Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Belajar kepada Aidit dan Natsir

18 September 2010   00:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10 1748 0
[caption id="attachment_261160" align="alignleft" width="282" caption="Dipa Nusantara Aidit, mantan Ketua CC PKI (Foto: ismahansejarah.wordpress.com)."][/caption] MUNGKIN tak sedikit di antara Anda yang pernah membaca atau mendengar persahabatan atau pertemanan unik antara Ketua Commitee Central (CC) PKI, D.N. Aidit, dengan Ketua Umum Partai Masyumi, M. Natsir.

Kedua tokoh terkemuka pada era pra-Orde Baru itu dikenal sebagai pemimpin tertinggi dua partai yang secara ideologis sangat berseberangan. Yaitu PKI yang beraliran komunis dan Masyumi yang dikenal sebagai Partai Islam modernis. Secara politik, sikap kedua partai ini juga kerap berbeda, bahkan bertabrakan.

Akan tetapi, sikap keduanya sering menjadi rujukan bagaimana seharusnya memupuk kedewasaan dalam berpolitik. Walaupun Aidit dan Natsir secara politik bisa dibilang bermusuhan, namun di luar urusan politik mereka tetap bisa menjalin tali silaturahmi. Dua tokoh itu dulu diketahui sering menjadi teman ngerumpi di kafe DPR, sembari minum kopi bersama. Ini biasa mereka lakukan pada waktu senggang, di sela-sela agenda persidangan DPR yang justru mempertemukan mereka sebagai musuh politik bebuyutan.

Apa yang dilakukan Pak Natsir dan Pak Aidit di kantin DPR tadi sangat manusiawi dan justru mencerminkan kedewasaan dalam berpolitik. Manusiawi, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial yang selalu ingin bertegur sapa atau menjalin silaturahmi dengan sesamanya. Sedangkan disebut dewasa karena keduanya dapat mempraktekkan etika politik yang tinggi atau beradab: yakni bahwa perbedaan sikap atau pilihan politik mestinya tidak harus menjadikan para pelakunya bermusuhan dalam segala bidang kehidupan.

Teladan itulah yang harusnya dapat kita petik dari mereka. Apalagi jika kita sudah mengamini bahwa demokrasi merupakan tatanan final yang harus dijalani oleh bangsa dan negara kita, maka teladan Aidit dan Natsir tadi lebih kental letak pentingnya. Karena demokrasi, suka atau tidak, selalu meniscayakan adanya perbedaan pilihan politik atau ideologi. Tanpa kedewasaan dalam menyikapi perbedaan sikap atau pilihan politik, maka demokrasi dapat berujung pada kekerasan, seperti bisa kita lihat dalam fenomena yang menyertai praktek demokrasi di beberapa negara seperti India, Filipina, atau Pakistan.

Kekerasan tadi sejatinya berlawanan dengan hakekat dan tujuan demokrasi. Karena justru sebetulnya salah satu tujuan demokrasi ialah mengakomodasi perbedaan-perbedaan pilihan politik di tengah masyarakat melalui mekanisme perwakilan. Perbedaan sikap atau pilihan politik yang sebelumnya meletup menjadi konflik di jalanan, yang rentan menjadi ledakan kekerasan horizontal, ditransformasikan menjadi perdebatan atau tarik menarik kepentingan melalui sidang-sidang parlemen.

Dengan demikian, salah satu fungsi sistem perwakilan yang menyertai demokrasi, adalah dalam rangka mengendalikan potensi konflik di tengah masyarakat. Demokrasi memungkinkan aspirasi publik yang berbeda-beda tadi ditata sedemikian rupa dan disalurkan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Fenomena Awam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun