Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Berlebihan Selama Ramadhan

7 September 2010   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23 146 0
[caption id="attachment_252353" align="alignleft" width="240" caption="Mal menjadi ajang ngabuburit yang populer selama bulan Ramadhan (foto:metroriau.com)."][/caption] SALAH satu hikmah berpuasa Ramadhan hampir sebulan ini mestinya ialah dihayatinya sikap hidup sederhana atau bersahaja. Puasa Ramadhan mengajarkan kepada para pelakunya bahwa hidup bukan untuk makan, tetapi makan hanyalah sarana untuk hidup. Terkait hal ini, misalnya, Nabi Muhammad pernah bersabda, "Makanlah ketika lapar, dan berhentilah makan sebelum kenyang." Pada riwayat lain disebutkan bahwa Nabi SAW pernah menasehati umatnya agar sepertiga bagian perut saja yang diisi makanan. Sisanya untuk minuman (air) dan udara (bernafas). Teladan Nabi ini memperlihatkan bahwa pola makan kita tetap harus dijaga agar tidak berlebihan, meskipun boleh jadi kita memiliki banyak uang. Dalam bahasa masa kini, nasihat Nabi tadi dapat disamakan dengan diet atau mengatur pola makan yang sehat. Jadi, sebelum masyarakat modern meributkan pentingnya menjaga pola makan, Nabi jauh-jauh hari telah memberi wejangan. Terbukti pada masa kini, mereka yang tak menjaga pola makannya akan lebih rentan terserang pelbagai penyakit serius. Misalnya stroke, diabetes, darah tinggi, jantung, obesitas, atau kombinasi dari itu semua. Penyakit yang lazim menimpa kelas menengah perkotaan ini, selain dipicu faktor keturunan, erat kaitannya dengan kebiasaan makan yang tak sehat atau berlebihan. Sebaliknya, warga pedesaan yang karena desakan ekonomi harus hidup sederhana --termasuk dalam hal makan-- justru lebih sehat dan jarang mengalami penyakit-penyakit kaum "berduit tadi". Ini barangkali keadilan Tuhan atau hikmah di balik musibah. Dalam arti, jika diberi peluang memilih, tentu siapa pun tidak ingin hidup miskin. Namun keterpaksaan hidup dalam keterbatasan justru membuat masyarakat pedesaan memiliki pola makan lebih sehat. Selain rutin mengkonsumsi sayur-sayuran berserat dan jarang makan daging yang tinggi kolesterol, warga desa juga nyaris tidak pernah mengkonsumsi makanan "junk food" ala orang kota. Warga desa terbiasa makan sehari dua kali dan tidak berlebihan, mengingat untuk membeli beras pun terkadang mereka kesulitan. Food Celebration Walhasil, masyarakat pedesaan masih banyak yang memegang teguh filosofi "makan untuk hidup" atau "hidup sekadarnya bahagia sebesarnya." Sebaliknya, gaya hidup konsumtif warga kota telah menjadikan mereka seolah menunaikan prinsip "hidup untuk makan". Dalam konteks ini, makan bukan lagi sebatas demi memenuhi asupan kalori, mineral, dan vitamin yang dibutuhkan tubuh. Lebih dari itu, makan telah dirayakan menjadi seni atau gaya hidup untuk memanjakan selera, cita rasa, maupun sekadar gengsi penikmatnya. Akibatnya, bukan saja di pusat-pusat perbelanjaan di kota tumbuh foodcourt bak jamur di musim hujan, melainkan berkembang pula wisata kuliner warga kota yang aktivitas utamanya adalah berburu makanan enak ke segala penjuru. Dalam kepungan kultur urban yang serba memanjakan hasrat makan tadi, puasa hadir menjadi semacam antitesis. Puasa mengajak manusia kembali merenungkan bahwa hakikat hidup bukan untuk makan (atau secara umum untuk menuruti hawa nafsu). Melainkan sebaliknya, makan perlu dikembalikan fungsinya sekadar instrumen untuk bertahan hidup. Makan di sini sebenarnya bisa dipahami sebagai analogi dari kehidupan dunia fana yang lebih luas. Dengan demikian, jargon "hidup untuk makan" dapat diperluas menjadi "hidup untuk dunia". Sementara "makan untuk hidup" diperluas menjadi "dunia untuk hidup." Yang pertama, menggambarkan orang yang terlalu cinta dunia (hubbul dunya) sehingga menjadikan dunia yang fana ini sebagai tujuan hidupnya. Sedangkan yang kedua sebatas menjadikan dunia sebagai sarana meraih tujuan hidup yang lebih hakiki, yakni akhirat atau Tuhan itu sendiri. Prinsip hidup yang terlalu cinta dunia, disadari atau tidak, cenderung melahirkan sikap "jahiliah masa kini" (meminjam istilah Sayyid Qutb) yang memberhalakan beragam aspek kehidupan duniawi sebagai tuhan-tuhan baru. Misalnya menuhankan hawa nafsu (seks bebas, permisivisme), karier dan pekerjaan, penampilan (fashion, mode), materi (korupsi, keserakahan) atau kesenangan-kesenangan semu dan sesaat seperti dugem, narkoba, dst. Sebaliknya mereka yang menempatkan dunia sekadar sebagai perhentian sementara atau sarana untuk meraih tujuan hidup yang hakiki, yakni akhirat, akan cenderung hanya menuhankan Tuhan. Dengan kata lain tidak terjebak untuk melakukan syirik masa kini atau menuhankan dunia. Puasa Ramadhan sebenarnya menjadi siklus pengingat rutin agar manusia tak sampai tertipu oleh fatamorgana dunia. Karena tabiat manusia yang mudah lupa dan cenderung berpikir pendek (kini dan di sini), maka perlu selalu diingatkan melalui kuliah Ramadhan bahwa dunia ini bukan tujuan akhir perjalanan mereka. Inilah mengapa, di dalam khazanah Islam, sampai dikenal ada ungkapan bahwa "dunia adalah penjara bagi kaum mukmin." Dunia ibarat penjara, karena sejatinya, perjalanan yang hakiki bagi kaum beriman ialah pulang ke kampung akhirat atau kembali ke asal muasal manusia, yakni Allah SWT. Paradoks Ramadhan Nah, seperti sudah saya uraikan di atas, Ramadhan sejatinya mengajarkan pola hidup sederhana atau bersahaja. Akan tetapi, prakteknya sering kita lihat yang muncul di tengah masyarakat saat Ramadhan tiba justru pola atau gaya hidup berlebih-lebihan.  Bila sebelum Ramadhan kita biasa makan di rumah atau di kaki lima dekat rumah, begitu Ramadhan tiba malah berbukanya dari mal ke mal, atau dari restoran satu ke restoran yang lain. Baik dengan keluarga, rekan sekerja, ataupun sendirian. Persediaan makanan yang ada di rumah, baik untuk buka maupun sahur pun menumpuk, ibarat persiapan mau mengungsi atau bersembunyi di bunker. Tak hanya kulkas yang full atau malah overload, makanan siap santap yang dibeli seraya ngabuburit pun menumpuk di sana sini. Terkadang, saking banyaknya, sebagian terpaksa menjadi jatahnya kotak sampah. Padahal, tak jauh dari rumah kita, boleh jadi keluarga yang lain harus sahur atau berbuka dengan sepotong ikan asin dan sambal ala kadarnya. Lalu, di mana empati atau solidaritas sosial kita? Semakin mendekati Lebaran, persiapan kita menumpuk baju baru atau bahan makanan pun kian rakus. Segala bentuk diskon, cuci gudang, sampai sale tengah malam, semua diburu demi menyambut Lebaran. Lebaran bukan dipersiapkan dengan semakin rajin menata hati dan membersihkan jiwa (tazkiyatun nafs), agar betul-betul kembali ke kesucian diri di hari nan fitri, melainkan disambut dengan keberlimpahan materi belaka. Itulah yang bisa disebut paradoks atau anomali Ramadhan. Boleh jadi semua itu tak lepas dari tren komersialisasi yang melanda nyaris setiap denyut kehidupan kita. Sehingga, Ramadhan yang mestinya ditandai dengan aura kekusyukan, kesederhanaan, akhirnya justru bernuansa hura-hura dan menjadi ajang pamer gengsi. Memang pada siang hari orang-orang masih berpuasa. Namun, begitu saat berbuka tiba, pola kehidupan justru seringkali lebih konsumtif ketimbang hari-hari biasa. Jadi, siang menahan diri, tetapi begitu azan magrib berkumandang ibarat kuda yang terlepas dari kandang. Seolah berbuka puasa atau malam hari menjadi ajang melampiaskan dendam atas pengekangan hawa nafsu pada siang harinya. [] Jakarta, 1 September 2010.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun