Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Penguburan Langit Teteeni

1 Agustus 2012   02:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:22 675 26

Aku tahu itu Nepal. Telunjukku bahkan sudah sangat hafal dimana letaknya Nepal pada sebuah peta buta. Dan menjumpai Teteeni telah lama singgah dalam mimpi. Sejak bertugas menjadi asisten dr. Ruit, aku sudah banyak mendengar cerita hebat seputar Teteeni. Dokter yang bekerja untuk badan amal berskala internasional itu selalu bangga menyebut nama Teteeni, perempuan yang menurutnya tak kalah perkasa dengan Indira; seorang ratu dari negara tetangga, India.

Tak sesuai dengan gelar akademik yang kusandang di depan nama, nyatanya aku masih saja terhanyut dalam gelimang fantasia. Hingga terbayang Teteeni dengan raut wajah khas seorang dewi dari lembah Hindustani. Mata yang membelalak indah seperti Sri Devi. Rambut hitam panjang dikepang belakang meniru Hema Malini. Dan senyuman tak kalih manis dari bibir Rani Mukherjee.

Dr. Ruit tertawa tertahan, seraya menggeleng-gelengkan kepala; gelengan kepala yang bukan berasal dari keluwesannya ‘macak gulu’ seperti kebanyakkan masyarakat di negaranya. “You’re going to prove her natural beauty very soon. Just be patient until then, young fella,” katanya menjawab gambaranku tentang Teteeni, masih dengan sisa tawa dari wajahnya yang sehitam jelaga, namun menyimpan hati selembut sutra dan sebersih air lelehan salju di puncak Himalaya.

Our friend from Indonesia, is impatiently meeting Teteeni, “ gurau Hyo-Seong, paramedis dari Korea, menimpali ucapan dr. Ruit.

Aku tersenyum mengiyakan keduanya. Sudah tersiar kabar di antara para asisten dokter, betapa bernafsunya aku terhadap wanita bernama Teteeni itu. Sebab hanya aku saja di antara mereka yang belum pernah sekalipun berkesempatan tatap muka.

Lalu datanglah kawat yang tak terduga. Hinggaku terhenti mengarahkan stetoskop di dada seorang pasien bermata Durga. Teteeni meninggal dunia !

Usai satu hari perjalanan dengan kereta api, dan dua hari mendaki, aku dan rombongan tiba di kampung halaman Teteeni. Dalam perjalanan yang menguras waktu dan tenaga itu, dr. Ruit tak banyak bicara soal pasiennya yang istimewa. Ia nampak sangat berduka. Duka yang belakangan kutahu berasal dari perjuangannya memberi segenggam dunia bagi Teteeni yang buta !

Teteeni tinggal di desa Balou, distrik Doramba, Nepal. Desa yang terletak di salah satu puncak pegunungan Himalaya, The Roof of World. Di ketinggian yang tinggal sejengkal saja mencapai nirwana. Dan sungguh, berada 4000 meter di atas permukaan bumi tidak masalah bagi Teteeni. Itu hidup yang sangat disyukuri, sebab tak semua orang sanggup melakoni. Walau hidup tak memberinya pilihan selain tuntutan memahami atas segala kesulitan yang tegas ditawarkan oleh ketinggian. Oksigen tipis mungkin tak lagi dipersoalkan setelah berpuluh tahun dihabiskannya di atas puncak dunia. Namun bukan hanya itu ‘kelebihan’ yang diperolehnya. Himalaya, karena ketinggiannya, selalu sanggup menampung sinar ultraviolet secara berlebih dari lansekap manapun di dunia. Sinar yang diraup sebanyak-banyaknya kehangatannya oleh albino Amerika dan Eropa, diterima Teteeni sebagai katarak yang menjadi jendela berkabut gelap bagi sepasang mata andalannya. Sinar berwarna ungu itulah yang menyebabkan Teteeni buta.

Tiga tahun sudah Teteeni merangkak, terkadang tertatih dengan sebilah tongkat, sekedar mengisi jerigen penampung air minum. Segalanya kini dilakukan dengan gerakan lambat disertai perhitungan yang akurat. Sebab jalan di desanya begitu indah dengan kanan kiri jurang, turun lalu menanjak terjal oleh aneka bebatuan.

Telapak kakiknya sekeras batu. Seluruhnya berkerak seperti bumi Etiopia yang menahun dilanda kekeringan. Panas yang menyengat dan dingin yang menggigit telah mengukirnya sedemikian rupa. Kutahu itu, setelah pembungkus kakinya dibuka, sedang jasadnya membujur kaku di atas meja.

Dari penuturan Hyo-Seong, dokter muda yang parasnya setara dengan Kim Tae Hee itu, kudengar kisah mengharukan antara dr. Ruit dengan Teteeni-nya. Butuh waktu panjang bagi dr. Ruit untuk berjumpa dengan Teteeni. Walau namanya telah lama masuk dalam daftar penerima operasi katarak, namun baru 1 tahun lalu mereka dapat bertemu muka. Itupun setelah, Aashirwad, tetangganya terdekat kembali dari perburuannya mencari chiru, lalu berhasil menggendongnya turun untuk kemudian membawanya sejauh 10 km demi mencapai lembah dimana Tilganga berada; balai pengobatan tempat dr. Ruit menyelenggarakan operasi kataraknya secara berkala dan dengan biaya cuma-cuma.

Aku menghela nafas berat. Dadaku kesulitan menghisap O2, zat yang sangat kurindu karena rasanya yang sangat melegakan itu. Pandang mataku jauh menerawang ke bawah lembah. Di sanalah terhampar lahan pertanian gersang yang disusun secara berlarik-larik, seperti anak tangga raksasa yang melingkari pegunungan. Burung-burung berkepala merah, melayang jumawa, mungkin karena namanya yang juga terdengar bergaya, Painted Stork. Hilir mudik memamerkan bentangan sayap kelabunya di atas gubug tempat Teteeni berteduh dan menghabiskan masa tuanya. Bendera kecil warna-warni terbentang di mana-mana, riuh berkibar mematuhi angin yang meniupnya.

Segalanya terasa tenang dan berjalan demikian lambat, seolah waktu bosan berjalan, dan terhenti di ketinggian sunyi ini. Masih belum ada yang mengurusi jasad Teteeni. Padahal itu satu hal yang sangat krusial, merunut pada ajaran agamaku yang wanti-wanti menganjurkan untuk tidak menunda-nunda waktu mengebumikan mayit. Di sini, ajaran itu pun sama berlaku, namun oleh sebab kepentingan yang berbeda. Yaitu ; penyakit yang begitu mudah terjangkit, atau selera para pemangsa yang segera terpikat oleh bau jasad yang menginap lebih dari satu hari saja.

Sebagai pengikut ajaran Sammasambuddha, jasad Teteeni tak dapat dikuburkan. Malangnya, prosesi kremasi mustahil dilakukan di sini. Sebab ketinggian tak menyediakan banyak kayu bakar. Adapun sedikit yang ada, hanya cukup untuk menghangatkan badan. Holy Lama yang biasa memimpin ritual, perlu memanggil seseorang dari luar ajaran sang Tathagata, untuk membantu perjalanan Teteeni moksa.

Seekor keledai terangguk-angguk membawa beban. Berjalan di sampingnya adalah Bhuji Bhola Banstola, seorang shaman yang telah menempuh perjalanan 2 km untuk mencapai puncak Himalaya demi memenuhi undangan. Satu demi satu bekalnya di buka. Genderang bersimbol trisula ditabuhnya pelan-pelan, lalu mengeras-kencang seiring tarian dan mantranya yang memusingkan kepala, bagiku yang baru pertama mengikuti ritual penguburan langit; ritual yang hanya dapat dilakukan seorang shaman.

Holy Lama dan para bhiksunya mengambil tempatnya berdoa, duduk bersila, berjajar di balik bebatuan cadas, jauh dari jasad Teteeni yang terbungkus bermacam kain beraneka warna. Asap dupa segera menyesakkan dadaku yang kian terseok memilah udara. Lonceng-lonceng kecil berdenting memecah kesunyian puncak Himalaya yang dingin menusuk tulang padahal siang masih benderang. Disusul dengungan agung dari radung yang meluncur dari pipa-pipa panjang yang ditiupkan para pemuka agama berjubah merah-jingga. Dengungan yang khas dan hanya ada di ketinggian ini. Kulihat, Teteeni terbujur tenang di atas batu altar. Ia nampak tak kedinginan walau berlembar kain pembungkusnya telah pun tanggal semuanya. Lalu…

Kraakkss!!

Kapak di tangan Bhuji Bhola Banstola berayun kejam, tanpa keraguan memutilasi jasad Teteeni. Aku reflek memejamkan mata. Dan tak sanggup membuka hingga bunyi ayunan kapak itu tak terdengar lagi. Sesaat kemudian sepi. Sangat sepi…

Usailah sudah sendratari. Tasbih berhenti bergulir di genggaman jari. Mantra dan doa telah diakhiri. Denting lonceng purna bernyanyi. Gaung terompet tembaga pun takluk dibekap sunyi. Holy Lama dan para bhiksunya bergegas mengajakku pergi, sebelum angin menerbangkan bau anyir yang mengundang; bebauan yang disengaja kapak sang shaman untuk memanggil para penguasa langit. Shaman Bhuji Bhola Banstola mendelikkan mata, karena keterpakuanku di tempatku berdiri.

Aku sungguh ingin Teteeni lekas mukti. Namun sulit benar kuhapus bayang-bayang ini. Tentang paruh-paruh tajam dari sekelompok burung besar dalam keluarga elang, mereka yang disebut burung nasar, lammergeyer, atau vulture, alias burung pemakan bangkai. Cabikan demi cabikan, kunyahan demi kunyahan, hanya berlangsung dalam sekian menit saja. Dengan ketajaman paruhnya, kekebalan tubuhnya terhadap jasad-jasad tak bernyawa, mereka adalah pasukan pembersih yang luar biasa efektif. Dan merekalah sejatinya para pelaku penguburan langit itu…

Alam telah memberikan kita banyak kehidupan. Sepatutnya kita pun mengembalikan kehidupan itu kepada alam. Walau dengan cara apapun, tujuan apapun, entah itu sebuah keyakinan, ataukah keterdesakkan lingkungan yang tak memberinya pilihan, namun Teteeni telah menunjukkanku sebuah keadilan dan keseimbangan. Ia mungkin sadar, telah banyak berhutang pada alam, maka dengan segenap keikhlasan ia memberikan seluruh hidupnya, jiwa dan raganya, secara sempurna dengan kembali kepada alam. Dan kelak, alam akan mempersembahkan sebuah kehidupan baru. Demikian tulisanku di lembar terakhir dari jurnal perjalananku selama magang di Nepal…

***

Pustaka:

Macak gulu : gerakan leher, seperti bergoyang-goyang, biasanya dalam sebuah tarian

Chiru : sejenis rusa

Sammasambuddha : Buddha Agung

Tathagata : nama lain Sang Buddha

Radung : disebut juga dung-chen, sebuah terompet dari tembaga berpipa panjang

Mukti : searti dengan moksa

[Image : 1x]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun