Ternyata ada orang yang tega membuat cerita bohong demi beasiswa.
Adalah Dhita, mahasiswi sejarah di salah satu perguruan tinggi di Medan. Srikandi kelahiran 1994 itu sedang menulis esai. Saat itu, 2 Maret 2015, dia merangkai kata demi kata dalam sebuah piranti microsoft word. Dia menuturkan kelahirannya, sekolah dan prestasinya, keluarganya, hingga kegiatannya di luar perkuliahan. Dia melakukan itu agar memenuhi salah satu persyaratan beasiswa.
Banyak mahasiswa/i Strata satu mengajukan permohonan ke beasiswa Van Deventer-Maas Stiching (VDMS) yang diberikan suatu yayasan di Belanda. Dari sekian banyak mahasiswa/i, Dhita salah satu tergolong di dalamnya. Dia berkompetisi untuk mendapat suntikan dana demi membantu perkuliahannya.
Kemudian dia memintaku untuk membaca karyanya itu.
Seusai membaca, aku merasa punya tanggung jawab moral. Lantas bak seorang yang pernah mendapatkan beasiswa, aku memberi saran. “Apa yang telah kaulakukan yang memberi dampak baik bagi masyarakat?” tanyaku. “Kau harus buat hal yang menjualmu kepada pihak pemberi beasiswa…” sambungku.
Kemudian wanita berambut hitam sepinggul, bebibir merah oleh ginju, dan berparas putih nan mulus itu bercerita. Dia mengisahkan tentang keluarganya. Ayahnya masuk rumah sakit jiwa karena ditinggal ibunya yang selingkuh, pergi, dan tak pernah kembali. Dia dan kedua adiknya tinggal bersama neneknya, dan hidup dalam kesederhanaan.
Aku tak habis pikir, mengapa dia mau membuka hal privasi itu kepadaku. Padahal, saat itu, dia kali pertama bertemu dan berkenalan denganku.
Dhita jadi antitesis. Dia bagai pelita yang menerangi jalanku di hutan belantara nan gelap. Hatiku tertohok kearifan lama yang sulit kutemukan di masa sekarang ini. Di saat kebanyakan orang menanam individualisme, namun saat bertemu Dhita, harapanku tumbuh kembali. Di kala kebanyakan orang bercerita di dunia maya dan berharap mendapat perhatian dari temannya di jejaring sosial yang belum tentu punya simpati, di saat itulah Dhita berkisah padaku.
Setelah dia pergi, sesungguhnya dia tidak meninggalkanku. Dia menaruh kekaguman di hatiku. Dia menyisakan keingintahuanku tentang dia. Aku penasaran dibuatnya.
Aku mencari tahu tentang dia di internet. Melihatnya di jejaring sosial facebook, aku terkejut. Hatiku terasa bergoyang dan runtuh. Rasa kagum yang disisipkannya di kalbu, seketika menguap keluar dari tubuhku, melayang entah ke mana. Aku tak menyana tindakan yang dilakukannya dalam mengajukan beasiswa itu adalah sebuah kebohongan.
Sosok cantik menurut pandanganku itu telah membohongiku, juga pihak pemberi beasiswa. Cerita yang dibangun dalam esai miliknya mengandung dusta. Ternyata, ibunya [masih] menemuinya. Bahkan dia mendapat hadiah ulang tahun yang ke-20 dari ibunya. Dia bagai makhluk bermuka dua.
Betapa seseorang bisa berdusta demi tujuan. Betapa seorang tega membohongi diri sendiri demi mewujudkan tujuan. Betapa seorang menulis kebohongan dalam esai hanya karena terobsesi memperoleh beasiswa.
Akhirnya, betapa sedihnya aku karenanya.