Namun entahlah, seperti semua mahluk yang akan meluruh dalam genggaman waktu, Bromo hari ini memang masih seperti dulu, tampan namun makin menua. hutan pinus yang dulu mengelilinginya hari ini telah berganti dengan hutan beton, banyak hotel berdiri disana seolah tak bisa menampung keiinginan semua manusia untuk melihat wajah bromo yang makin eksotis. Pasir hitamnya yang dulu terlihat mengkilap hari ini seperti rambut yang pelan bergeser jadi abu-abu karena debu vulkanik yang beberapa waktu muntah seolah ini pertanda kalau ia marah atau memberi tanda kalau lanskap itu kini berubah dan ia tak menyenanginya.
Bromo dalam benak saya  yang tergambar saat ia masih dikelilingi hijaunya hutan pinus, keramahan penduduk Tengger, dan bunga edelweis yang bisa dilihat liar tumbuh bebas di padang savana, hari ini saya tak melihatnya lagi. Efek pariwisata memang seperti paradoks,,,entahlah keramahannya dulu,  kini menjadi sebuah kewajiban,,, bukan tulus (meskipun begitu saya masih bisa menemuinya kemarin), efek ekonomi membuat semua serba terukur, dan parameternya adalah rupiah. Satu hal yang salah adalah Bromo bukanlah kaldera, gunung batok dan lautan pasir. Bromo adalah kesatuan dari penduduk tengger, keaslian hutannya, dan ladang kentang yang bergaris dilihat dari kejauhan. Hal itu kemarin saya tak melihatnya lagi, ada yang hilang membuat Bromo tidak utuh lagi. Mestinya dalam jarak 1 km atau lebih, tidak boleh ada bangunan beton berdiri disana, disisakan hanya hutan sebagai pintu masuk sebelum turun ke lautan pasir (camping ground tempat saya berkemah dulu entah kemana karena diatasnya berdiri bangunan hotel).
Apapun itu, saat kemarin kembali kesana, saya menangkap Bromo hanya diam, saya tahu itu hal yang bijak buatnya, dan saya yakin kelak waktu juga akan merubah keseimbangannya saat manusia berusaha untuk menggenggamnya dengan keras. Buat saya Bromo tetap hal yang indah dan tampan apapun ia hari ini
(terima kasih buat pak Tik yang telah menerima saya dirumahnya dengan keramahan yang luar biasa)