SALAH SATU fenomena yang muncul menyusul lahirnya gerakan reformasi di Indonesia ialah maraknya kelompok-kelompok Islam minoritas yang beraliran keras atau ekstrem. Secara lahiriah maupun paradigmatik, kelompok-kelompok ini bisa dibedakan dengan arus utama umat Islam Indonesia yang moderat, yang diwakili kalangan NU dan Muhammadiyah. Secara ideologis, kelompok-kelompok tersebut bisa pula dibedakan dari kelompok Islam pendatang baru yang terus bertumbuh, yakni Jamaah Tarbiyah, yang memiliki sayap politik Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Secara umum atau kasar, kelompok-kelompok Islam garis keras tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian utama. Yakni, pertama, kelompok yang secara ideologis ingin mendirikan negara Islam atau kekhalifahan di Indonesia, dan kelompok yang hanya ingin menegakkan syariat Islam dalam lingkungan NKRI. Kelompok pertama dari sudut ideologis atau paradigmatis lebih tertata secara sistematis. Mereka memiliki agenda atau skala prioritas yang jelas untuk mencapai sasarannya, dengan semacam standar prosedur operasi (SOP) yang jelas dan relatif baku.
Sementara kelompok kedua tidak terlalu ideologis, dan sering tindakannya hanya bersifat insidental, reaksioner, atau eklektik-oportunistik. Walaupun begitu, kedua kelompok tersebut jarang mengalami gesekan dan sama-sama tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI), sebuah forum ormas-ormas Islam yang didominasi kalangan Islam garis keras.
Kelompok pertama, yang lebih ideologis, diwakili antara lain Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Jamaah Islamiyah (JI) alias Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) alias Jamaah Ansharut Tauhid (JAT).Baik JI, MMI, maupun JAT dipakai istilah “alias” karena tokoh utamanya sama, yakni Ustadz Abu Bakar Ba’asyir dari Pondok Pesantren Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah. Kelompok kedua, yang lebih merupakan kelompok penekan (pressure group), misalnya direpresentasikan oleh sepak terjang Front Pembela Islam (FPI) dan Laskar Jihad.
Bedanya dengan FPI, Laskar Jihad lebih bersifat temporer, dalam rangka menyikapi konflik horizontal yang mereka pandang mengancam umat Islam. Setelah konflik horizontal selesai, atau dapat diatasi pemerintah, Laskar Jihad dengan sendirinya bubar atau tak lagi terdengar eksistensinya. Sebagian besar mantan anggota Laskar Jihad lalu kembali ke dalam rutinitas dakwah Salafi, sebuah sekte (manhaj) Wahabi yang beraliran konservatif dan keras.
Islam Anyaran
Walaupun memiliki sejumlah perbedaan, namun semua kelompok Islam anyaran atau muslim “pendatang baru” tadi memiliki sejumlah kesamaan. Antara lain, pertama, ialah latar belakang mereka dan, kedua, pemahaman agama mereka.
Secara umum para pendukung atau bahkan juga tokoh gerakan Islam baru tersebut rata-rata atau banyak berasal dari latar belakang keluarga Islam minimalis (abangan) atau bukan pemeluk Islam yang taat (santri). Walaupun Ustad Abu Bakar Ba'asyir sendiri alumni Pondok Gontor dan berasal dari keluarga santri, namun wilayah pengaruhnya gagal menembus basis massa Muhammadiyah dan NU, dan lebih menjangkau komunitas mereka saja, yaitu kalangan Islam anyaran.
Kedua, pemahaman keislaman mereka keras, kaku, rigid, ekstrem, dan cenderung merasa paling benar sendiri (absolute claim of truth). Mereka tak hanya merasa paling benar terhadap entitas nonmuslim, melainkan juga merasa paling benar di antara sesama kelompok Islam. Bahkan dalam aktivitasnya tak segan-segan menggunakan kekerasan atau memaksakan kehendak.
