Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Puasa, Saat Tepat Berhenti Merokok

8 Agustus 2010   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:12 503 0
[caption id="attachment_219774" align="alignleft" width="231" caption="(ilustrasi: pdffun.com)"][/caption] SAYA pertama kali merokok pada masa SMP. Awalnya hanya iseng coba-coba ketika itu. Belinya pun cuma sebatang dua batang, lalu dirokok ramai-ramai dua atau tiga anak secara bergantian. Di luar iseng, paling terselip hasrat agar dengan merokok kami dianggap dewasa, seperti anak-anak SMA. Mirip keinginan untuk memelihara kumis saat itu. Jadi tak ada dorongan atau kebutuhan yang benar-benar mendesak kami untuk menjadi perokok. Hanya saja keisengan itu, lantaran efek kecanduan yang ditimbulkan nikotin, lama-lama menjadi keterusan dan selanjutnya berkembang menjadi kebutuhan. Beberapa teman saya bahkan, sadar atau tidak, kemudian malah menjadikan merokok sebagai salah satu kebutuhan pokoknya. Maka, andai hanya punya uang pas-pasan, kawan saya yang bertipe perokok berat begini lebih memilih membelanjakan uangnya untuk membeli sebungkus rokok daripada sepiring nasi. "Saya lebih kuat menahan lapar daripada mulut kecut (asam) karena tak merokok," begitulah biasanya alasan mereka. Perasaan asam di dalam mulut yang dirasakan para perokok tersebut biasanya muncul setelah mengkonsumi makanan atau minuman yang provokatif. Misalnya minum teh panas dan kopi panas atau makan sayur yang pedas-pedas. Karena itu, bagi mereka yang berniat berhenti merokok, sangat disarankan untuk mrnghindari minum teh panas dan kopi panas, serta makanan yang bercita rasa provokatif lainnya, seperti sate atau masakan yang pedas dan banyak menggunakan bumbu rempah-rempah. Air putih, es teh tawar, atau sayur bening disarankan untuk dikonsumsi. Self-Control Menurut saya, hal tersulit yang menghalangi orang berhenti merokok ialah kurangnya kemampuan untuk mengendalikan diri (self-control). Asal kemampuan self-control-nya bagus, ditambah ada kemauan kuat untuk berubah, maka efek adiktif atau kecanduan nikotin sebenarnya bukanlah hal yang terlalu sulit dilawan. Sebab perasaan lemah, lesu, atau tak bersemangat sebagai efek kecanduan nikotin, paling hanya dirasakan sehari dua hari. Setelah itu kita sudah bisa hidup normal, bebas rokok, meski jika sembari minum kopi atau teh panas maka lidah kita cenderung tergoda untuk merasakan nikmatnya merokok kembali. Jika self-control baik dan kemauan kuat, kita tak perlu melakukan kompensasi dengan mengisap permen sebagai ganti rokok. Karena rasa manis yang ditimbulkan permen tersebut kadang justru memicu keinginan kita untuk kembali merokok. Karena efek ketergantungan nikotin dalam darah hanya berlangsung beberapa saat, akan sangat baik jika keinginan berhenti merokok dilakukan pada bulan puasa untuk mereka yang beragama Islam. Sebab perasaan berat atau tersiksa karena tak merokok hanya muncul pada minggu pertama puasa. Setelah itu kita merasa biasa saja walaupun seharian tak merokok. Dengan demikian, suasana puasa Ramadhan lebih kondusif untuk digunakan sebagai momentum berhenti merokok selamanya. Efek Positif Para perokok, apalagi yang sudah perokok berat, lazimnya tidak akan mempan dikuliahi ihwal betapa bahayanya merokok. Karena itu, meski bungkus rokok telah lama diberi label peringatan pemerintah tentang bahaya merokok, tetap saja mayoritas pria Indonesia menghabiskan sebagian besar masa hidupnya dengan merokok. Malah belakangan menjadi pemandangan khas di kota-kota besar pula: banyak perempuan muda yang merokok secara terbuka di kafe-kafe atau restoran cepat saji. Kebiasaan yang beberapa tahun lalu masih dianggap tabu dan hanya lazim dilakukan para wanita pekerja seks komersial. Mudah-mudahan saja gejala ini bukan lantaran sebagian wanita menerjemahkan emansipasi secara salah kaprah hehe... Mengingat pengalaman saya sendiri yang tak terlalu hirau dengan peringatan bahaya merokok, maka dalam kesempatan ini saya tak akan "menakut-nakuti" para perokok dengan penjelasan yang mengacam. Toh sebenarnya para perokok, apalagi yang terdidik, rata-rata sudah mengetahui bahaya merokok atau nikotin. Misalnya bisa menyebabkan kanker paru-paru, impotensi, serangan jantung, darah tinggi, stroke, dan sebagainya. Masalahnya, sepanjang diri sendiri belum punya kemauan kuat untuk berhenti merokok, para perokok bisa saja berkhilah ketika mendengar penjelasan tentang bahaya rokok tadi. Misalnya, "ah tidak merokok pun jika sudah takdirnya mati ya mati" atau "bukan cuma merokok, makan pun jika berlebihan juga bisa menyebabkan penyakit seperti stroke dan darah tinggi", dan seterusnya. Juga tak banyak gunanya para perokok dicekoki fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) ihwal haramnya merokok. Apalagi fatwa itu masih debatabel. Saya, misalnya, sebagai muslim lebih sejalan dengan pendapat mantan Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais, yang menyatakan bahwa hukum merokok adalah makruh, bukan haram. Arti makruh adalah suatu perbuatan jika dilakukan tak berdosa, namun jika ditinggalkan akan mendapat pahala. Pengharaman rokok oleh MUI menurut saya lebih menunjukkan mulai kuatnya "infiltrasi" kelompok-kelompok "Islam anyaran" (Wahabbi) atas lembaga ulama yang sering mengeluarkan fatwa bermasalah itu. Karena itu, dalam tulisan ini, saya hanya akan berbagi ihwal pengalaman positif yang saya rasakan sendiri setelah saya berhenti merokok. Ya, efek positif berhenti merokok bagi tubuh kita sudah bisa dirasakan pada minggu-minggu pertama sejak kita mulai berhenti merokok. Manfaat yang saya rasakan setelah saya berhenti merokok, pertama, ialah hilangnya rasa capek atau pegal-pegal otot dan nyaris seluruh persendian tubuh. Sebelum berhenti merokok, setiap hari saya merasakan badan saya lekas capek, mudah pegal di sekujur tubuh. Saya merasa seperti habis bekerja sangat berat. Padahal saya tidak bekerja yang bersifat fisik. Rasa pegal atau capek ini mungkin pengaruh nikotin yang meracuni aliran darah saya. Sebab biasanya rasa capek atau pegal tersebut bisa saya lawan dengan berolahraga sampai mengeluarkan keringat. Sekresi keringat yang banyak ini mungkin menjadi sarana detoksifikasi atau proses tubuh membuang racun seperti nikotin dan bahan kimia lain yang dihasilkan asap rokok tadi. Repotnya, kondisi kerja di Jakarta yang amat menyita waktu, tak memungkinkan kita sering-sering berolah raga. Manfaat kedua berhenti merokok adalah kembalinya vitalitas kepriaan. Menurut sejumlah pakar seksologi, vitalitas kejantanan seorang laki-laki secara mudah bisa ditandai dengan terjadinya ereksi pada waktu bangun tidur pagi hari. Nah, jujur saja, akibat intensitas merokok yang kuat tanpa disertai olah raga, saya sempat beberapa bulan mengalami "impotensi" di pagi hari ini. Mungkin ini karena