Ketika mentari benar-benar hadir menggulung sang malam, orang-orang memulai aktifitasnya. Karena lebih pegal dari biasanya, Widura tidak menemani ayahnya ke ladang pagi ini. Tetapi saat mentari beranjak lebih tinggi lagi, ia telah bersiap menyusul ayahnya.
Di ladang, ia pun segera laarut dalam aktifitas membantu ayahnya. Berdasarkan panduan ayahnya, Widura mencabuti tetumbuhan yang tidak dikehendaki atau memanen berbagai bagian tumbuhan yang sudah saatnya dipanen.
"Ayah, aku ingin bisa membaca dan menulis. Aku rencananya ingin berguru kepada Ki Rana yang tinggal di Desa Pandan Asri," ujar Widura sambil melakukan pekerjaannya.
"Oh begitu," balas Ki Baskara pendek.
"Iya ayah. Nanti aku ingin jadi prajurit yang pandai membaca dan menulis."
"Itu bagus. Yang penting kamu sungguh-sungguh."
"Pasti ayah. Terima kasih sudah diberi ijin."
Ki Baskara menghentikan sejenak pekerjaannya, ia hela nafas panjang sebelum berkata, "Seandainya ayahmu ini pandai membaca dan menulis, mungkin kamu tidak perlu belajar ke orang lain. Tapi apa daya ayahmu hanya bisa sedikit-sedikit."
"Tidak mengapa ayah. Yang penting ayah sudah mengasih ijin ke Widura."
"Kalau kamu sudah mulai belajar pada Ki Rana, jangan lupa bilang ke ibumu, biar nanti dipersiapkan oleh-oleh buat gurumu itu."
"Iya ayah."
Demikianlah kemudian dua insan bapak dan anak itu kembali melanjutkan aktifitasnya. Hingga waktu sore telah mewarnai semesta Desa Ngalam.
Ki Jagabaya saat ini sedang duduk beralaskan tikar di bawah naungan bayang pepohonan di halaman rumahnya. Sedangkan di ujung lain tikar itu empat anak duduk menghadap ke arah orang tua itu, tiga bocah lelaki dan seorang bocah perempuan.
Anak-anak ini menceritakan pengalaman mereka di Desa Turi Agung. Mereka membicarakan apa saja yang dilakukan saat menjalani beradu kemahiran silat dengan lawan mereka masing-masing. Ki Jagabaya pun sesekali mengomentari dan memberi masukan kepada murid-muridnya itu.
Kali ini mereka tidak berlatih menggerakkan pukulan dan tendangan. Mereka hanya membahas peluang dan kekurangan masing-masing saat menghadapi lawan.
Demikianlah waktu pun terus bergeser. Sampai akhirnya tiba di suatu hari di mana Widura dan teman-temannya berlatih bersama di tepian sungai.
Saat sedang duduk-duduk beristirahat, Ratri berkata, "Aku sudah bertemu Ki Rana dan minta ijin mau belajar baca tulis pada beliau. Aku juga sudah berkata kalau aku akan mengajak teman. Dan beliau mengijinkan."
"Bagus lah," sahut Widura yang kemudian bertanya ke Sogol dan Murti, "Terus, bagaimana dengan kalian? Apakah memang nggak ingin ikut berguru baca tulis bareng kita?"
Pada kesempatan sebelumnya, Widura sudah menawarkan ajakan belajar baca tulis ini kepada dua teman lelakinya itu.
"Aku nggak ikut kali ini. Aku ingin menekuni pembuatan kerajinan seperti ayahku," jawab Sogol.
"Aku kali ini juga nggak ikut," jawab Murti kemudian.
"Baiklah kalau begitu," ucap Widura yang kemudian bertanya ke Ratri, "Kapan kita bisa mulai berguru ke Ki Rana?"
"Mungkin lusa bisa kita mulai. Sehari sebelum kita ke tempat Ki Jagabaya," Ratri mengusulkan pemikirannya ke Widura, "Bagaimana menurutmu?"
"Boleh! Tidak masalah. Lusa aku akan datang ke tempatmu dulu. Lalu kita bersama ke tempat Ki Rana," jawab Widura.
Begitulah rencana mengunjungi Ki Rana di Desa Pandan Asri beroleh kepastian. Setelah Widura mengutarakan rencana kunjungan itu kepada ibunya, Nyi Baskara membawakan sekeranjang bahan makanan, buah-buahan, dan jajanan untuk Widura agar diberikan kepada Ki Rana.
Ratri sedang bergurau dengan kakak ketiganya, Sutri, di teras rumahnya ketika Widura memasuki halaman. Karena akan mengunjungi Ki Rana, Ratri saat ini mengenakan kain panjang yang biasanya dipakai perempuan. Suatu dandanan yang nyaris tidak pernah muncul di pandangan Widura.
Ketika mengetahui penampilan Ratri, Widura spontan berkata, "Penampilan kamu kok terlihat agak aneh?"
Ratri hanya memonyongkan bibirnya menanggapi perkataan temannya itu. Setelah berbasa-basi sejenak dengan Sutri, Widura berangkat bersama Ratri mengunjungi Ki Rana. Dan di perjalanan, Ratri menceritakan secara ringkas tentang kehidupan Ki Rana kepada Widura.
Ki Rana adalah seorang bekas pejabat kadipaten Dulki. Setelah memasuki masa purna tugas, ia kembali ke desa asalnya dan mendiami rumah yang dulunya dihuni orang tuanya. Anak-anak Ki Rana telah berkeluarga semuanya dan saat ini bertempat tinggal di sekitar kota kadipaten. Di rumahnya saat ini, Ki Rana tinggal sendiri karena istrinya sudah meninggal. Untuk mengisi waktu, Ki Rana melakukan kegiatan bertani dan mengajar baca tulis.
Widura menyimak kisah yang dituturkan Ratri sembari menikmati suasana Desa Pandan Asri. Pada kesempatan ini pula Widura menyadari bahwasanya lahan pertanian di desa ini lebih subur daripada di desanya. Ketika diamati lebih lanjut, Widura bisa menemukan perbedaan antara lahan di desanya dan di Pandan Asri. Lahan di desa ini terairi dengan lebih baik.
"Seandainya lahan pertanian di desaku juga seperti ini, betapa menyenangkannya," pikir Widura.
Percakapan dua bocah ini terhenti ketika mereka sampai di depan rumah yang cukup besar. Halaman rumah ini berpagar tanaman perdu yang dipotong rapi. Walaupun rumah ini dahulunya dibangun oleh orang tua Ki Rana, di saat ini kondisinya masih terlihat sangat bagus. Rupanya kehidupan Ki Rana yang berkecukupan membuat ia bisa memperbarui beberapa bagian rumah ini.
"Permisi paman Rasta, saya Ratri. Saya ingin bertemu dengan Ki Rana," ucap Ratri menyapa seorang laki-laki yang masih cukup muda yang sedang membenahi sebuah sudut halaman.
"Oh, ini putrinya Ki Purnomo yang kemarin ke sini yah?" jawab Kang Rasta, "Kalian duduk saja dulu di teras. Akan saya panggilkan Ki Rana."
Widura dan Ratri baru saja duduk menunggu di teras ketika seorang perempuan muda menyajikan jajanan dan minuman untuk dua bocah itu. Sebelum mengundurkan diri, ia mempersilahkan tamu kecilnya menikmati makanan yang baru disuguhkan.
"Dua orang tadi itu siapa?" tanya Widura.
"Mereka yang membantu Ki Rana mengurus rumah. Mereka suami istri yang tinggal di sekitaran sini," jawab Ratri.
Widura mengangguk-anggukkan kepala sambil membulatkan bibirnya menanggapi jawaban Ratri. Kemudian ia edarkan pandangan berkeliling. Terlihat penampakan rumah yang sangat bagus bagi pandangannya. Pada tiang-tiang penyangga atap terdapat ukiran yang indah. Ukiran itu juga dilaburi dengan berbagai warna. Bagian bawah teras ditutupi dengan balok batu yang membuat kaki terasa nyaman dan bersih.
Ketika Widura mengintip bagian dalam rumah, terdapat banyak perkakas yang indah berhiaskan ukiran maupun lukisan. Ada sepasang pedang yang keseluruhan bilahnya berukir tergantung menyilang di dinding. Agak ke atas, tepat di bagian persilangan pedang, sebuah tameng berukir yang dibuat dari logam tergantung. Ada juga sebuah guci lengkap dengan tutupnya yang seluruh permukaannya dipenuhi lukisan yang menarik dilihat. Pendek kata, pemandangan dalam rumah Ki Rana terlihat luar biasa bagi Widura.