tuhu pada dangdut Ida Laila dan Sonetanya Haji Oma. Sedikit menyesal, ketika seleraku pada samproh dadi adoh. Aku yakin mak tak keberatan di kuburnya, sebab mak selalu bilang, dasar iman yang kuat mampu mengalahkan segala godaan, apalagi bila iman itupun terus menerus dijaga dan dirawat. Tanpa bermaksud sombong, sepertinya mak tak perlu khawatir dengan imanku. Hehe…
Disaat bebenah kamar para tuan muda, aku dapat melihat tembok kamarnya tertutup dengan poster-poster para rocker. Mas Sandy sangat ngefans dengan Madonna, gambarnya yang setengah wuda dipajang mencolok mata. Lalu ada Tina Turner dan Cyndi Lauper yang berambut njegrak kaya payung disebrak. Tak ketinggalan bertumpuk majalah luar negeri yang tiap halamannya tak ada wanita yang berkebaya. Kalau bu Ratmi, nyi Kalsum kembenan rapet saat mandi di kali, model-model berambut pirang itu handuknya pasti selalu melorot, kedodoran, sedikit lagi mlotrok. Atau model baju khusus swimming, yang sriwing-sriwing, pelit sama bahan.
“Tidak usah heran, Sum,” bisikku pada Sumi yang tengah nggumun melihat tubuh molek yang plontos. “Itu baju penuh lobang, maksudnya biar yang berenang tetep bisa ngambang. Nek nglangi nganggo mbayak, yo kelem!”
Sumi cekikikan. Lalu sambil pura-pura menutup mata, tangannya sigap memasukkan majalah-majalah itu ke dalam laci.
“Sum!” bisikku penuh tekanan. “Jangan di laci itu. Satunya lagi yang agak ke bawah dekat ranjang. Kalau nyonya samapi tahu, kamu yang dislenthik sama mas Sandy!”
Yang membekas dalam ingatanku tentang keluarga Dunggio adalah guci-guci dan banyaknya lemari. Guci-guci gendut, atau yang jangkung setinggi eternit rumah mengawal setiap pintu. Bahkan pintu kamar mandipun dijaga dua guci walau hanya berukuran sedang. Semua barang, terutama oleh-oleh dari berlayar disimpan dalam lemari kaca. Dan entah berapa ratus pajangan berupa pernik keramik yang butuh ketelatenan untuk menyingkirkan debunya. Untungnya aku tak sendiri, si Sumi dan Tanti yang masih saudaranya itu selalu sigap membantuku setiap hari.
Tak ada alasan untuk tidak kerasan melayani keluarga Dunggio. Satu keuntungan yang dapat kupetik adalah aku bisa merasakan tinggal di istana. Hawa sejuknya mungkin berbeda dengan rumah mak yang alamiah. Tapi tak ada kecemasan atap rumah terbang ditiup angin kencang, atau bocor saat hujan turun kemlocor. Walau kerap menyantap makanan sisa, namun paling tidak aku dapat merasakan apa itu Rica-rica, bubur Tinotuan, Bilitango, dan masih banyak lagi jenis makanan yang mustahil kudapatkan di kampungku.
Betah sih betah, tapi lambat laun aku menjadi gemlasah. Yang awalnya hanya prasangka nyonya lalu menjadi debat kecil yang lantas terakumulasi hingga meledaklah pertengkaran besar yang tak terelakkan. Apalagi kalau bukan sebab wanita idaman lain yang lebih muda dan rupawan.
Aku kerap mendapat slentingan kabar. Nah ya, ngegosip deh? Ya, begitulah. Sekuat apapun aku menulikan telinga, tetap saja selaput gendangnya yang tipis selalu dapat menangkap gosip bahtera rumah tangga tuan dan nyonya. Kali ini guncangannya lebih hebat. Ternyata tak hanya satu wanita saja! Dan yang santer digunjingkan, tuan memiliki anak ditiap pelabuhan, di Belawan, di Tanjung Perak, bahkan simpanan di luar negeri juga, pokoknya dimanapun ia melemparkan sauh disitulah perempuan-perempuan perutnya jadi abuh. Byuh, byuh, byuh…
“Tidak usah heran, Yah,” kata Sumi dengan senyum meledek karena berhasil meng-kick balik cemoohanku saat melihatnya terpesona melihat body tanpa busana di majalah pria dewasa. “Memang begitulah perilaku umumnya orang-orang pelayaran. Ngga semuanya sih, tapi meh kabeh!”
Tak dapat kusalahkan opini yang terlanjur diserap Sumi. Sebab pengalamannya dengan mantan suaminya yang ABK itu berkata demikian. Baiknya kucukupkan sekian saja ceritanya. Aku tak dapat lebih jauh lagi menceritakan detil persoalan cinta dan nafsu di antara keluarga mereka. Sebab kata mak, dadi batur kudu isa mendhem catur. Jadilah si bisu dan si tuli terhadap urusan dalam negeri keluarga majikan. Jangan pernah berghibah. Pura-pura tidak tahu. Belagak tidak pernah mendengar. Dan jangan sampai tembok rumah tetanggapun bisa ikut menyimak.
..[bersambung]..