[caption id="attachment_131117" align="alignleft" width="300" caption="(foto:yupiantioktorarusbandi.blogdetik.com)"][/caption] MENYUSUL klaim sepihak negara jiran Malaysia atas sejumlah warisan budaya Indonesia, belakangan marak gerakan "nasionalisme gaul" di kalangan anak-anak muda dan selebritas. Gerakan itu intinya berisi ajakan untuk lebih mencintai Tanah Air dan budaya Indonesia khususnya. Lalu, seiring implementasi perjanjian perdagangan bebas China-ASEAN (
ACFTA) pada awal 2010 ini, yang diprediksi mengancam produksi dalam negeri, gerakan ini akhirnya mengkampanyekan pula seruan untuk mencintai produk-produk dalam negeri dengan tajuk: 100 persen Indonesia. Gerakan yang antara lain dikomandani oleh Panji Pragiwaksono –seorang presenter dan penyanyi rap yang populer di kalangan anak muda ini— tidak salah, bahkan sangat patut didukung. Terlebih fenomena globalisasi yang mulai muncul sejak dua dasawarsa terakhir telah menginisiasi budaya Barat, Amerika khususnya, menjadi budaya global yang seolah wajib menjadi kiblat anak-anak muda di seluruh pelosok dunia. Walhasil, nyaris seluruh kaum muda --apalagi yang mukim di kota-kota besar-- merasa lebih nyaman menampilkan dirinya sebagai representasi kultur Barat yang seragam: makanan siap saji, celana jins, musik pop, dan seterusnya. Mereka yang masih berani mencoba bertahan dengan identitas khas kebudayaannya dianggap "jadul", kuno, atau minimal merasa tidak cukup percaya diri untuk mengekspresikan dirinya. Tak ayal lagi, seperti dikatakan ulama terkemuka dari Timur Tengah,
Syaikh Yusuf Qardhawi, globalisasi yang mestinya bermakna kian saling interdependennya bangsa-bangsa dan lancarnya saluran komunikasi dan transportasi global, menjadi disalahpahami sekadar sebagai proses Westernisasi (pembaratan) atau bahkan Amerikanisasi. Dalam konteks inilah, selain ancaman klaim-klaim negeri tetangga atas budaya kita tadi, gerakan untuk kembali mengapresiasi budaya sendiri memiliki letak pentingnya. Akan tetapi, cukupkah rasa cinta Tanah Air dan Bangsa atau spirit nasionalisme pada masa kini diartikan sekadar sebagai gerakan untuk kembali mencintai milik kita sendiri, baik budaya, sumber daya alam, maupun manusia penghuninya? Boleh jadi ada yang berkata cukup. Namun, menurut pendapat saya, nasionalisme masa kini jauh dari cukup jika sebatas dimaknai gerakan untuk kembali mencintai Indonesia atau mencintai budaya dan produk dalam negeri. Mengapa? Sebab, secara alamiah, sebetulnya setiap orang yang lahir atau dibesarkan di negeri ini, secara inheren atau dengan sendirinya akan tumbuh dalam hatinya rasa memiliki (
sense of belonging) dan rasa mencintai terhadap Tanah Air beserta segala isinya. Gerakan “ganyang Malaysia” yang spontan muncul di berbagai daerah di Indonesia, menyusul klaim-klaim sepihak Malaysia atas sebagian entitas budaya dan wilayah Indonesia, setidaknya bisa menjadi pembukti. Demikian pula kemarahan massif dan spontan yang ditunjukkan oleh para pekerja Indonesia di Batam baru-baru ini, menanggapi penghinaan atas martabat bangsa oleh oknum pekerja asing di sana. Oleh karena itu, yang lebih mendesak dibutuhkan oleh bangsa kita sekarang ini bukanlah sekadar gerakan untuk kembali mencintai Indonesia, melainkan lebih dari itu adalah gerakan untuk menyelamatkan Indonesia. Dengan kata lain, sebuah cinta yang menyelamatkan. Cinta Tanah Air dan Bangsa yang memiliki komitmen untuk menyelamatkan masa depan Indonesia. Kenapa harus cinta yang menyelamatkan? Karena berbagai aspek atau bidang kehidupan bangsa kita sekarang ini sudah betul-betul dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Kita dihadapkan kepada kondisi yang sewaktu-waktu dapat serba menghancurkan masa depan kita sebagai bangsa dan