[caption id="attachment_110681" align="alignright" width="300" caption="(foto: today.co.id"][/caption]
(Sebuah Catatan Reflektif) Entah bagaimana mulanya, setelah kopi di gelas tinggal endapannya, kok tiba-tiba perbincangan kami sampai pada soal pelacur. Aku tak ingat persisnya, mungkin setelah kami sempat ‘membahas’ perilaku seks para anggota Dewan yang (semestinya) terhormat. Atau mungkin setelah ada seorang perempuan muda melintas di depan rumah, mengendarai motor Mio, memakai rok mini dengan tank top yang ketat. “Yang namanya pelacur itu bukan yang berada di komplek pelacuran,” kata Eyang Pringgo dengan suaranya yang berat. “Lha kalau tidak di situ di mana tempatnya, Eyang?” tanyaku spontan. Pak Guru Harso dan Rudi, keponakanku yang berlabel aktivis mahasiswa, nampaknya juga ikut tertegun. “Dari sisi bahasa, secara denotatif, kata lacur sendiri sebenarnya berarti malang atau sial,” Pak Guru Harso menimpali. “Cuman dalam pergeseran makna, kata pelacur akhirnya diartikan penyeleweng atau orang yang menyelewengkan”. “Iya itu benar, tapi bukan itu yang akan aku sampaikan, Nak Harso,” Eyang Pringgo langsung memotong penjelasan guru SD-ku yang berlagak keminter itu. “Yang ingin aku sampaikan, mereka yang selama ini kita sebut pelacur sebenarnya adalah orang yang tidak memiliki banyak pilihan untuk bertahan hidup, dan menjalani pekerjaan itu karena keterpaksaan.” “Dengan demikian apakah mereka tidak bisa disebut pelacur?” ganti Rudi yang bertanya. “Mereka memang melacurkan nilai kesusilaan, tetapi setidaknya mereka jujur dan apa adanya,” intonasi suara Eyang Pringgo tak menunjukkan usianya telah menapak 80 tahun. “Nah pertanyaan Eyang pada kalian yang muda-muda, kalau yang seperti itu disebut pelacur, dalam masyarakat kita berapa banyak yang melakukan pelacuran dalam skala lebih besar? Yang tetap nampak baik di depan banyak orang, karena berhasil menyembunyikan kebejatannya? Yang pintar berbicara
lamis, dan senjang antara perkataan dengan perbuatan?” “Maksud Eyang?” “Hayo jawab pertanyaannku, berapa banyak pejabat dan politisi yang pandai berpidato tentang demokrasi dan pembangunan, tetapi tangannya tidak pernah berhenti menjarah harta rakyatnya? Berapa banyak rohaniawan yang fasih berkhutbah kebenaran, tetapi selalu menyembunyikan kebusukan di balik jubah moralnya? Berapa banyak wartawan yang katanya berpena tajam, tetapi bersedia menerima amplop dari narasumbernya? Berapa banyak guru dan dosen yang katanya juru ajar bangsa, tetapi memperlakukan orangtua murid seperti sapi perahan? Berapa banyak aktivis LSM yang bersuara lantang tentang hak-hak rakyat, tetapi menggadaikan idealisme untuk proyek yang dia kerjakan? Berapa banyak polisi, hakim dan jaksa yang katanya penegak keadilan, tetapi justeru memperjualbelikan pasal seakan-akan hukum hanya milik bapak mereka?”. Ah benar kata ayahku, melihat caranya berbicara Eyang Pringgo ini adalah orator ulung di jaman Orde Lama. Aku, Pak Guru Harso dan Rudi hanya bisa tertegun. “Termasuk mereka yang berlagak suci soal kesusilaan karena merasa terlahir dari kelas sosial beradab. Padahal kenyataannya alat kelamin mereka diobral untuk banyak orang,” tiba-tiba Rudi nyelonong, entah dapat referensi darimana. “Yah termasuk itu!” tandas Eyang Pringgo. “Dan semua orang itu jauh lebih kita hormati dibanding penghormatan kita pada mereka yang dilabeli sundal dan pelacur. Kalian tahu karena apa? Hayo apa jawaban kalian yang pernah makan bangku kuliahan?” Kali ini kami bertiga benar-benar terdiam. “Itu karena mereka selalu menyembunyikan kebusukannya di balik pakaian dinas, atau di balik jubah keagamaan, atau di balik seragam korp profesi, atau di balik jaket almamater. Dan kalau toh kita tahu kebejatan mereka, kita tak mau hirau, karena kita sadar kita sama bejatnya dengan mereka. Inilah bentuk masyarakat hipokrit yang akut! Kesesatan dan kemunafikan yang dilakukan secara berjamaah!”. Sesaat Eyang Pringgo terdiam. Matanya setajam tapapan seekor banteng yang terluka. Sedang kami bertiga tercenung seperti curut yang tersudut di pojok rumah. “Bagiku, para pelacur di komplek yang digusur-gusur itu, yang kalian hinakan seperti onggokan sampah itu, sesungguhnya lebih mulia dibanding jenis manusia terhormat yang barusan kita bicarakan. Mereka lebih jujur atas hidup yang dijalaninya, mereka lebih konsekwen menerima penistaan atas pilihan hidupnya,” kali ini nada bicaranya lebih lemah. Tak lama kemudian adzan Maghrib mengakhiri perbincangan empat orang yang berbeda jaman ini. Sore itu, hari kedua lebaran di kampung kelahiran kami, di lembah Bengawan Solo. Sebenarnya kami
sowan sesepuh kampung, Eyang Pringgo, untuk mendapatkan
kelebaran, kelonggaran hati setelah membasuh kesalahan. Namun justeru beban dosa yang terasa kami panggul dalam perjalanan pulang. “Kalau begitu kita semua yang telah bersikap munafik ini, sebenarnya lebih bejat dibanding pelacur komplek ya Mas,” kata Rudi setelah keluar dari halaman Eyang Pringgo. Entah kesimpulan, entah pertanyaan. Aku hanya tersenyum. Tapi terasa sangat getir.
Solo-Purwokerto, 2010-2011
KEMBALI KE ARTIKEL