‘Anak yang baik harus berbakti kepada kedua orang tua. Terutama kepada ibu yang telah berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan, itu sebabnya mengapa surga terletak di bawah telapak kaki ibu.‘
Suara Bu Sundari melengking-lengking di antara ketukan mistar kayunya yang panjang dan jejeritan anak lelaki di bangku belakang. Dan suaranya tak redam, terus terngiang-ngiang, larut bersama angin yang mengiringi cepat lariku di sepanjang pematang; embong retak-retak yang memisahkan dua ladang berisi penderitaan, penuh luka menganga karena menahan kerinduan pada tetesan hujan. Siang itu, tiga puluh menitan usai lonceng di sekolahku berhenti berdentam-dentam.
Sengatan matahari yang ingin mengelupas kulit kepala tak kuhiraukan. Sebab di balik rambut jagungku, bayangan tentang surga dan telapak kaki ibu terasa sangat menyejukkan. Aku memperlebar ayun langkahku, ini hari harus segera kujumpai ibu. Hendak kucari tahu macam mana surga yang berada di bawah telapak kakinya itu.
Pantaslah bila surga ditempatkan di bawah telapak kakinya, sebab ibu senantiasa merawat kakinya dengan sangat baik. Tiap saat kulihat ibu menyibukkan dirinya dengan prosesi luluran atau mengoleskan losyen dengan gerakan yang teratur, dari ujung jempol kakinya yang bercat bening mengkilap hingga ke betisnya yang menggelayut indah, seperti bulir air yang bergantung di pucuk dedaunan. Begitu halus, lembut, kenyal, dan terasa dingin bila disentuh tangan. Belum lagi keharumannya yang membuatku ingin berlama-lama mendekap sepasang kaki ibu.
Jauh dari harapanku, ternyata Mbok Jum yang tersenyum cerah menyambut kepulanganku. Bukan ibu, dan harusnya tak perlu ada kekecewaan itu, sebab demikianlah yang telah lama berlaku.
Mbok Jum tertawa mengikik. Hihi, pasti kegelian karena telapak kakinya kugelitik. “Mana surgamu, Mbok Jum?” tanyaku mengakhiri tawanya.
“Owalah, nyari suwargo tho?” Mbok Jum balik bertanya, itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.
“Katanya ada di telapak kaki,” masih dengan rasa penasaran yang tinggi, kutelisik tiap jengkal telapak kaki Mbok Jum.
Telapak kaki itu sangat jauh berbeda keadaannya dengan kaki milik ibu. Pecah-pecah seperti ladang di musim paceklik. Kasar seperti sabut kelapa. Busikan seperti buah kesemek. Sebagian telapaknya dihuni bintik kutil bernama mata ikan. Semua itu terbungkus dalam kulit hitam yang dipenuhi tonjolan urat, seperti sekumpulan cacing misterius yang bersembunyi di balik daging tipis si Mbok Jum. Adakah surga di telapak kaki semacam itu?
“Mungkin tidak ada, Nduk,” jawaban Mbok Jum terdengar memelas. “Sebab kalau benar ada, anak’e simbok tidak akan pergi lebih dulu mencari surga yang sebenarnya.”
Aku lantas tergugu, bingung seperti seekor lebah yang kehilangan kemampuannya berdengung. Namun Mbok Jum, seperti biasa yang dia lakukan pada banyak pertanyaanku, lantas mengakhirinya dengan sebersit senyum dari bibirnya yang hitam penuh kerutan, mirip dengan lipan yang selalu kutemui di halaman belakang.
“Pasti adalah Mbok,” Aku berharap jawaban yang seadanya itu dapat menghiburnya. Walau tak urung, aku masih sempat melirik ragu pada telapak kakinya yang berkondisi demikian jauh dari bayangan indah tentang surga seperti diceritakan guruku. Ah, kalau Bu Sundari bilang surga itu ada di telapak kaki para ibu, maka Mbok Jum juga pasti memilikinya. Bukankah dia juga seorang ibu? Pastilah ada surga itu, walau mungkin surga miliknya itu tak terlalu indah namun kesuciannya takkan kalah dengan surga di telapak kaki ibu-ibu yang lain. Aku ingat, Mbok Jum tak pernah lalai membasuhnya dengan penuh kehati-hatian kala berwudhu.
“Aku ingin cepat-cepat menengok surga, Mbok!” kataku dengan hasrat yang sulit dikekang. “Malaikat Ridwan pasti punya telepon selular. Biar dia kuSMS agar segera mengirimkan teman-temannya sesama malaikat untuk datang menjemputku!”
“Hush!” Mbok Jum menghardikku. Tanggapan yang benar-benar sangat mengejutkan. “Mboten pareng matur begitu, Nduk! Mboten ilok!”
Aku sudah mengkeret, kupikir kesalahanku terlalu besar sehingga Mbok Jum tega menghardikku dengan volume suara yang tidak pernah setinggi ini. Hatiku mulai sejuk ketika diguyur penjelasan soal persyaratan yang mengharuskanku untuk tumbuh terlebih dahulu menjadi wanita hingga tiba masanya menjadi seorang ibu dengan surga yang otomatis akan ditempatkan di telapak kakiku.
“Dan ibuku adalah orang yang paling baik di dunia, setelah Mbok Jum dan Bapak, tentunya,” aku cepat menambahkan pada nasehatnya tentang wanita solehah sajalah yang terpantas memperoleh surga telapak kaki.
“Mbok Juumm!“ Ibu muncul dengan tiba-tiba, bulu matanya yang lentik segera mengusir Mbok Jum dari hadapannya, dan matilah saat itu juga banyak pertanyaanku yang belum sempat dijawabnya.
Dengan senyum yang melelehkan hati, ibu bergegas menggamit tanganku memasuki ruang tengah. Di sana seorang pria asing nampak sedang berakting, walau tak nampak seorang sutradara. Tungkai kakinya diangkat tinggi, tanpa sudi menanggalkan sepatunya yang bermerek Naiky, padahal mana tahu ia belum lama menginjak tahi. Pria ini pasti tidak pernah mengenal Bu Sundari, atau bisa jadi ia telah kabur dari rumahnya sejak kecil, hingga tak pernah bertemu dengan ibunya yang akan mengajarkan tata krama atau sopan-santun beranjang-sana. Aku membatin penuh kebencian.
Meja panjang, tempat tumpuan kakinya itu, penuh dengan aneka gendul kosong dan gelas-gelas mungil yang kutahu namanya seloki. Tapi sajian itu tak menarik perhatian si pria, sebab matanya nyalang menatap layar televisi yang berisik tentang gosip seorang artis dangdut dengan desahan khas manja menyanggah susuk rahasianya dan tak malu memamerkan implant payudaranya. Aku reflek meraba dadaku yang masih rata dan terbungkus miniset buatan China.
“Sepulang ngaji langsung pulang ya, Nduk, jangan mampir kemana-mana,“ pinta ibu seraya menyusupkan uang selembar lima ribuan ke dalam tas gemblokku; sanguku yang kedua setelah lima ribu yang pertama saat berangkat sekolah pagi tadi. Jumlah uang terbesar di antara sangu yang diperoleh teman-temanku.
Pria itu menoleh, terusik oleh percakapanku dengan ibu. Pandang matanya lalu bersiborok denganku. Dan segera kutahu, ia pria sejenis alien yang kulihat di filem-filem. Bagian bola matanya yang seharusnya putih, tampak berwarna merah, tidak ramah, bahkan menakutkan. Tidak seperti mata bapak. Meski sama merahnya, tapi mata bapak tidak pernah memajang kemarahan, lebih sering terlihat berlumur kepedihan. Kata Mbok Jum, itu karena bapak kecapean.
“Eh, si genduk cilik! Gek ndang gedhe, dadiyo prawan cantik secantik ibumu nanti!“ pria itu berkata dengan nada ceria, mungkin dadanya tengah dilingkupi bahagia hingga satu kedipan mata dihibahkannya kepada ibu. Hibah yang membuatku jengah, namun cukup mengherankan ketika ibu justru menyambutnya bungah.
Usai mengecup punggung tangan ibu, dengan resah kutinggalkan ruang tengah. Ruang yang tak pernah lengang. Selalu berpenghuni para tetamu ibu yang tak pernah kukenal walau satu. Mungkin karena terlalu banyak dan beragam tipe hingga tak sempat bagi ibu mengenalkan mereka kepadaku. Demikian juga Mbok Jum yang hanya menggelengkan kepalanya seraya menghindar cepat setiap kali kutanya.
Arisan? Ibu pernah tertawa dengan serentet giginya yang putih bersinar mendengar kata ‘arisan’; tawa yang langka sebab tawa setulus itu tak pernah kulihat saat bersama para tetamunya. Lalu jawaban ‘sekedar teman’ dengan cepat membungkam gejolak rasa ingin tahuku. Ya, teman. Tentu saja. Wanita dewasa berteman dengan pria dewasa. Seperti ibu yang juga berteman dengan bapak. Meski kulihat mereka berdua bukanlah teman yang akrab. Keduanya tak pernah terlihat bercanda selayaknya karib. Atau mengobrol di depan televisi sambil menonton sinetron, seperti yang dilakukan ibu dan bapaknya temanku, si Dumyati. Keduanya juga tak pernah bergilir atau bersama-sama ngeloni aku; ritual yang kerap dibanggakan si ceriwis Maryanah lengkap dengan dongengan pengantar tidurnya semacam kancil dan buaya.
Di sayap kanan rumah ibadah tempatku mengeja huruf hijaiyah, aku merandek. Menunggu selang waktu hingga para ibu teman-temanku membubarkan diri. Sebab kalau tak begitu, bibir semerah kerudungnya itu akan lebih dulu mecucu, sebelum ludah tertumpah ke tanah. Mereka tentu tak tahu, aku sudah mandi dan berwudhu, bahkan sempat pula kubalurkan losyen ibu.
Belum sempurna ludah itu diserap tanah, aku telah sampai pada huruf hamzah. Cepatku berbenah, agar segera sampai ke rumah. Begitulah, supayaku dapat bertemu dengan bapak.
Bapak mungkin punya sayap, sebab ia selalu datang dan pergi dalam senyap. Hanya di sore menjelang petang, wajah bapak dapat kupandang. Dan di kamarnya yang tepat di samping kamarku, tak jauh dari dapur, akan kulihat bapak tertidur pulas dengan mulutnya yang menganga. Sungai-sungai kecil mengalir daripadanya. Sepasang matanya terpejam rapat, dadanya turun naik dengan akurat. Wajahnya seringkali asing bagiku, sebab rambut tumbuh dengan liar di seputar pelipis hingga seluruh tepian dagu.
Baru saja kubersimpuh, ingin kuhafal wajah bapak dalam benak, namun lutut mengajakku berdiri cepat. Sungguh… bau mulutnya amat tak sedap. Menyengat, seperti bau spiritus, atau bebauan yang diam-diam pernah kuendus dari mulut botol-botol hijau di atas meja; ibu menatanya dengan sempurna sebagai suguhan utama.
Dengan menyesal kutinggalkan bapak sendirian. Lalu tergerak mencari sesuatu di kamar ibu, satu-satunya yang tepat berada di ruang tengah berdampingan dengan ruang tamu. Kamarnya bersih dan luas, dengan keharuman semerbak yang membuatku ingin bergulingan, berlama-lama di atas ranjangnya. Dan lemari jati coklat tua yang kubuka, menampilkan susunan pakaiannya dalam aturan yang serapi jali; serapi setumpukan uang di dalam laci. Yang terakhir, membuat mataku melotot hingga sakit seperti terbetot.
Itulah kemarahan ibu yang pertama kali kudapatkan. Larangannya telah kulanggar. Bahkan seumur hidupnya bapak tak pernah sekedar melongokkan kepalanya ke dalam kamar ibu. Haram jadah adalah alasan yang dikemukakan dengan tekanan suara yang sangat dalam, begitulah yang selalu berhasil kucuri dengar.
”Jangan diulangi ya, Nduk. Masing-masing kan sudah punya kamarnya sendiri-sendiri. Ibu tidak membiarkan Mbok Jum membersihkannya karena tugasnya sudah banyak, dan ibu tidak ingin Mbok Jum kecapean. Kasian kan?“ alasan ibu membuatku menyesal telah memantik kemarahannya. Maafkan aku, Ibu. Maafkan ketidaktahuanku…
Pagi hari, akan kuulang ritual yang sama, bersama Mbok Jum tentunya. Dan setiap burung kuk-kuk bernyanyi lagu kuk-kuk tepat di tujuh kurang sepuluh menit, ibu pasti terbangun. Datang terhuyung ke kamarku, sejenak memeriksa dandananku dan mengantar kepergianku hingga depan pintu. Wajahnya masih kuyu dan mengantuk. Begitu sarat dengan kelelahan yang membuatku iba. Dari sana kian menumbuh tekadku berbakti, sebab kutahu ibu selalu bekerja hingga larut malam bahkan dini hari. Seperti bapak yang bekerja sama kerasnya, hinggaku hanya sempat dikunjungi ketika kelelahan telah demikian mendesak, atau saat kantung kemejanya berlubang dan perlukan tangan ibu untuk memberinya tunjangan.
Aku selalu ingin pagi berganti siang lalu secepatnya berubah malam. Menanti si kuk-kuk kembali berkidung lagu kuk-kuk tepat pukul delapan; waktu yang sama untuk melihat ibu berdandan secantik bidadari penghuni surga.
Senyap di kamarku. Tapi tidak di ruang tengah itu. Karena tak lama, suara canda dan tawa akan terdengar bersahut-sahutan dengan suara ibu yang lain dari biasanya; selalu berubah tiap malam tiba. Terlalu ramah, dan sesekali terdengar sangat manja. Pasti karena ibu adalah pemilik rumah yang baik, selalu menyambut tamu dengan pelayanan yang baik dan selalu berusaha menyenangkan tiap tamu yang berkunjung kepadanya.
Tapi mengapa tetangga selalu bilang ibuku bukan orang baik ? Dan bapakpun sama buruknya ? Manakah yang tidak baik ? Manakah yang buruk ? Ah, kupikir para tetangga itu hanya iri saja akan kecantikan dan kebaikan hati ibu, serta kesabaran bapak dalam sifat pendiamnya.
Dumyati bilang, ibunya menyebutku anak lonte. Lain ibunya si Dum, lain pula ibunya Mariyanah yang menyebutku anak gentho. Mereka tidak pernah mengerti, meski kutegaskan berulang kali, bahwa aku bukan anak lonte, apalagi anak gentho. Aku adalah anaknya bapak dan ibu.
Bagaimana bisa mereka berkata ibu bukan orang baik. Padahal ibu selalu memberiku uang. Lima ribu rupiah adalah jumlah yang kuyakin telah memancing iri hati mereka, walau seringkali harus kuikhlaskan ketika teman-temanku meminta dengan paksa. Ibu juga tak pernah sayang atau berat menimbang, justru selalu memberikan uang seberapapun yang bapak minta. Bahkan uang gaji Mbok Jum selalu diberinya lebih. Tak pernah sekalipun kulihat ibu marah kepada bapak, atau berkata kasar kepada Mbok Jum. Dan ibu selalu penuh kasih sayang kepadaku, anak satu-satunya.
Jadi mengapa tetangga bilang ibuku bukan wanita baik-baik? Apakah karena mereka rajin pergi ke masjid, sedangkan ibuku tidak? Kuharap mereka tahu, bahwa tak sekali dua kali ibu kuseret ke rumah ibadah itu, sekedar mengantarku pergi mengaji. Namun, baru sampai di halamannya yang luas, orang-orang sudah meludah dan berkata tentang perempuan kotor, sundal dan masih banyak lagi kata-kata yang tidak pernah kudengar sebelumnya; tidak di rumah ataupun di sekolah. Hingga kini, aku masih tak mengerti umpatan tentang perempuan kotor, padahal sebelum pergi, aku bersama ibu telah mengambil air wudhu.
Andai saja mereka tahu, betapa kejam ibunya si Mariyanah. Ia tak hanya melupakan rumah ibadah, bahkan tangannya selalu bersenjatakan rotan yang akan hinggap, kapan saja Maryanah lambat mencuci piring atau menolak membantunya menjual serbuk putih serupa tepung terigu.
”Itu jualannya ibuku,” kata Maryanah. ”Obat mujarab buat orang yang sedang pusing dan stress, atau orang yang ingin melupakan derita dan maunya bahagia saja.”
”Tapi mengapa?” Aku terus bertanya, karena tak paham juga.
”Entahlah,” jawab Maryanah sama bodohnya. “Mungkin karena ibuku rajin menyumbang sejumlah uang yang sangat besar setiap kali ditarik iuran.”
“Ibuku juga!” Aku cepat membantah, tak mau kalah. “Aku melihat sendiri, ibu selalu memasukkan amplop berisi uang yang banyak ke kotak sumbangan. Secara diam-diam. Karena ibuku bilang, menyumbang itu tidak perlu pamer ke orang-orang. Cukup kita dan Tuhan saja yang tahu. Tapi mengapa tetangga masih saja bilang kalau ibuku bukan orang baik-baik?”
Maryanah menggelengkan kepala. Si Dumyati juga. Keduanya bilang tidak tahu. Sama seperti aku, sama-sama tidak tahu. Kami selalu bingung dengan pemikiran orang dewasa.
Entah kepada siapa lagi harus bertanya. Dumyati dan Maryanah sedang asyik bermain lompat tali. Mbok Jum sedang menanak nasi. Ibu pasti tengah menjamu para tetamu dalam kamarnya yang indah dan nyaman. Bapak selalu pergi, dan pulang dengan badan limbungnya yang bau.
Adapun tetangga yang kuanggap sebagai orang-orang suci, pasti punya banyak jawaban yang kucari. Namun aku takut. Orang-orang suci selalu membuatku takut. Pada tatapan mereka yang jijik melihatku. Sebab bagi mereka, mungkin aku terlihat seperti najis…
Aku masih dikelilingi banyak pertanyaan. Aku masih bingung dan tidak tahu apa pun. Sudah jauh kakiku melangkah, namun masih belum kutahu arah tujuanku. Pandanganku gelap oleh gumpalan asap tebal, dan terlalu silau oleh lidah api yang tak kutahu darimana berasal.
Kucoba menyibakkan lidah-lidah api yang terjulur menggila, membabi-buta. Di antara panas yang membara, sayup kudengar pekikan allahu akbar! Namun tidak jelas siapa-siapa yang telah bertakbir. Hanya kulihat ibu yang wajahnya masih menyisakan airmata. Diam tak bergerak, meski berkali kuguncang tubuhnya. Wajah cantiknya sangat pias. Hilang segala daya pikat…
Aku berlari menghampiri Mbok Jum, seperti biasa kulakukan bila gagal mendapatkan pelukan ibu. Kuraba tubuh rentanya yang terasa panas membara. Duduk terkulai di atas tanah. Hilang segala kasihnya…
Di sampingnya, ada bapak yang juga bersimpuh dengan kepala tertunduk. Kemejanya compang-camping. Jelaga hitam menjadi penghias lengan, dahi, dan pipi. Hilang segala emosi…
Ada apakah ini? Bencana apakah yang telah terjadi? Aku tidak mengerti… Dan semakin tidak mengerti tatkala melihat kepuasan di wajah orang-orang yang bersorak demi menyaksikan rumahku berubah menjadi lautan api… Semakin tidak mengerti ketika jilatan lidah-lidah api tak terasa panas lagi... Semakin tidak mengerti ketika tubuhku terasa seringan kapas dan telapak kakiku tak menyentuh tanah lagi...
Sempat kukhawatirkan telapak kakiku terluka oleh tanah yang kian membara; telapak kaki yang selama ini kujaga dan kurawat dengan hati-hati. Ah, syukurlah. Ternyata sepasang itu masih utuh sempurna. Sebab kutak ingin surga menjadi kehilangan keindahannya, saat diletakkan di telapak kakiku kelak...
Dan mengertilah aku, kini. Nampaknya, aku tengah dibimbing menuju surgaku yang telah lama kunanti. Oh sungguh! Menggapai surga… itu sajalah yang kumaui…
***
[www.nyunews.com] Kebakaran hebat melanda rumah seorang warga di perkampungan yang padat penduduk.
"Kebakaran terjadi sekitar pukul 22.23 WIB," kata Darmaji, salah seorang petugas Pemadam Kebakaran saat dihubungi nyunewscom, Kamis (7/7/2011).
Ambruk dengan suara sangat keras. Rumah yang diduga warga sebagai tempat praktik maksiat itu, dibakar habis oleh massa. Menurut keterangan salah seorang warga, keberadaan rumah itu sudah sangat meresahkan.
“Syukurin dah lu, modar kabeh!” umpat seorang perempuan tambun yang nampak gemas.
“Kami berharap tidak ada korban jiwa. Karena tiga penghuninya berhasil kami selamatkan, meski anehnya mereka bertiga itu sempat meronta-ronta, menolak untuk kami selamatkan,“ sambung Darmaji yang dilanjut dengan klaimnya mengenai penyebab kebakaran yang belum diketahui dan untuk saat ini masih dalam penyidikan pihak berwajib.
Tiga jam berikutnya, di antara puing-puing reruntuhan, petugas menemukan jasad seorang gadis kecil yang tubuhnya kian mengecil karena sebagian besar telah hangus terbakar, namun sepasang kakinya luput dari murka si Jago Merah sebab terperangkap dalam tindihan puing-puing ranjang, meja dan entah apalagi yang mungkin telah menyebabkannya tak dapat menyelamatkan diri…
***
Note: Ini hanya sebuah remaking dari yang pernah ada… sekedar untuk mengenang sebuah kesedihan saja..