[caption id="attachment_138875" align="alignright" width="249" caption=""The Real Kapolri" (Jenderal) Anggodo Widjojo (Foto: forum.detik.com)."][/caption] SUATU saat saya bertandang ke rumah sahabat di kawasan sejuk Ngadirejo, Temanggung, Jawa Tengah. Wahyu Widodo namanya. Kala itu ia masih mahasiswa Fakultas Peternakan UGM. Kepada saya, Wahyu bercerita, ayahnya membolehkan anak-anaknya menikahi siapa saja kecuali satu hal: bukan anak polisi! Tentu saja saya tidak setuju dengan sikap diskriminatif ayah Wahyu itu. Mengapa kita harus memusuhi anak dari kalangan profesi tertentu? Lagi pula tidak semua polisi itu buruk. Begitu saya pikir saat itu. Wahyu menjelaskan, nasehat ayahnya tadi didasari alasan bahwa polisi jika pensiun cenderung dimusuhi masyarakat. Karena dimusuhi, mereka juga acap dikucilkan dari lingkungannya.
"Polisi kuwi ora kajen yen wis pensiun," katanya dalam bahasa Jawa. Artinya kira-kira "polisi itu tidak dihargai masyarakat jika sudah pensiun". Orangtua Wahyu tentu tak menginginkan anak-anaknya jika kelak tua dikucilkan dan dimusuhi masyarakat, bukan? Menurut Wahyu, sikap masyarakat yang antipati kepada mantan polisi dikarenakan para polisi selama berdinas lazim bersikap arogan, mentang-mentang, dan menindas rakyat kecil. Dalam razia kendaraan misalnya, mereka cenderung mencari-cari kesalahan sepele. Ibaratnya, tutup lobang angin ban sepeda motor raib saja bisa ditilang. Mending ditilang beneran yang uangnya masuk kas negara, tak jarang polisi justru mengajak damai alias minta sogok, seraya menakut-nakuti bahwa jika sampai disidang pengadilan maka biayanya sangat mahal. Saya masih saja membela polisi ketika itu. Akan tetapi, tahapan demi tahapan hidup yang saya lewati memang akhirnya cenderung memperkuat konklusi keluarga Wahyu: polisi memang menyebalkan! Mereka kerap mengeksploitasi atau mempermainkan hukum demi mendapatkan cipratan uang dari orang lain, terutama rakyat yang lemah dan tak berdaya. Contohnya kisah yang dialami kawan saya yang lain ini. Sebut saja namanya Tapir, adik kelas saya di SMA Muhammadiyah I Yogyakarta. Suatu sore Tapir heboh karena sepeda motor kesayangannya hilang dari kosnya. Dicari kemana-mana tak ketemu, Tapir pun mendatangi kantor polisi terdekat, di kawasan Wirobrajan Yogyakarta. Tentu saja Tapir melaporkan sepeda motornya hilang dicuri orang. Ditunggu beberapa lama, polisi pun gagal menemukan sepeda motor itu. Eh, tanpa diduga, belakangan diketahui sepeda motor Tapir hanya dibawa salah satu kerabat tanpa izin. Artinya tidak dicuri maling. Tentu saja hati Tapir gembira bukan kepalang. Maka, sebagai warga yang baik, Tapir kembali mendatangi kantor polisi terkait, untuk mencabut laporan kehilangannya. Tapi juga gembirakah polisi? Ternyata tidak! Polisi malah mencak-mencak. Mereka menuduh Tapir telah membuat laporan palsu dan mempermainkan polisi. Walhasil, Tapir harus mencari utangan sekian ratus ribu untuk membayar polisi agar bebas dari tuduhan membuat 'laporan palsu'. Saya pun ikut marah waktu itu dan dalam hati mengumpat: duajigur...eh bajigur! Tega-teganya wereng cokelat memeras anak-anak kos, yang jauh dari keluarga dan untuk makan sehari-hari saja pas-pasan bahkan kekurangan. Dan sejak itu saya pun sering berpikir: slogan "kami siap melayani" yang tergantung mencolok di setiap kantor polisi mungkin lebih tepat diganti "kami siap menzalimi". Kawan saya yang lain, atau tepatnya pacar saya semasa kuliah dulu...hehe, malah lebih tragis lagi. Gigi depannya patah dan luka memar kebiruan di sekujur wajahnya gara-gara dihantam pentungan polisi. Ia harus opname di rumah sakit sekitar dua minggu karena mengalami gegar otak ringan dan darah masih sering mengucur dari lubang hidungnya. Kisahnya sebenarnya sepele. Saat itu Konyil, sebut saja begitu, sedang berkendaraan roda dua di salah satu jalan di kota Yogya. Ia pun berpapasan dengan razia sepeda motor yang digelar polisi setempat. Nah, merasa memakai helm standar dan surat kendaraan serta SIM pun lengkap, Konyil hendak melewati begitu saja gerombolan polisi yang tengah beraksi ini. Beberapa polisi, yang berprasangka buruk bahwa Konyil akan melarikan diri dari razia lalin, rupanya langsung mengejar dan menghantamkan pentungan karetnya ke muka Konyil yang masih berhelm full-face itu. Konyil roboh seketika dan tak sadarkan diri. Cerita selanjutnya pun bisa diduga. Polisi menanggung semua biaya rumah sakit. Mereka juga mengiba-iba kepada keluarga Konyil: meminta kekerasan terhadap perempuan muda itu tak diteruskan ke pengadilan. Mungkin mirip wajah Susno Duaji di depan Komisi III DPR dulu. Atau malah mirip wajah bedebah Anggodo, "the real Kapolri", yang mengemis-emis kepada publik di layar kaca: kasihanilah keluarga kami, kami ini orang kecil... Huh, dasar munafik! [] *(Maaf kepada Pak Bibit Samad Riyanto (KPK) dan Pak Taufiqurrahman Ruki (mantan KPK), serta para polisi jujur lainnya, yang sangat saya hormati. Semoga lebih banyak polisi yang bisa mempertahankan integritasnya seperti Anda). **Tulisan ini saya buat kala Pak S2G (Susno Duaji) tengah dimusuhi publik lantaran dianggap berada di balik skenario mengkriminalisasi Bibit-Chandra (KPK). Kini justru Pak Susno sendiri yang dikriminalisasi oleh markas besar polisi dan meringkuk di ruang tahanan Bibit-Chandra dulu. Tetap tabah ya Pak Susno. BHD, eh badai, pasti berlalu...
KEMBALI KE ARTIKEL