kadar nikotin yang terlalu pekat dalam tubuh saya telah mempersempit jalur pasokan darah ke alat vital, sehingga mengganggu proses ereksi yang terjadi secara alamiah. Nah, setelah saya berhenti merokok secara total selama lima hari saja, gejala "on" secara otomatis yang menjadi sinyal sehatnya organ vital saya telah kembali normal. Ini barangkali karena jalur darah menuju alat vital sudah bersih dari pengganggu, mirip jalur busway yang sudah disterilisasi dari penyerobot, sehingga perjalanan naik busway lebih nyaman dan lancar, hahaha. Ketiga, dengan berhenti merokok, maka kebiasaan buruk saya yang sulit tidur malam pelan-pelan sembuh dengan sendirinya. Bayangkan, akibat insomnia, saya baru bisa tidur menjelang subuh atau kadang malah tidak tidur dan langsung ngantor pagi harinya. Jamu pelelap tidur yang coba saya minum untuk mengatasi problem insomnia pun tidak mempan. Nah, luar biasanya, baru semingguan saya total berhenti jadi "ahli hisap" rokok, rasanya jam tidur saya sudah mulai normal lagi. Kalaupun sesekali saya masih tidur dini hari ya biasanya karena sorenya saya sudah tertidur dulu, lalu bangun tengah malam dan tidak bisa tidur lagi. Kalau begini sih saya anggap masih normal, lantaran kebutuhan tidur kita sudah tercukupi sorenya. Keempat, kualitas tidur saya juga meningkat setelah saya berhenti merokok. Indikasinya, badan terasa segar begitu saya bangun pagi. Kualitas tidur yang meningkat ini tentunya didorong oleh kualitas udara di kamar tidur saya yang ikut meningkat begitu saya berhenti merokok. Ini karena sewaktu saya masih merokok, saya biasa merokok di kamar sembari ngopi dan mengerjakan tugas-tugas. Nah udara kamar dengan sendirinya kan tercemar asap, nikotin, dan bahan kimia beracun dan berbahaya lain, yang terkandung dalam rokok. Dengan berhenti merokok, otomatis kualitas udara kamar tidur saya meningkat karena bebas dari pencemaran akibat pembakaran tembakau. Dan kelima, hidup saya juga terasa lebih tenang, terkendali, terencana, dan tidak mudah gelisah atau stres. Sebelumnya tiap kali saya merasa gelisah atau stres, maka konsumsi rokok saya justru semakin kencang, seperti cerobong asap yang rajin menyemprotkan asap tebal. Nah, sejak saya berhenti merokok, setiap kali saya menghadapi masalah, saya mencoba tidak lagi melakukan tindakan kompensasi seperti merokok, melainkan berusaha mencari solusi terbaiknya, dengan mendayagunakan pikiran rasional. Saya pun belajar melakukan aktivitas rutin saya, yaitu menulis atau mengarang, tanpa harus diprovokasi nikotin ke dalam otak. Dan ternyata bisa juga menulis tanpa ditemani rokok dan segelas kopi kental, meski awalnya agak canggung juga. Padahal, seperti sering dikatakan banyak penulis lain pula, dulunya saya menganggap merokok adalah salah satu cara terbaik untuk mendapatkan ilham atau ide. Tetapi, jika dipikir-pikir lagi, anggapan tadi mungkin lebih merupakan rasionalisasi atau apologi para penikmat rokok saja, hahaha. Nah, di luar empat aspek positif berhenti merokok yang saya sebutkan tadi, tentunya masih ada kelebihan lainnya, seperti penghematan pengeluaran, hilangnya bau apek atau bau asap rokok pada busana kita, dan sebagainya. Namun karena terbatasnya ruang, biarlah aspek ekonomi dan estetik sebagai hasil keputusan kita berhenti merokok itu dibahas para penulis lainnya. [] Jakarta, 8 Agustus 2010.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun