[images: appunti_devianart]
~~~
Ini kata Bruce Lee; "Love is like a friendship caught on fire: In the beginning a flame, very pretty, often hot and fierce, but still only light and flickering. As love grows older, our hearts mature and our love becomes as coals, deep-burning and unquenchable.” –Bruce Lee–
Apa yang dikatakan almarhum Bruce Lee benar-benar kalimat yang menggoda. Bahkan aku yang tidak tergolong romantispun, tersenyum dibuatnya. Bruce Lee mungkin tengah jatuh cinta saat menuliskan kalimatnya, namun semua yang dikatakannya itu benar.
Hari itu, untuk kali pertama, aku lancap terpesona sosok seorang mahasiswi baru yang disebut kawanku berstandar biasa-biasa saja. Tak ada sesuatu yang istimewa, si kawan menambahkan opininya. Tingginya sedang. Perawakannya tidak kurus, tidak gemuk. Segala yang ada padanya sejatinya memang sebatas rata-rata saja. Serba terbatas. Tidak berlebih. Hal pertama yang kupikirkan tentangnya adalah itu semua akan membuatnya cepat tersingkir bila fakultas ekonomi yang dia pilih. Disana, ruang kuliahnya selalu dipenuhi mahasiswi yang nyambi sebagai model, peragawati dan selebriti. Untunglah dia memilih kamar mayat sebagai ruang kuliahnya, di sanalah kami bertemu.
Lalu apakah yang membuatku rela mengalihkan pandangan mata? Ah, pasti karena kulitnya yang nampak sehat, bersih dan memikat, walau bukan dalam warna terang benderang yang banyak dianjurkan produsen perawatan kecantikan.
Namanya Jean. Di bawah dukungan teman-teman, dengan sangat memaksakan diri, Jean menyambut uluran tanganku. Matanya dengan cepat terjatuh saat bersitumbuk dengan senyumku. Secara perlahan, aku mendapati bahwa dia adalah seseorang yang penuh pengertian dan lemah lembut.
Dalam waktu singkat, kami berdua saling terpikat. Tentu saja didukung gencarnya aku menebarkan jerat. Hari berlalu, hubungan kami semakin dekat, perasaan di antara kami semakin menguat. Namun Jean, si muslimaat taat, hingga enam bulan asmara kami merekat, keras hatinya membuatku kian bertekat bahwa hanya dia saja bakal pengisi kamar pengantinku yang keramat. Jean hanya memberikan keleluasaan pada punggung tangannya saja untuk diembat. Tidak lebih dari itu. Tidak, tidak, tidak. Bahkan ketika ujung kerudungnya yang berwarna ungu tersangkut di jemariku, ia dengan lembut menyodokkan sebuah pipet panjang ke rusukku. Teganya Jean, bahkan pipet panjang itu adalah bekasnya mengorek-orek jasad di ruang praktek. Oh, Jean!
Di hari wisuda, sesungguhnya kakiku mendadak melumpuh, aku tak sanggup datang kepada Jean. Untungnya, toga-toga yang berhamburan di udara dan sorak-sorai wisudawan dapat mengaburkan duka Jean saat mendengarku berkata, “Aku dapat beasiswa untuk melanjutkan studi S2 di Amerika. Belum kutahu akan pergi untuk berapa lama. Bagaimana menurutmu kalau kita bertunangan dulu. Bolehkah?” Kulihat kepalanya terkulai, mengangguk dalam keadaan tak rela.
Seminggu setelahnya, Jean resmi mengenakan cincin pengikat. Kerudungnya hari itu bukan ungu, ungu muda, atau semua warna keunguan yang dia suka, tapi putih bersih dengan roncean renda di sepanjang tepi kelimannya. Cantik tapi masih belum boleh untuk dipetik. Dan aku hanya dapat memandangnya saja hingga di tangga terakhir yang kuinjak sebelum memasuki pesawat yang akan membawaku ke negeri asing.
Amerika menyediakan dagangan kebebasan yang dapat kubeli cuma-cuma. Gadis-gadis minim busana berjajar selayaknya kembang gula dalam toples berlabel ‘enak, lezat dan nikmat’. Namun ingatan tentang Jean, demi Tuhan, telah sanggup membuatku membusuk di antara sekat-sekat rak yang menyimpan kekayaan ilmu, buku-buku begitu berlimpah dalam kualitas yang menggiurkan benak, tak seperti di tanah air yang tiap halaman bukunya banyak berkurang karena anggaran dipilin bagai kelindan sekedar untuk sangu jalan-jalan. Paman Sam memang jempolan, kalau bukan karena Jean, mau rasanya mendekam di seluruh perpustakaannya. Lain hari, aku akan menyibukkan diri dengan beberapa pekerjaan sampingan sekedar having fun sekaligus bekalku memenjarakan Jean di rumah mungil milik kami berdua kelak yang akan diramaikan pula oleh anak-anaknya.
Suatu saat, jembatan satu-satunya pengikat hubungan kami, telepon internasional itu tak berdering. Panggilanku ke tanah airpun tak terjawab. Aneh, ini baru pernah terjadi. Ada apa Jean? Jangan membuatku bertanya-tanya tentang dirimu yang tak bisa kulihat. Seminggu, cukuplah sebagai pembatas waktu bagi kesabaranku. Sebulan, dan bulan-bulan berikutnya, aku duduk tak bergerak di hadapan imam besar sebuah masjid di New York, demi menentramkan hatiku. Lalu berpasrah ketika genap setahun, Jean benar-benar memutuskan ikatan itu. Ayahnya mengatakan langsung kepadaku. Dengan nada bicaranya yang sungguh tak ingin kuterka maknanya. Sangat datar, tanpa emosi, seolah hancurnya perasaanku tak patut dipermasalahkan.
~~~
Suatu pagi, ketika matahari beranjak dari dhuha, Jean berlari-lari kecil meninggalkan beranda rumahnya. Mobil ayah yang biasa dia tumpangi, menginap di tempat reparasi. Taksi yang dia telpon sudah menunggu tepat waktu.
Dalam perjalanannya menuju tempat kerja, Jean tak pernah mengira taksinya akan menikung tajam demi menghindari seekor kucing. Lalu segalanya berakhir dalam kegelapan. Jean bermimpi tentang seekor kucing hitam dengan kalung serupa berlian di lehernya. Kucing itu membawanya berkelana ke alam penuh kegelapan seperti dunia sihir yang pernah dia lihat di layar sinema. Jean tak pernah tahu berapa lama ia tertidur. Ketika siuman, ia segera mendapati ranjangnya telah dipindahkan ke sebuah rumah sakit, dimana semua anggota keluarga mengelilinginya dengan wajah bersimbah duka.
“Ayah?” Jean memanggil. Kata ‘ayah’ diucapkannya berulang-ulang, namun tak ada suara yang terdengar. Jean tidak mengerti, mengapa mulutnya membuka tanpa sebuah fonempun yang terdengar. Tubuhnya bergetar hebat ketika seorang dokter dibantu susternya menyuntikkan serum yang menyakitkan. Dan terus bergetar ketika mendengar dokter itu mempersilahkan yang lain untuk keluar dari ruangannya. Jean tertidur kembali.
Jean tak ingin terbangun. Namun tepukan lembut penuh sayang di pipinya, serta merta telah membuka matanya. Seraut wajah ayah nampak sangat nelangsa. Kesedihan di wajah setiap orang lantas membuatnya bertanya-tanya. Ada apa, Ayah? kali ini Jean hanya sanggup membatin.
”Sayang, dokter bilang ada syaraf kamu yang mengalami luka. Tenanglah, itu hanya untuk sementara saja. Lewat beberapa waktu, semuanya akan membaik seperti sedia kala,” jelas ayah dengan rona kesedihan melebihi saat wafatnya ibu.
Tidak ! Aku tidak mau ! Dokter bukan Tuhan ! Siapa bilang aku tak dapat bicara! Jean membuka mulutnya lebar-lebar. Teriakannya itu sia-sia, seperti juga usahanya menendang ranjang, memukul-mukul dinding, dan merubuhkan tiang infus. Bukan ruangannya yang kedap suara, namun protesnya itu memang tak mengeluarkan bunyi apa-apa.
Kembali ke rumah, nyatanya membawa perubahan dramatis dalam hidup Jean. Tak sejengkal lagi kakinya berada di luar rumah. Batasan langkahnya hanya di depan pintu, tak sampai di beranda. Dering telepon terdengar seperti lonceng kematian di telinganya. Suara maskulin yang dulu sangat dia dambakan kini menjadi momok yang demikian mengerikan. Jean telah menjadi seseorang yang menyia-nyiakan diri. Hingga ayahnya mulai berpikir untuk pindah rumah demi kesehatan putri kesayangannya itu.
Dua tahun telah berlalu, secara perlahan Jean dapat menata kembali kehidupannya. Ia banyak belajar dari alam dan lingkungan sekitar, merekalah penyedia segala macam pelajaran berikut hikmah tentang makna kehidupan. Jean menyadari bahwa dirinya tidak sendiri. Dunia di luar sana, lebih mengerikan. Ada banyak orang yang tidak seberuntung dirinya. Ia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, betapa beruntungnya ia masih mempunyai tubuh yang sempurna dan keluarga yang hangat. Jika aku dapat meminta agar hidupku sempurna, itu memang merupakan godaan yang menggiurkan. Namun aku akan terpaksa menolak, karena dengan begitu aku tidak dapat lagi menarik pelajaran dari kehidupan, demikian tekad Jean yang telah berhasil menariknya keluar dari lembah keterpurukkan.
Terkadang, di waktu senggangnya, Jean masih sempat terpikir, apa yang diketahui Billy di belahan bumi yang lain? Seseorang yang pernah menjadi tambatan hatinya itu hanya tahu dirinya yang kejam karena telah memutuskan pertunangan secara sepihak tanpa alasan yang jelas pula. Setiap teleponnya tak pernah mendapat jawaban. Terkadang ditutup dengan kasar oleh ayah yang kesal. Setiap surat yang ditulisnyapun bagai batu yang tenggelam ke dasar lautan.
Suatu hari, Billy memberitahu bahwa studinya telah berhasil, dan ia akan kembali. Jean mendengar percakapan itu dari salah seorang kakaknya. Ia kini telah menjadi dokter berijasah cum laude yang dipinang banyak rumah sakit ternama. Jean berdiam diri. Lehernya terasa tercekat. Lidahnya kelu. Sungguh, ia tak siap dengan kembalinya Billy walau hanya sekedar cerita. Mendadak bel pintu rumahnya berbunyi, berulang-ulang, terdengar tergesa-gesa, dan sangat tidak sabaran! Tidak tahu harus berbuat apa, Jean lewat sorot matanya memohon agar seseorang membukakan pintu bagi entah siapa yang tentunya tengah menderita di luar sana. Ayah menyeret langkah kakinya yang berat. Pergi membuka pintu.
Detik itu, keheningan menyergap di rumah kediaman keluarga Jean. Seorang pria muncul, berdiri tepat di depan pintu rumah. Billy!
Jean tak percaya dengan pandang matanya sendiri. Tangannya cepat menutup mulutnya yang tak tahu adat tata krama, menganga tanpa tegur sapa. Berdirinya mendadak canggung, terlebih ketika mantan tutornya itu berjalan tepat ke hadapannya. Lalu dengan bahasa isyarat yang sangat terlatih, dia berkata, “Jean sayang, maafkan aku! Aku terlambat satu tahun untuk bisa menemuimu. Dalam waktu satu tahun itu, aku berusaha dengan sangat keras untuk mempelajari bahasamu kini, bahasa isyarat. Semuanya demi untuk hari ini, Jean. Hari menjumpaimu yang telah kutunggu sekian banyak waktu. Tak peduli kau berubah menjadi apapun, selamanya kau adalah orang yang paling kucintai. Selain kau, aku tidak akan pernah mencintai orang lain. Mari kita menikah, Jean!”
~~
”Friends are angels who lift us to our feet when our wings have trouble remembering how to fly
[Unknown]”