negara. Dan Republik Proklamasi 1945 dipertaruhkan nasibnya sekarang ini. Kita dapat melihat dari liputan aktual media massa atau merasakannya sendiri dalam kehidupan sehari-hari: hipokrisi telah begitu menguasai pola pikir dan pola perilaku segenap lapisan bangsa ini. Di depan publik, para tokoh panutan atau pejabat mengkampanyekan beragam kebaikan yang harus dilakukan oleh seluruh warga bangsa, tetapi di belakang diam-diam atau terang-terangan mereka sendiri menelikungnya. Walhasil, bangsa ini makin hari menjadi bangsa yang secara lahiriah tampak makin rajin beribadah, akan tetapi korupsi berjamaah juga kian mewabah. Aparat hukum bukan bekerja keras untuk menegakkan hukum melainkan justru tertawa ria karena bisa mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Para birokrat berjuang keras seolah memperjuangkan suatu proyek demi kepentingan umum, padahal sejatinya memiliki
vested interest (kepentingan tersembunyi) berupa perolehan komisi dari proyek tadi. Akibatnya proyek demi proyek pun silih berganti diajukan, kadang bukan lagi demi kesejahteraan bersama, melainkan semata-mata untuk menciptakan “modus operandi” bagaimana menghabiskan uang negara. Sementara janji-janji para politisi makin sulit ditepati, karena usai terpilih mereka banyak yang tiba-tiba tertimpa penyakit lupa ingat bahkan lupa diri, dan kemudian lebih sering menampilkan diri bak pemain sinetron atau pesohor negeri yang tampil elok di sana-sini. Dan status wakil rakyat pun kian hari kian bersinonim artinya sebagai mewakili diri sendiri atau maksimal wakil kerabat dan teman dekat. Ideologi seperti barang usang yang hanya layak disimpan di gudang. Sedangkan pragmatisme menjadi kata kunci untuk menyelesaikan segala urusan. Ujung-ujungnya, demokrasi pun sebatas prosedur resmi yang mesti dilewati demi meloloskan sebuah transaksi. Pada saat inilah politik betul-betul bermakna: siapa memperoleh apa, kapan, dan di mana. Tidak mengherankan jika dwitunggal proklamator RI, Bung Karno dan Bung Hatta, jauh-jauh hari telah mengingatkan akan bahaya dikuasainya demokrasi oleh para demagog seperti ini. Dan yang muncul di pentas nasional pun bukan lagi para pejuang rakyat dengan seperangkat cita-cita memuliakan bangsa yang tersusun dalam paket ideologi masing-masing, melainkan rombongan badut-badut yang berbicara atas nama rakyat demi keuntungan perut sendiri. Sementara makin tidak sedikit kaum akademisi yang menjual diri atau menggadaikan integritas demi sesuap nasi atau melayani kerakusan kekuasaan. Maka, jika kita memang mencintai bangsa ini, suatu gerakan untuk menyelamatkan bangsa sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Perlu perbaikan total dalam segala lini jika kita memang ingin menyelamatkan masa depan negeri. Dalam konteks inilah, kita perlu mengingat kata-kata sosiolog Alex Inkels bahwa: manusia tradisional memikirkan masa lalu dan masa kini. Sedangkan manusia modern berpikir ihwal masa kini dan masa depan. Walhasil, apabila kita memang peduli akan masa depan Indonesia, dan memiliki kesungguhan untuk menyelamatkan negeri ini, sudah seharusnya kita memikirkan dan menyiapkan segala sesuatunya mulai hari ini, sekarang ini, tidak besok atau lusa. Untuk itulah kita membutuhkan suatu gerakan massal dan komprehensif untuk menyelamatkan masa depan Indonesia. Bukan sekadar gerakan yang hanya mengagung-agungkan betapa luhurnya masa lalu kita, warisan leluhur kita. Nasionalisme yang menyelamatkan negeri, itulah yang kita butuhkan hari ini. Karena musuh kita yang sejati sekarang ini datangnya dari dalam diri kita sendiri: kerakusan, ketamakan, kepura-puraan, yang menghancurkan seluruh sendi kehidupan negeri. Merdeka! [] Jakarta, Minggu 05.30 WIB, 25 April 2010.
KEMBALI KE ARTIKEL