Akibat latar belakang keluarga yang bukan dari pemeluk Islam taat tersebut, maka bisa diduga pemahaman agama mereka pun terbatas. Mereka baru serius belajar agama ketika menempuh pendidikan yang rata-rata di sekolah negeri, bukan di sekolah Muhammadiyah atau di pondok pesantren NU. Kemudian baru mereka melanjutkan masuk ponpes beraliran keras, seperti Ngruki atau ponpes-ponpes Salafi.
Terkait dengan back-ground keluarganya, bisa dipahami jika secara geografis para pendukung kelompok-kelompok ekstrem banyak berasal dari kawasan-kawasan yang secara tradisional justru tidak dikenal sebagai basis kaum santri. Misalnya Solo, Sukoharjo, Sragen, Karanganyar, Klaten, dan daerah-daerah lainnya di Jawa Tengah.
Pada masa Orde Lama, kawasan tadi dikenal sebagai basis PNI atau PKI yang secara religius, meminjam kategori antropolog Clifford Geertz, termasuk kaum abangan. Akan tetapi, represi yang dilakukan rezim Orde Baru atas anak turun mereka dan pewajiban pendidikan agama selama Orba, tampaknya telah mentransformasikan anak turun kaum abangan ini menjadi santri-santri baru alias Islam anyaran, atau menurut istilah pengamat politik A. Gaffar Karim dari Fisipol UGM, sebagai “neosantri”.
Berbeda dengan anak turun santri NU atau Muhammadiyah, kaum Islam anyaran tadi tidak memiliki loyalitas tradisional untuk merujuk fatwa ulama NU atau keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam memahami agama. Dengan kata lain, mereka bebas untuk melakukan proses “trial and error” dalam mencari rujukan agama Islam yang dianutnya.
Dalam proses pencarian inilah mereka bertemu para pengajar atau pendakwah Islam ekstrem di sekolah-sekolah negeri atau kampus-kampus umum. Sayangnya, karena keterbatasan bekal atau pemahaman agama, tak sedikit di antara mereka yang menelan mentah-mentah apa saja yang diajarkan para ustad beraliran keras tadi. Mereka tak memiliki kemampuan untuk memfilter atau membantah apa yang disampaikan oleh ustadnya.
Ini berbeda dengan kaum muda yang datang dari latar belakang NU atau Muhammadiyah, atau pernah mengenyam pendidikan di ponpes NU atau sekolah Muhammadiyah. Karena bekal pemahaman agama mereka yang lebih baik, mereka ini memiliki kapasitas membantah atau setidaknya membanding-bandingkan, apa yang disampaikan para pengajar Islam garis keras tadi dengan mazhab, manhaj (aliran), atau tafsir Islam lainnya.
Karena itulah, bisa dipahami, para pegiat Islam garis keras lebih suka merekrut para pengikut dari kalangan Islam abangan atau mualaf, bukan dari mereka yang pernah dididik di lingkungan NU atau Muhammadiyah. Istilahnya, mereka yang datang dari keluarga abangan atau berstatus mualaf (baru masuk Islam) akan lebih mudah dibentuk atau di-sibghah, tanpa banyak protes atau mengeluh. Apalagi metode pengajaran yang digunakan biasanya juga bersifat monolitik, searah, otoriter, dan nyaris tidak menoleransi pemikiran alternatif: suatu hal yang bakal tidak tertahankan bagi anak-anak muda dari NU dan Muhammadiyah yang terbiasa berpikir bebas, kritis, dan demokratis.
Catatan khusus mungkin perlu diberikan kepada FPI. Tak sedikit anggota atau pendukung gerakan ini adalah preman atau mantan preman. Itulah sebabnya, mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Sjafii Maarif, pernah menyebut FPI sebagai “preman berjubah”. Apalagi perilaku para anggota FPI sendiri sering anarkis dan gemar menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya kepada kelompok lain. Latar belakang preman atau mantan preman ini sekufu atau selevel dengan Islam abangan, yakni masuk kategori bukan santri atau tidak terlalu religius.
Teori Konversi
Mengapa mereka yang baru memeluk Islam –baik karena sebelumnya nonmuslim maupun muslim tapi hanya Islam KTP— setelah belajar agama justru menjadi pengikut atau pendukung Islam garis keras? Itulah pertanyaan yang semula terngiang-ngiang di kepala saya ketika mengamati gerakan Islam.
Jawabnya, ternyata perilaku para penganut Islam anyaran tadi mirip dengan fenomena orang kaya baru (OKB). Perilaku OKB, yang sebelumnya miskin atau sengsara, biasanya ingin membeli semua barang yang diinginkannya, termasuk yang kadang sebetulnya tidak diperlukannya. Ia seperti melakukan “balas dendam” atas era miskin atau sengsaranya dulu. Mereka membelanjakan semua uangnya untuk membeli barang-barang mewah yang sanggup dibelinya.
Demikian pula para penganut Islam anyaran. Lantaran mereka “dendam” atau merasa sangat bersalah atas masa lalunya yang berlumur dosa, mereka ingin menebusnya dengan cara menjalankan agama secara rigid, kaku, total, bahkan cenderung berlebihan. Mereka ingin mengubur kenangan masa “jahiliah” yang pernah dilaluinya dengan berhijrah ke dalam pemahaman Islam yang kaffah (total) dan sempurna. Bahkan mereka cenderung memaksakan pemahaman agamanya kepada orang atau kelompok lain pula, suatu hal yang justru sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang tanpa paksaan.
Mungkin sesekali mereka pernah mengikuti pengajian ala NU dan Muhammadiyah. Namun karena kurang puas dengan pendekatan NU dan Muhammadiyah yang dianggap terlalu menoleransi penyimpangan (baik bid’ah maupun maksiat), mereka pun akhirnya mengikuti kajian-kajian agama yang lebih keras, yang cenderung merasa paling benar sendiri dan acap membid’ahkan atau bahkan mengkafirkan kelompok Islam yang tak sejalan dengan visinya.
Kecenderungan muslim anyaran tadi ternyata sesuai dengan penjelasan teori konversi. Menurut teori konversi, mereka yang sebelumnya tidak terlalu religius atau tidak terlalu taat menjalankan agamanya, begitu tertarik untuk mendalami agama maka justru akan menjadi penganut agama yang keras atau fanatik.
Dalam kisah sahabat Nabi pun hal ini terbukti. Sahabat Umar bin Khaththab, misalnya, yang sebelumnya tokoh suku Quraisy yang sangat keras menentang dakwah Nabi Muhammad SAW, begitu masuk Islam justru menjadi tokoh Islam yang dikenal keras dan tegas. Beliau dikenal gemar melakukan razia keliling kampung atau kota pula, mirip laskar FPI sekarang ini barangkali. Dalam konteks ini mungkin bisa dipahami pula jika latar pendidikan Habib Rizieq, Ketua Umum FPI, pernah dididik di sebuah sekolah misionaris Kristen. Dan, ironisnya, FPI pula yang kerap terlibat dalam aksi penyerangan rumah ibadah atau sekolah umat Kristiani.
Sementara sahabat Nabi yang lain, Ali bin Abi Thalib, yang dididik Nabi Muhammad sejak kanak-kanak dan menjadi orang yang memeluk Islam pertama kali bersama dengan istri Nabi, Siti Khadijjah, justru menjadi seorang muslim yang lembut dan tidak suka menggunakan kekerasan. Dalam suatu peperangan, misalnya, Ali berhasil menghunus pedang ke leher musuhnya yang seorang Yahudi. Namun, lantaran si Yahudi ini senjatanya terlempar, Ali urung membunuhnya.
Bahkan, ketika si Yahudi meludahi wajah Ali dan mengejek Ali sebagai pengecut karena tidak berani membunuhnya, Ali tetap enggan membunuh walaupun hatinya marah karena diludahi lawan. Justru karena ia marah itulah, Ali kemudian berkata, “Aku tidak akan membunuh karena hawa nafsu . Aku hanya membunuh karena Allah.”
Luar biasanya, justru karena sikap Ali yang lemah lembut dan sangat memegang akhlak jihad atau etika perang dalam Islam inilah yang membuat si Yahudi terharu dan kemudian menyatakan diri memeluk agama Islam…[] Jakarta, 10 Agustus 2010.