Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Tentang Kau

27 Agustus 2012   05:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:16 235 9

[image: 1xdotcom]

*

Kau tergelak-gelak hanya karena bunyi kentutmu sendiri. Ah, mungkin aromanya yang selalu unik terendus lebih lucu hingga tawamu tak terhenti bahkan melaju lagi di irama kentut kedua, ketiga dan seterusnya.

Kau pun sama terbahak, walau sekedar melihat tali beha yang menggelosor nakal, lalu berlagak menutup mata atau berpura memalingkan muka seraya berkata, “Hiyy, malu! Hiyy, malu!”

Kau tertawa riang gembira ketika pintu terbuka dan mendapatiku membawa cindera mata. “Mainan yang lucu, “katamu sembari erat menggenggamnya dan tak lupa kecup pipi, simbol terima kasih yang tak akan kubasuh dengan cairan pembersih apapun, agar tak lekang liurmu di pipiku, kecuali banyu wulu, itupun kalau kau setuju.

Kau juga nampak bahagia, hingga terpajang sebentuk gua hampa, padahal yang tersaji di depanmu hanyalah semangkuk bubur tawar yang kau anggap menu hotel bintang lima.

Kau tetap saja becanda, berkelakar tak tahu waktu, walau berulang kali telah kuperintahkan tata cara yang benar dalam ritual menyembahNya.

Kau baru surut dengan muka cemberut, saat pil dan tablet harus kau jemput. Lalu merandek manja ketika tiba waktunya membasuh muka. ”Hiyy, dingin ah, ”katamu dengan mimik jenaka.

Kau usap airmata dengan pandang mata tak percaya. Kuraba, kau pasti tengah bertanya: mengapaku yang dulu berguling di perutmu, bersembunyi di harum ketiakmu, kini berhenti menyusu dan tak lagi mencari dimana istrimu.

Sejenak kaupun seperti hilang akal. Kembali terpingkal-pingkal, ketika kuberpesan agar jangan nakal. Kau baru memutuskan untuk menutup rapat mulutmu, ketika bayang hadirku lenyap di tikungan. Lalu tak berhenti meraung, walau janji berkunjungku sudah genap seribu kau hitung.

Pernah kau tertegun. Manakala keranjang belanja yang kau sebut tas sekolah itu kuambil dengan paksa. Kataku dengan kelembutan yang tercekat di kerongkongan, “Ayah sayang, ini sudah malam. Sekolahnya besok saja ya?”

Dan kau menurut walau masih juga sempat menyahut, “Tempatnya sangat jauh. Kita harus berangkat sekarang kalau tak ingin terlambat datang dan sebabkan murka sang guru.”

Demi janji yang belum kutunai, kau pun kembali kujumpai. Berharap pada tawa yang membahana, rabun yang sempurna, belantara putih di kepalamu yang renta, dan… untuk pertama kalinya sejak kutempatkan kau di penjara tak berjeruji ini, kudapati kau yang berlaku selayaknya manula…

Tak sanggupkah lagi mulut kau itu terbuka seperti kemarin yang ceria? Katakan kepadaku, dengan apa kau hapus tawa yang lebar itu? Dengan kejam, kau lakukan aksi diam, walau sejuta kali kuguncang.

Perlukah kau sembunyikan gua kopong yang ditinggalkan stalaktit dan stalakmitnya itu? Ayo, cepat bilang padaku, dengan apa harus kubuka gerbangnya yang kini terkatup rapat dan hanya membentuk satu garis horisontal! Dengan keji, kau bersikukuh untuk bungkam, walau sekeras apapun kumeradang…

Aku datang. Dengan irama kentut yang semakin inovatif, agar bahagiamu kembali aktif.

Aku datang. Dengan baju berkerah lebar, agar tali beha hitam dapat sengaja kutunjukkan, demi gelak tawamu yang membahagiakanku.

Aku datang. Dengan serantang bubur yang kupastikan tak akan tawar, sebab telah kupesan dari sebenarnya hotel berbintang.

Aku datang. Bukan hendak menyuruhmu bersujud, sebab tak harus kau bersimpuh, bila semua tiket rukhsah telah kau dapatkan.

Aku datang. Bukan dengan bujukan pada secawan tablet dan pil yang pahit kau rasakan, tapi tajin kesukaan.

Aku datang. Bukan dengan cindera mata air mata dan penyesalan karena kurangnya waktu yang kusediakan, tapi kehadiran yang pasti berkelanjutan.

Aku datang. Bukan karena ingin mengobral wejangan, sebab kaulah yang lebih mumpuni akan hal yang demikian.

Aku datang, aku datang, aku datang… untuk waktu-waktu yang telah kutelantarkan. Seperti yang selalu kau bilang, uang segepok dan dunia dalam genggaman tangan, hilang guna bila sukma tinggal sejengkal…

Aku datang, aku datang, aku datang… untuk merapat di lututmu yang tak payah bergetar. Seperti pernah kau lakukan, padaku ketika masih dalam buaian.

Aku datang, aku datang, aku datang… bukan untuk sambutanmu yang hambar dan tawar… diam dan bungkam… sunyi dan senyap… perih dan getir… duka cita yang mendalam hinggaku ingin melompati pembatas waktu untuk kembali menemui kau yang telah menitiskan nutfah untukku berjaya dalam kehidupan…

Aku datang. Bukan karena ingin kupeluk kau…, yang kemarin betah lama mendiami kursi beroda ini. Bukan pula karena hendak kudekap kau…, yang terbungkus dalam lilitan kulit keriput dan belulang rapuh, namun ingatan tetap membocah.

Namun tetap kubanjiri kau…, dengan samudera air mata duka, hujan yang sama derasnya saat kau dukung aku menuju persembahan ijab qabulku dahulu.

Maka terus kurapal seribu mantra yang dulu kau ajarkan hinggaku lekat menghafalnya, meski tetap tak sebanding dengan banyaknya dirimu bermunajah saatku acungkan ijasah.

Di sisa daya, jiwa yang berduka ini, pada akhirnya harus kulepas kau… dengan sabar yang dipaksakan, dan pasrah hanya karena jiwa raga telah lungkrah.

Dan takkan kuhalangi kau. Pergi seperti yang kau maui. Itukah sekolah, ataukah madrasah, entahlah… Satu yang kuyakini kau kan menuju sebuah tempat yang menurutmu jauh untuk ditempuh…

***

Note:

Banyu wulu : air wudu dalam dialek masyarakat Comal dan sekitarnya

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun