Saat Widura sedang menyeruput air dari cangkir, seorang lelaki tua muncul dari dalam rumah. Penampilannya penuh wibawa. Perawakannya agak kecil bila dibandingkan dengan tubuh petani yang biasanya kekar. Sedangkan rambut pria ini terlihat sudah banyak yang beruban.
Widura segera meletakkan cangkir di tangannya dan menyalami lelaki tua yang pastinya dissebut Ki Rana itu. Ratri pun melakukan hal yang sama.
Ki Rana duduk di salah satu kursi dan memulai percakapan dengan berbasa-basi. Ia bertanya berbagai hal yang terkait dengan dua bocah yang ada di hadapannya.
"Coba kalian ceritakan mengapa kalian ingin bisa baca tulis?" ujar Ki Rana.
"Begini Ki Rana, sebenarnya saya kelak ingin menjadi seorang prajurit. Dan saya dinasehati agar giat berlatih dan belajar. Itulah sebabnya saya ingin belajar baca tulis," jawab Widura.
"Kalau saya Ki Rana, saya ingin menjadi pedagang seperti ayah. Dan ayah juga bisa baca tulis. Tapi ayah terlalu repot buat mengajari saya. Itulah makanya saya belajar pada Ki Rana," jawab Ratri.
"Baguslah kalau begitu. Selama kalian giat belajar dan berusaha keras kalian akan cepat bisa mengenal aksara," ucap Ki Rana sambil mengangguk lembut, "Saat ini, selain kalian, ada pula beberapa murid yang sedang belajar seperti kalian. Nanti kalian akan bertemu mereka. Dan saya harap kalian bisa berteman baik dengan mereka."
"Iya Ki Rana," jawab dua anak itu serempak.
"Kalau begitu mulai sekarang kami memanggil Ki Rana sebagai guru?" tanya Ratri.
"Boleh! Terserah kalian saja," ucap Ki Rana.
"Baik guru," ucap Ratri kemudian.
"Eh, ini guru. Ini ada sesuatu dari ayah dan ibu untuk guru sebagai ucapan terima kasih," ucap Widura sambil menyerahkan keranjang yang dia bawa dari rumah.
"Oh begitu. Letakkan di sini saja biar nanti Nak Rasta yang membereskan," jawab Ki Rana. "Ayo sekarang kalian bisa mulai belajar mengenal aksara terlebih dulu."
Ki Rana lalu berdiri dari tempat duduk dan mengajak Widura dan Ratri mengikutinya. Tiga sosok itu lalu melangkah keluar dari area teras menyusuri sisi rumah dan menuju ke teras yang lain yang ada di samping rumah.
Teras yang mereka masuki kali ini lebih luas dari yang sebelumnya. Sedang lantainya juga masih dibuat dengan cara yang sama. Di tengah area teras tergelar selembar tikar yang dibuat dari anyaman pandan. Lalu di sisi yang dibatasi dinding rumah terdapat rak yang di atasnya terdapat banyak kotak dan tabung bambu.
Di sebuah sudut, terdapat sebuah meja kecil dengan sebuah teko dan beberapa cangkir di atas permukaannya. Selain itu, ada dua buah toples gerabah yang berisi jajanan kering.
Ki Rana memerintahkan Widura dan Ratri duduk di atas tikar. Lalu ia mengambil dua buah tabung bambu dari rak yang ada di situ.
Dalam tabung bambu itu terdapat gulungan lembaran kulit hewan yang sudah dikeeringkan. Setelah gulungannya dibuka, di salah satu permukaan kulit terdapat deretan goresan aksara. Dua bocah itu kemudian memperhatikan dengan serius guratan-guratan itu. Sedangkan Ki Rana mulai menjelaskan satu demi satu aksara tersebut.
Demikianlah ternyata waktu tidak terasa berlalu, Widura dan Ratri begitu tekun mempelajari deretan-deretan aksara yang ada di depan mata mereka. Hingga pada akhirnya Ki Rana menyuruh mereka menyudahi pembelajaran.
"Baiklah, saya kira hari ini sudah cukup belajarnya," Ki Rana berkata, "Silahkan kalian minum dulu."
Widura dan Ratri membereskan alat pembelajaran mereka masing-masing. Mereka lalu mengambil minuman dari meja dan kembali duduk menghadap Ki Rana.
"Gulungan itu bisa kalian pinjam. Kalian pelajari itu di rumah. Lima hari ke depan kalian datang lagi ke sini. Saya akan melihat sejauh mana belajar kalian," ucap Ki Rana.
"Baik guru," jawab dua anak itu.
Widura dan Ratri lalu minta ijin dan pulang meninggalkan rumah Ki Rana. Pengalaman pertama belajar baca tulis ternyata menyenangkan. Kini mereka ada kesibukan tambahan, yaitu mempelajari gulungan yang dipinjami oleh Ki Rana.
Dalam perjalanan pulang itu, Widura dan Ratri bertemu Eko dan beberapa teman lainnya. Mereka kebetulan baru pulang dari tanah lapang Desa Pandan Asri. Maka terbentuklah segerombolan anak-anak yang begitu heboh meramaikan suasana desa.
Sesampainya di rumah, Widura menceritakan pengalamannya di sore itu. Melihat antusiasme anaknya, Ki Baskara ikut merasa senang.
Ketika diperlihatkan gulungan dari Ki Rana, Ki Baskara menyatakan bahwa ia masih bisa membantu Widura walau sedikit-sedikit. Bahkan ia menyarankan agar Widura untuk segera menguasai pelajaran baca tulisnya.
"Kalau pengenalan tahap awal ayah masih bisa membantu kamu. Tapi untuk selanjutnya, kamu belajar sendiri. Dan jangan lupa memohon kepada Sang Maha Bijaksana agar kamu dimudahkan dalam belajar," ucap Ki Baskara.
"Siap Ayah!" jawab Widura penuh kepastian.
Begitulah hari-hari berlalu. Tiap insan mengejar tujuan hidupnya di sepanjang perjalanan waktu. Setelah meraih sebuah harapan, akan memunculkan asa baru. Ada yang terasa mudah, ada yang penuh lika-liku.
Widura dan Ratri jadi makin sering berinteraksi. Tidak hanya berlatih silat dan bela diri, tapi juga belajar mengenal aksara secara mandiri. Di satu waktu bersama Sogol dan Murti berlatih tata kelahi. Di lain waktu mencorat-coret rangkaian aksara di tanah tepian kali.
Demikianlah di suatu hari Sogol mendatangi Widura. Saat itu Widura sedang mencorat-coret tanah di hadapannya.
"Hai Widura, apakah kamu sedang belajar menulis?" tanya Sogol.
"Eh kamu Sogol. Ada apakah gerangan?"
"Aku ingin mengajak kamu ke pinggiran hutan mencari batang pohon yang cocok untuk dibikin ketapel. Bisakan?"
"Oh, mau cari bahan untuk ketapel pesananku? Boleh boleh, aku mau."
"Bahan yang lain sudah aku dapatkan. Sekarang tinggal mencari bahan untuk gagang ketapelnya. Dan aku ingin cari kayu yang baik."
"Kalau begitu aku akan mengambil parang terlebih dulu."
"Sebenarnya nggak perlu sih. Aku sudah bawa parang sendiri. Tapi kalau kamu ingin membawanya, nggak masalah juga."
Maka dua anak itupun berjalan menuju tepian hutan yang ada di luar wilayah desa mereka. Waktu itu, setelah menyanggupi untuk membuat ketapel, Sogol bertanya kepada ayahnya tentang jenis kayu seperti apa yang paling baik untuk membuat ketapel. Ayahnya menyarankan Sogol agar menggunakan kayu dari suatu jenis pohon yang ada di tepian hutan. Sedangkan untuk pelontarnya, ayah Sogol membeli dari seorang pedagang kenalannya.
Widura pun membantu temannya itu memilih cabang pohon yang dianggap paling pas untuk dibikin ketapel. Mereka bergantian memanjat dahan bila menemukan cabang yang dikehendaki. Setelah cabang yang diincar dipotong, ranting-ranting kecil yang ada pada cabang tersebut dibersihkan.
Setelah beberapa kali memanjat, mereka mendapat bahan yang cukup banyak. Menurut perkiraan, Sogol bisa menghasilkan sekitar sepuluh buah ketapel.
~